altSemarang - Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Jawa Tengah melakukan gebrakan dengan membentuk kelompok pemantau penyiaran (KPP). Mulai tahun 2010 hingga bulan April 2012, KPID Jateng telah membentuk KPP di 20 kabupaten / kota di wilayah Jateng.

Ini dilakukan dalam rangka mengantisipiasi siaran televisi baik nasional maupun lokal, yang akhir-akhir ini cenderung mementingkan aspek bisnis ketimbang tanggung jawab sosial yang menyebabkan tujuan mencerdaskan bangsa sebagaimana amanat UU penyiaran mulai terabaikan,

Zainal Abidin Petir, Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Jateng mengatakan, bahwa lembaga penyiaran, khususnya televisi swasta nasional mulai lupa akan fungsi sebagai media pendidikan, informasi, hiburan yang sehat, kontrol sosial maupun perekat sosial.

"Tidak sedikit dari mereka, sudah tidak sungkan lagi menayangkan aib orang, perselingkuhan, intrik dalam keluarga, maupun eksploitasi  bagian-bagian tubuh yang lazim dianggap membangkitkan birahi seperti paha, bokong maupun belahan payudara. Ini harus segera dihentikan dan dilawan dengan kekuatan masyarakat," ujarnya, Selasa,  24 April 2012.

Selain itu, tambah Zainal, masih banyak tayangan yang tidak mendidik yang dilakukan oleh televisi nasional seperti tayangan kekerasan, sadisme, mistik, dan tayangan yang mendorong anak dan remaja terinspirasi berperilaku konsumtif dan hedonisme. "Ini sangat membahayakan bagi perkembangan anak-anak dan remaja sehingga perlu adanya "antibodi" untuk menekan dan menghadangnya," ujarnya. Red dari Suara Merdeka

altJakarta - Ketua KPI Pusat, Mochamad Riyanto berharap, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memperjuangkan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) di daerahnya secara berkelanjutan. KPID menanggung tugas mulia demi menjamin penyiaran yang sehat dan bermartabat. Hal itu disampaikannya ketika menerima kunjungan Komisi A DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) di kantor KPI Pusat, Jumat, 16 Maret 2012.

Menurut Riyanto, keberadaan KPID di setiap Provinsi sudah diamanatkan dalam UU Penyiaran yang menginginkan adanya desentralisasi penyiaran. Secara substansi, KPID merupakan anak dari DPRD.

Selain itu, lanjut mantan Sekjen Pengurus Besar (PB) Ikatan Motor Indonesia (IMI) ini, KPID juga membantu pengembangan penataan infrastruktur penyiaran di daerah. “Kaitannya dengan perizinan, KPID memberikan rekomendasi kelayakan melalui proses evaluasi dengar pendapat. Nantinya rekomendasi terebut disampaikan ke KPI Pusat dan Kominfo untuk dilanjutkan ke forum rapat bersama,” jelasnya.

Mengenai berakhirnya masa jabatan KPID Sultra, Riyanto meminta kepada DPRD untuk segera melakukan proses rekruitmen. Jika proses tersebut belum bisa dilakukan, selekasnya DPRD melaporkan ke Gubernur untuk dibuatkan surat perpanjangan masa jabatan KPID yang lama.

“Enam bulan sebelum habis, KPID wajib lapor ke DPRD bahwa masa jabatan mereka akan habis. Apabila belum ada proses rekruitmen, harus lapor Gubernur untuk minta perpanjangan. Jangan sampai ada kevakuman,” jelas Riyanto.

Anggota KPI Pusat, Idy Muzayyad, ditempat yang sama menambahkan, pembentukan panitia seleksi (Pansel) dilakukan DPRD. Keputusan ini sudah dikaji secara mendalam karena sebelumnya ada kebingungan mengenai siapa yang membentuk Pansel.

“Pansel merupakan kepanjangtanganan dari DPRD dalam proses seleksi. Nantinya pansel melibatkan perwakilan masyarakat, pihak kampus, pemerintah dan tokoh agama,” jelas Idy.

Dalam kesempatan itu, rombongan Komisi A DPRD dipimpin wakil ketuanya. Selain itu, hadir pula anggota DPRD, Yasin Tagala, La Ode Diki, Panudariama, dan LM Sahrudin Buton. RG

altJakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau, Zainul Ikhwan, meminta program literasi media dimasukkan secara khusus dalam perubahan UU Penyiaran. Permintaan ini disampaikannya di depan Komisi I DPR RI, Kamis, 15 Maret 2012.

Menurut Ikhwan, masih banyak masyarakat yang belum memanfaatkan media penyiaran dengan baik dan bijaksana. Literasi media dinilainya mampu memberikan pendidikan atau pencerdasan kepada publik dalam memanfaatkan media penyiaran. "Saya harap hal ini perlu diatur khusus dalam perubahan undnag-undang penyiaran ini," katanya. 

Ikhwan juga mendorong agar Komisi I memperkuat peranan dan kewenangan dari KPI. Pasalnya selama ini, keberadaan KPI  sebagai regulator utama dalam industri penyiaran di Indonesia kerap dipandang sebelah mata. Hal tersebut terlihat jelas dengan himbauan atau sanksi yang diabaikan oleh pelaku industri penyiaran khususnya televisi swasta. “Solusinya adalah dengan memperjelas KPI sebagai regulator tunggal dan menjadikan UU Penyiaran jadi acuan,” katanya di depan anggota Komisi I DPR RI.

Dalam kesempatan itu, Ikhwan menyebut UU Penyiaran yang ada sekarang sudah tidak sesuai dengan kondisi yang ada saat ini. Menurutnya, sudah sepantasnya UU Penyiaran dirubah.

"Undang-undang penyiaran yang ada sekarang bukan direvisi lagi, karena perombakannya lebih dari 50 persen, maka undang-undang ini dirubah. Ini dilakukan karena undang-undang penyiaran yang ada sudah tak sesuai lagi dengan kondisi yang ada," kata Zainul Ikhwan.

Ditambahkannya, KPID Riau meminta agar dalam undang-undang penyiaran nanti juga dimasukkan secara khusus tentang literasi media atau cara memanfaatkan media dengan baik.

Alnofrizal, Anggota KPID Riau bidang perizinan, yang turut hadir dalam pertemuan itu, mengharapkan persoalan perizinan juga diatur lebih jelas dalam perubahan ini. Sebab, selama ini proses perizinan lembaga penyiaran memakan waktu yang lama.

"kita berharap dengan perubahan undang-undang penyiaran nanti bisa membawa efisiensi untuk proses perizinan sehingga tak perlu memakan waktu lama dalam proses izin televisi dan radio," katanya.

Pimpinan rapat Komisi I DPR RI, Hayono Isman, berharap masukan dari semua stakeholder penyiaran termasuk KPID Riau dapat memperkaya masukan sehingga perubahan undang-undang penyiaran dapat lebih baik dari sebelumnya.

"semua masukan dari masyarakat akan menjadi bahan masukan bagi kami untuk melakukan perubahan undang-undang penyiaran sehingga menjadi lebih baik," kata Hayono Isman yang dari Fraksi Demokrat ini.

Selain KPID Riau, KPID Kalimantan Selatan dan KPID Papua turut diberikan kesempatan menyampaikan masukan dan pendapatnya mengenai perubahan UU Penyiaran. RG

Jakarta - Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Mochamad Riyanto mengatakan kerisauan yang ada di masyarakat terkait tayangan televisi saat ini adalah mereka tidak memiliki alternatif tayangan. Menurut M. Riyanto, jika ada alternatif, masyarakat tentu akan memilih tayangan yang lain dari apa yang disuguhkan oleh tv swasta.

Dalam Diskusi Perumusan Visi dan Misi LPP TVRI, Kamis, 15 Maret 2012 di TVRI, M. Riyanto menyampaikan, TVRI harus memiliki karakter sebagai lembaga penyiaran publik dan konsisten, tidak terjebak dalam praktek bisnis. "TVRI sebagai lembaga penyiaran publik (LPP) adalah penyeimbang dan alternatif, bukan saingan tv swasta," kata M.Riyanto.

M.Riyanto menambahkan, sebagai penyeimbang dan alternatif, TVRI juga harus melakukan observasi untuk menggarap program kreatif yang dapat meningkatkan sharing.

Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendi Yusuf yang juga hadir dalam diskusi mengatakan, eksistensi TVRI sebagai LPP semakin dibutuhkan karena arah dari siaran tv swasta pada titik tertentu membuat orang ingin mencari sesuatu yang lain. Menurutnya, TVRI dapat mengambil kesempatan untuk menampilkan sesuatu yang berbeda.

Senada dengan Ketua KPI Pusat M.Riyanto, Slamet Effendi Yusuf juga menganggap TVRI harus dapat menjadi alternatif tayangan televisi di Indonesia. "Saat ini adalah zaman dimana media televisi sudah memberikan pengaruh kuat dari aspek informasi dan akibat dari informasi itu dalam hal membuat opini publik," jelas Slamet Effendi. "Ketika selera masyarakat sangat mudah dibentuk oleh informasi yang sangat masiv oleh tv swasta, TVRI bisa menjadi alternatif," tuturnya.

Dalam diskusi tersebut, Ketua KPI Pusat M. Riyanto juga menyampaikan berbagai masukan kepada TVRI terkait perhatian KPI terhadap perlindungan anak, remaja dan perempuan, literasi media, citizen journalism, serta konvergensi teknologi.

Direktur Utama TVRI, Imas Sunarya menyampaikan antusias terhadap masukan dari Ketua KPI Pusat M.Riyanto dan Ketua Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI Slamet Effendi Yusuf. Imas mengatakan TVRI memang harus berkarakter dan harus dapat membangun karakter bangsa (character building). "Ada virus mental bagi anak-anak bangsa, kita harus membentuk acara yang menyeimbangkan," tutup Imas.Red

(Jakarta) - Permintaan penguatan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus bergulir. Salah satunya disampaikan dalam audiensi  KPI Pusat bersama Ketua KPI Daerah se-Indonesia dengan wakil rakyat di DPR-RI.  Ketua KPI Pusat Mochammad Riyanto menyatakan penting untuk menyampaikan kepada anggota DPR yang saat ini tengah membahas revisi Undang-Undang Penyiaran, tentang posisi KPI ke depan. Hal tersebut disampaikan Dadang saat bertemu dengan Fraksi PKS dan Fraksi Partai Demokrat di DPR RI kemarin, (14/3).

Mengingat proses legislasi saat ini masih berlangsung di DPR, KPI menilai penting bagi DPR mengetahui akibat kewenangan KPI yang  dipangkas. Saat ini, ujar Riyanto, KPI tidak lagi mengatur perizinan lembaga penyiaran. Padahal dalam Undang-Undang Penyiaran sebelum diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, KPI memiliki wewenang mengatur perizinan penyiaran  bersama pemerintah. Namun karena uji materi dikabulkan oleh MK, wewenang pengaturan perizinan hanya diserahkan pada pemerintah. Akibatnya kenyataan di lapangan menunjukkan proses perizinan yang diatur pemerintah tidak berjalan baik dan memakan waktu yang lama.

Hal tersebut diamini, oleh Zainul Ikhwan Ketua KPID Riau. Pihak KPID di Riau telah memberikan rekomendasi lembaga penyiaran lokal, namun mekanisme perizinan tersebut harus melewati prosedur yang panjang dan tidak transparan. “Tidak ada kepastian yang bisa didapat untuk mengajukan izin siaran, jika semua di tangan pemerintah”, ujar Zainul.

Dari sisi lain, Komisioner KPI Pusat Dadang Rahmat Hidayat juga mengungkap, berkurangnya kewenangan KPI berdampak pula pada pengawasan isi siaran. Dadang menuturkan, saat ini pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran lokal tidak sebanyak lembaga penyiaran nasional. Penyelesaiannya pun jauh lebih mudah, ujar komisioner bidang isi siaran KPI Pusat ini.  Tapi saat KPI berhadapan dengan industri, sekalipun sudah melayangkan surat teguran ketiga, justru tidak dihiraukan. “Apalagi wewenang KPI pun tidak sampai menghentikan program”, tukasnya. 

Secara tegas Dadang menyatakan pula, KPI tidak minta dijadikan regulator tunggal masalah perizinan, tapi sebagai regulator utama.  Dengan wewenang regulator utama inilah, ujar Dadang, KPI akan punya power lebih besar untuk mengawasi isi siaran.

Permintaan penguatan kewenangan KPI juga disampaikan oleh Fajar Arifianto, Ketua KPID Jawa Timur. Dirinya meminta kepada anggota Komisi 1 DPR RI, agar revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas menunjukkan keberpihakan pada publik dan masyarakat. “Jangan sampai Undang-Undang tersebut menguntungkan pihak-pihak yang akan melemahkan KPI”, tutur Fajar.  Ia juga mengingatkan bahwa frekuensi adalah ranah publik dengan sumber yang terbatas yang butuh pengaturan ketat. Pengawasan terhadap penggunaan frekuensi inilah yang harus diserahkan kepada KPI. Karenanya, Fajar menegaskan harapannya agar Undang-Undang Penyiaran ini kembali menguatkan posisi KPI sebagai regulator penyiaran di Indonesia. Red/Ira



Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.