Job Opening

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat membutuhkan TENAGA AHLI HUKUM untuk membantu menangani tugas-tugas dan kewenangan KPI, dengan kualifikasi sebagai berikut:

Persyaratan Khusus
a.    Memiliki pengetahuan, pemahaman dan keterampilan tentang Hukum;
b.    Memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan membuat perjanjian;
d.    Memiliki surat rekomendasi dari ahli/profesional mengenai keahlian dan kemampuan saudara.

Persyaratan Umum
a.    Berpendidikan minimal S1 Hukum (diutamakan sudah S2 Hukum);
b.    Memiliki 3 tahun pengalaman kerja di bidang hukum;
c.    Memiliki kesehatan Jasmani dan Rohani yang baik yang dibuktikan dengan melampirkan Surat Keterangan Sehat terbaru;
d.    Berkelakuan baik yang dibuktikan dengan melampirkan SKCK dari Kepolisian;
e.    Memiliki kemampuan berbahasa Inggris (lisan dan tulisan) dengan baik;
f.    Memiliki kemampuan mengoprasikan komputer (minimal MS. Word, Power Point, Excel);
g.    Memiliki kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik.


Uraian Kerja
•   Memberikan analisis dan pertimbangan hukum;
•   Membantu dan melaksanakan kegiatan terkait penyelesaian permasalahan hukum;
•   Melakukan kegiatan kajian, rekomendasi, dan membantu penyususan ketentuan peraturan KPI.

Pendaftaran
•    Menyertakan: Surat Lamaran, Curriculum Vitae, Fotokopi Ijazah, Fotokopi KTP serta Foto terbaru ukuran 4x6 (berwarna, 1 lembar);
•    Lamaran ditujukan dan dikirimkan langsung kepada Ketua KPI Pusat, d/a Kantor KPI Pusat, Jalan Gajah Mada No. 8 Gedung Bapeten Lt. VI, Jakarta Pusat
•    Batas waktu memasukkan lamaran tanggal 22 Januari 2016 pukul 15.00 WIB
•    Tes seleksi akan diberitahukan kemudian

 

Jakarta - Pada 1 Desember 2014 Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perlindungan Anak Dari Zat Adiktif mengadukan "Pelanggaran ketentuan jam tayang  iklan Rokok di Televisi" ke KPI Pusat. Dalam aduan itu dilaporkan ada 2 stasiun televisi yg menyiarkan iklan produk rokok sebelum pk 21.30.

Pengaduan diterima oleh tiga Komisioner KPI Pusat, Agatha Lily, Fajar Arifianto Isnugroho, dan Amirudin di Ruang Rapat KPI Pusat. Dalam pertemuan itu Komisioner yang hadir saat itu mengatakan akan melakukan pemeriksaan dan telaah sebelum menyikapi pengaduan tersebut. KPI Pusat tidak akan membiarkan iklan rokok di luar jam tayang yg telah diatur ‎oleh P3SPS yakni 21.30 sd 05.00.

Setelah dilakukan pemeriksaan atas iklan dari 2 (dua) lembaga penyiaran yaitu SCTV dan MNC TV yang diadukan, KPI Pusat tidak menemukan pelanggaran sebagaimana dimaksud.

Pada tanggal 10 Desember 2014 Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Perlindungan Anak Dari Zat Adiktif kembali menyurati KPI Pusat mengenai kekeliruan data yang diadukan akibat kesalahan teknis dalam sistem waktu perekaman. Dalam surat yang berjudul “Koreksi Data Pelanggaran Siaran Iklan Rokok di Televisi”‎ ralat tersebut diterima KPI Pusat.

Danang Sangga Buwana, Komisioner KPI Pusat

Moratorium Iklan Politik

Oleh: Danang Sangga Buwana, Komisioner KPI Pusat

Kesepakatan Bersama moratorium iklan politik telah ditandatangani Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Komisi Informasi Pusat pada Jumat, 28 Februari lalu. Poin pertama meminta Lembaga Penyiaran dan partai politik menghentikan penyiaran iklan politik sebelum masa kampanye 16 Maret hingga 5 April mendatang.

Kesepakatan itu sebagai tindak lanjut rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI menyoal curi start iklan kampanye dan iklan politik televisi sebelum jadwal berlaku. Namun, kesangsian mengemuka.

Meski progresif, moratorium dinilai telat. Moratorium juga dinilai kontradiktif dengan pendidikan politik dan menghambat sosialisasi parpol kepada konstituen.

Sebelumnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah melarang iklan politik televisi melalui Surat Edaran No 101/ 2014 tentang Penyiaran Iklan Politik; dan Surat Keputusan No 45/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan terkait Perlindungan Kepentingan Publik, Siaran Jurnalistik, Iklan dan Pemilu.

KPI telah memberikan sanksi program yang terindikasi iklan terafiliasi kepentingan politik pemilik media. KPI telah menjawab keraguan publik atas stigma ketidaktegasan menindak iklan politik layar kaca.

Meski KPI telah tegas, iklan politik masih berseliweran di televisi. Kewenangan KPI yang sebatas pada ”penghentian sementara” program menjadi problem serius ketaatan Lembaga Penyiaran (LP) terhadap regulasi isi siaran.

Data KPI sejak 1 hingga 22 Februari 2014, iklan politik 11 televisi nasional berjumlah 3.201 buah, dengan rincian: ANTV (427 iklan), TVOne (447 iklan), RCTI (425 iklan), MNCTV (340 iklan), Global TV (320 iklan), Indosiar (85 iklan), SCTV (134 iklan), Trans7 (323 iklan), TransTV (330 iklan), TVRI (92 iklan), dan MetroTV (278 iklan).

Pendidikan politik

Karena disajikan melalui ”realitas kemasan”, iklan politik tak lantas merepresentasi pendidikan politik. Iklan lebih menonjolkan citra dan bujuk rayu parpol mencari simpati rakyat.

Mengutip Simons (2000: 81-103), iklan justru mendistorsi komunikasi politik dan memiskinkan nalar publik. Iklan politik menciptakan dan membentuk cita rasa lewat serangkaian representasi visual dan naratif.

Pihak-pihak yang terlibat dalam panggung politik menjadi agensi periklanan, dari skala kecil hingga skala besar.

Meminjam Baudrillard (1983), iklan menciptakan suatu hiperrealitas demokrasi, yakni penghapusan realitas sesungguhnya dan menciptakan realitas semu dalam kehidupan politik dengan janji.

Sejatinya pendidikan politik dapat diwujudkan melalui iklan layanan masyarakat (ILM) tentang pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemilu, cara mencoblos yang benar, dan segala bentuk teknis menekan angka golongan putih.

Pendidikan politik dapat diimplementasi melalui tayangan stimulatif atas apresiasi kritis publik terhadap pemilu dan sistem politik, bukan rayuan iklan politik.

Momentum Pemilu 2014 telah mempersatukan dua rezim kuasa: televisi dan parpol. Televisi beroperasi di domain kognisi pemirsa.

Ia menjadi ”mesin reproduksi makna” melalui kreativitas tayangan, mengarahkan pemirsa membenarkan apa yang dikatakan, sekaligus menyediakan multimakna dalam merekonstruksi pesan tersembunyi, yakni peningkatan elektabilitas suara peserta pemilu.

Politik representasi dibutuhkan parpol, diwadahi oleh televisi, bergerak ke pemirsa secara hegemonik.

Spirit moratorium iklan politik layak dinilai konstruktif bagi tegaknya demokrasi dan sistem politik nasional.

Selain sebagai tafsir progresif terhadap definisi ”iklan kampanye” dan jembatan atas dilema nihilnya ”iklan politik” dalam regulasi, moratorium wujud keberanian menegakkan etika politik di arus hegemoni media dan kuasa parpol.

Meskipun hanya sementara, moratorium beranalogi sebagai jurisprudensi bagi kebijakan pemilu di masa mendatang. Moratorium kuat secara politik karena legitimasi publik.

Terapi kejut

Moratorium ibarat ”terapi kejut” bagi LP dan parpol. Terapi menyembuhkan sakit politik. Bahwa untuk mencari simpati rakyat pada tiap perhelatan pemilu, tak seharusnya mengeksploitasi frekuensi publik.

Bahwa frekuensi publik dititipkan kepada LP, tak layak disalahgunakan untuk kepentingan politik para pemilik media dan kelompoknya.

Bahwa amanat UU Penyiaran No 32/2002 Pasal 3 memandatkan penyiaran harus diselenggarakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui program tayangan cerdas, edukatif, jernih, jujur, informatif, demi terciptanya masyarakat mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera.

Bahwa perkawinan antara kuasa media dan kuasa parpol yang tak terkontrol akan mengancam masa depan demokrasi bangsa ini.

Bawaslu, KPU, KPI, dan Komisi Informasi Pusat (KIP) menyadari berada di arus kuasa media (mediacracy) dan kuasa politik. Keduanya berjalan dalam sistem dominasi kepemilikan dan oligarki kekuasaan.

Jika tidak tegas, kedaulatan demokrasi dan sistem politik akan disetir oleh rezim media, ditunggangi oleh kepentingan politik dan modal.

Ketiadaan kontrol kepentingan parpol mengancam kedaulatan demokrasi, ketiadaan netralitas pemilik televisi mengancam kedaulatan frekuensi.

Lantas, masihkah kita membiarkan hegemoni media dan oligarki politik mengancam masa depan demokrasi bangsa ini? 

Sumber: Kompas Siang, Rabu, 2 April 2014

JAKARTA - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat turut prihatin atas konflik internal di lembaga penyiaran publik Televisi Republik Indonesia (TVRI). Ini tidak lain karena konflik internal sudah merembet ke tingkat karyawan hingga melakukan aksi demonstrasi di Gedung Pimpinan TVRI, Senayan, Jakarta, Kamis, 3 April 2014.

Ketua KPI Pusat Judhariksawan mengatakan, jika konflik dalam internal itu terus berlanjut, dampak yang ditimbulkan akan lebih banyak merugikan publik. Ini tidak lain, karena TVRI sebagai lembaga penyiaran publik diberi wewenang dalam undang-undang untuk menyelenggarakan penyiarannya yang bersifat  independen, netral, dan tidak komersil. 

“Kami meminta kepada seluruh pihak yang memiliki otoritas di dalamnya, agar segera duduk bersama dan membicarakan masalah yang ada. Ini tidak lain agar semua akumulasi masalah yang ada hingga saat ini bisa diselesaikan,” kata Judhariksawan di Jakarta, Kamis, 3 April 2014. 

Selain itu, menurut Judha, dalam menyelesaikan masalah yang ada, seluruh pihak yang memiliki otoritas lebih mengedepankan kepentingan publik di atas kepentingan golongan atau yang lainnya. Besarnya harapan KPI ini tidak lain, karena TVRI yang dalam salah satu fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta pelestarian budaya bangsa dengan senantiasa berorientasi pada kepentingan publik dengan memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik.

Dengan menjadikan publik di atas segalanya, menurut Judha semua masalah yang ada bisa diselesaikan. “Saya kira, publik juga berharap agar masalah yang ada bisa diselesaikan. Kita juga sebagai rakyat Indonesia tetap menginginkan agar TVRI bisa menjalankan fungsi dan tugasnya sesuai dengan amanah undang-undang yang ada. Saya kira apapun masalahnya, kalau sudah menyangkut kepentingan publik bisa diselesaikan dengan kepala dingin,” papar Judha. 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melakukan rapat koordinasi dengan Komisi Informasi Pusat (KIP) terkait iklan kampanyedi dunia penyiaran dan transparansi lembaga penyiarannya. Pertemuan itu juga membahas kerjasama kedua lembaga sekaligus untuk menguatkan peran masing-masing lembaga menjelang pelaksanaan pemilu 2014.

 

Rapat koordinasi berlangsug pada Selasa, 18 Februari 2014 di Kantor KIP, Gedung Indonesia Trading Company (ITC), Lantai 5, Jalan Abdul Muis No. 8 Jakarta Pusat. Adapun komisioner kedua lembaga yang hadir, Wakil Ketua KIP John Fresly, Yhannu Setyawan, Rumadi Ahmad, dan Henny S. Widyaningsih. Sedangkan dari dari KPI Pusat dipimpin oleh Ketua Judhariksawan, Idy Muzayyad, Agatha Lily, Fajar Arifianto Isugroho, Bekti Nugroho, Danang Sangga Buana, dan Amiruddin.

 

“Dalam Undang-undang penyiaran disebutkan, lembaga penyiaran tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pemilik atau golongan tertentu. Sudah menjadi rahasia umum pemilik lembaga penyiaran saat ini ikut serta dalam politik dan lembaga penyiarannya digunakan untuk kepentingan politik. Apakah pemilik yang memasang iklan di lembaga penyiaran miliknya membayar atau tidak? Apakah perlakuan yang diberikan juga sama juga sama kepada partai atau kandidat lain?” kata Judhariksawan saat dipersilahkan membuka inti pertemuan.

 

Menurut Judha, pembuktian iklan kampanye pemiliknya dan pajak iklan yang dibayarkankan  ke negara sulit dibuktikan. Bagi Judha, dalam iklan terdapat pajak yang harus dibayarkan ke negara. “Kami tidak punya wewenang untuk mengurus bisnis lembaga penyiaran. Perlu diingat, meski lembaga penyiaran swasta itu bersifat privat, tapi apa yang membuat mereka eksis menggunakan fasilitas publik, mulai dari izin hingga penggunaan frekuensi yang jumlahnya terbatas,” ujar Judha lebih lanjut.

 

Wakil Ketua KIP John Fresly mengiyakan apa yang dikemukakan Judha, menurut John, KIP sudah menyiapkan rancangan peraturan keterbukaan informasi publik dan transparansi penggunaan dana kampanye. John yang juga Wakil Ketua KIP, mengapresiasi keresahan KPI akan pemanfaatan lembaga penyiaran oleh pemiliknya dan perlunya transparansi penggunaan dana kampanye dan perlakuan yang sama ke partai atau tokoh lain di dunia penyiaran.

 

Sedangkan Henny S. Widyaningsih menjelaskan, untuk mencapai hal itu, selain kedua lembaga, pihak lain yang perlu disertakan adalah KPU, Bawaslu, partai politik, dan Dirjen Pajak. “Hal ini penting, agar nanti ada petunjuk pelaksanaan dan teknis bagi pihak terkait untuk mengisi laporan dana kampanye yang disampaikan ke publik. Misal dari bagian pajak, agar nanti diketahui berapa pajak iklan dana kampanye yang disetorkan ke negara,” papar Henny.

 

Terkait dengan kampanye politik dalam dunia penyiaran, Wakil Ketua KPI Idy Muzayyad mengatakan, dalam kampanye politik di dunia penyiaran harus ada pelaporan pembiayaan. Menurut Idy, transparansi penggunaan anggaran kampanye itu juga sama artinya dengan informasi publik. “KPI dan KIP sudah MoU sejak tiga tahun lalu. Pertemuan ini akan mendasari untuk pembuatan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis transparansi dana kampanye ini,” terang Idy.

 

Tidak Membebani KPU

 

Untuk mencapai kesepakatan itu, John mengatakan, kedua lembaga KIP dan KPI perlu membuat Surat Keputusan Bersama tentang transparansi kampanye dalam dalam lingkup penyiaran. Menurut John, dengan adanya kesepakatan bersama, agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi tumpang tindih.

 

Meski begitu, menurut Yhannu, dengan menyertakan lembaga terkait, bukan berarti membebani lembaga yang disertakan. Yhannu mencontohkan, dalam transparansi kampanye di dunia penyiaran, bukan berarti KPU yang menanggung dan melaksanakannya. “Gak fair dong kalau kewajiban kita dari masing-masing lembaga kita serahkan ke KPU. Mari kita jalan sesuai dengan tugas dan wewenang lembaga kita masing-masing. Asal nanti saat SK bersama nanti KPU kita beritahukan juga. Saya kira dalam hal ini tidak ada yang dilangkahi, dan KPU akan resfek akan wewenang masing-masing lembaga,” kata Yhannu.


Hal senada juga dikemukanan Komisioner KPI Bekti Nugroho. Bekti yang juga mantan anggota Dewan Pers sepakat akan peran lembaga-lembaga negara sesuai dengan wewenangnya. “Misalnya KPI mengeluarkan aturan kepada lembaga penyiaran untuk membuka informasi berapa nilai iklan kampanye di tempat mereka. Sedangkan KIP memfasilitasi dari segi keterbukaan publik. Perkara itu bisa berjalan atau ditaati atau tidak, itu hal lain. Setidaknya kita sebagai lembaga negara sudah berbuat dan melakukan itu, biar publik yang menilai,” ujar Bekti.

Hak Cipta © 2025 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.