Jakarta – Salah satu alasan utama yang banyak mengemuka dari perlunya revisi terhadap Undang-Undang (UU) Penyiaran Tahun 2002 adalah hadirnya regulasi yang berkeadilan antara media konvensional dengan media berbasis digital atau baru. Menyoal ini, berbagai diskusi marak digelar termasuk yang diinisiasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di beberapa kesempatan.
Di awal pekan ini, KPI Pusat menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) bertema “Menuju Tata Kelola Penyiaran yang Demokratis dan Adaptif, dalam Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran” bersama KPID se-Indonesia secara hybrid, di Kantor KPI Pusat, Senin (05/05/2025). Diskusi ini juga mengundang sejumlah pengamat dan juga legislator sebagai pembicara.
Saat membuka diskusi, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah menyampaikan bahwa kondisi dan landskap penyiaran saat ini sudah berubah. Ia menegaskan, perubahan ini harus pula diikuti dengan pembaruan regulasi yang ada.
“Dunia penyiaran saat ini sudah berubah dengan banyaknya informasi yang masuk, maka undang-undang penyiaran 2002 memang harus segera ada pembaruan. Ini suatu keniscayaan kita semua,” kata Ubaidillah.
Mengawali diskusi, moderator menyampaikan perlunya merespon terjadinya perubahan teknologi, aspek konten, serta Kecerdasan Artifisial (KA) atau populer disebut Artificial Intelligence (AI), yang berdampak pada dunia penyiaran.
Pada sesi penyampaian masukan KPID, secara umum KPID mencatat beberapa isu dalam dunia penyiaran yang tidak hanya tentang revisi undang-undangnya. Dari KPI Aceh, penguatan kelembagaan dan penganggaran. KPID Jawa Timur menyampaikan keluhan dari lembaga penyiaran swasta (LPS) perihal perlunya ruang untuk perubahan teknologi agar mereka bisa bertahan.
“Pemerintah pusat memiliki kewenangan rekayasa teknologi adaptif terbaru atas penyiaran saat ini untuk bisa memberikan kesempatan kepada lembaga penyiaran di daerah,” timpal Komisioner KPID Jawa Tengah, Nur Huda.
Sementara itu, KPID Kalimantan Timur menyoroti pada pengurangan sumber daya manusia di lembaga penyiaran di tengah upaya KPI agar lembaga penyiaran tetap bertahan. Hal yang sama terjadi di Banten, sehingga KPID merasa semakin perlu ada pengaturan media baru dan LPS dalam revisi UU Penyiaran.
Demikan juga dengan Jawa Barat, namun secara khusus KPID setempat menyinggung tentang lembaga penyiaran komunitas (LPK) dan iklan layanan masyarakat (ILM).
Selain itu, disinggung pula persoalan siaran digital, konten, dan kewenangan pengawasannya, kebebasan pers, konvergensi media, KA, kelanjutan konsep diversity of content and diversity of ownership, minimnya konten lokal sejak ASO (Analog Switch-Off), perlindungan terhadap anak dan perempuan di media digital, penyusutan jumlah komisioner di tingkat pusat dan daerah, redefinisi penyiaran, serta harmonisasi regulasi penyiaran dengan kementerian dan lembaga (K/L) lain.
Komisioner sekaligus Koordinator Bidang Pengembangan Kebijakan dan Struktur Penyiaran (PKSP) KPI Pusat, Muhammad Hasrul Hasan menegaskan akan mengupayakan penguatan kelembagaan, audit rating, serta berkeadilan dalam penyiaran.
“Draft yang beredar itu draft 2024, ketika periodisasi baru maka rancangannya baru kembali,” tambah Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Aliyah.
Dinamika penyiaran
Di medio kedua diskusi, Anggota Komisi I DPR RI, Syamsul Rizal, menyampaikan bahwa regulasi penyiaran eksisting sudah tidak mengakomodir dinamika penyiaran. Lalu, lanjut dia, hal yang penting adalah perlunya membahas tentang kebebasan pers, kebebasan informasi serta mengidentifikasi berita negatif dan positif.
“Maka dari itu diperlukan pendekatan preventif agar insan penyiaran memiliki standar profesional dan progresif tanpa mengabaikan kebebasan pers,” katanya yang disampaikan secara daring.
Dalam diskusi itu, narasumber lain, Staf Khusus Hukum Kementerian Hukum RI, Yadi Heriyadi Hendrayana, memaparkan perihal sejumlah permasalahan yang perlu diperhatikan, yaitu kualitas dan makna konten, serta keberpihakan kepada masyarakat kecil. Dalam kenyataannya, konten berkualitas sepi peminat. Menurutnya, lembaga survey seperti Nielsen mengukur hanya dari pasar, yang mana pasar (masyarakat Indonesia) cenderung memilih konten yang mengandung kekerasan, seksualitas, dan mistik.
Di samping itu, lanjut Yadi, selain standar kriteria untuk pelaku industri penyiaran selain wartawan, misalnya talent, Revisi UU juga perlu memperhatikan proteksi terhadap lembaga penyiaran konvensional.
Dikarenakan ketiadaan regulasi yang mengatur media baru, tambah Yadi, diperlukannya perluasan kewenangan KPI terhadap pengawasan platform media sosial dan digital.
“Ada Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 (tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas) itu mengatur platform, tapi hanya mengatur jurnalistik atau news,” katanya.
Turun tangan
Di sela-sela diskusi ini, selain usulan pengaturan yang jelas pada lembaga pemeringkat konten, perlu pula penguatan sinergi antara pemerintah, KPI, dan Dewan Pers dalam menciptakan iklim jurnalistik sehat dan perkuatan LPP berkualitas, serta adanya kontrol publik terhadap penyelenggaran siaran dan penguatan organisasi profesi.
Bahkan, Komisioner KPI Pusat Periode 2019-2023, Yuliandre Darwis, memandang kesiapan regulasi, tantangan ekosistem digital dan arah kebijakan baru menjadi hal yang penting terutama bagaimana menciptakan keselarasan antar regulasi. Menurutnya, perubahan penetrasi internet dari 64% (tahun 2018) ke 80% (sekarang) mengindikasikan adanya tumpang tindih (antara ekosistem digital dan ekosistem penyiaran). “Ekosistem perlu pembaruan ke depan, eco playing field, harus sama rata, sama rasa,” katanya.
Mewakili Forum Organisasi Penyiaran Indonesia (FOPI), Gilang Iskandar menyampaikan, pemerintah perlu turun tangan untuk memberikan solusi atas situasi ekosistem penyiaran saat ini. Lembaga penyiaran, katanya, mengharapkan adanya regulasi yang kondusif, upaya mendorong keberlanjutan industri penyiaran, pengaturan model bisnis sehat, subsidi atau dana dukungan, serta perlindungan terhadap media lokal Indonesia.
Berdasarkan diskusi RUU Penyiaran yang digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) pada 17 April lalu, Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, menyampaikan adanya penolakan platform digital untuk masuk dalam penyiaran karena ada UU ITE. Ada perbedaan perspektif yang menyebabkan perbedaan dalam memperlakukan konten.
“Setiap kebijakan, kita selalu memikirkan lembaga penyiaran, KPID, dan KPI Pusat, ruhnya sama. Waktu konvensi Dewan Pers (Rapat Konsultasi Nasional bertajuk “Mekanisme Keselamatan Pers”, 30 April), kita sepakat yang menyelesaikan adalah RUU Penyiaran,” imbuh Koordinator Bidang Kelembagaan, I Made Sunarsa.
Perwakilan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Santoso menyayangkan kondisi ekosistem penyiaran yang tidak ideal karena minimnya concern pemerintah. “Bagaimana kita bisa mengatakan ini (industri penyiaran) hidup atau sustain, bahwa regulasi kita lebih membela platform asing daripada lokalnya. Lebih parah lagi KPU, mereka lebih mengutamakan di YouTube. Bagaimana kita ngomongin ekosistem, pemerintahnya aja ngga’ aware,” tegasnya.
Terkait hal ini, Beberapa KPID juga mengkhawatirkan penggunaan media sosial oleh pemerintah daerah untuk menggantikan lembaga penyiaran. Mereka mengharapkan ada linimasa yang jelas dalam proses pengesahan UU Penyiaran yang baru.
“Dalam proses pengawalan revisi undang-undang penyiaran tidak akan menyerah dan tetap berupaya, panja telah menerima masukan dari asosiasi. Harapannya dapat bersama membantu proses,” ujar Mohamad Reza.
Perlu diketahui bahwa pada Senin, 5 Mei 2025, Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan beberapa asosiasi, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Asosiasi Jurnalis Independen (AJI), dan Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI). RDPU yang digelar secara terbuka dimaksudkan mendapat masukan terkait dampak pengaturan penyiaran multiplatform dalam revisi UU Penyiaran. **/Anggita Rend/Foto: Agung R