Jakarta – Komnas Perlindungan Anak mendukung penuh dilakukannya revisi terhadap Undang-Undang (UU) Penyiaran tahun 2002. Usia regulasi yang sudah tua (tidak adaptif) serta perlunya penguatan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjadi pertimbangan utama. 

“Pertama, undang-undang ini sudah sangat tua sekali, tahun 2002. Sudah 23 tahun belum direvisi. Dan tentunya, ini sudah tidak sesuai dengan keadaan saat ini. Bagaimana misalnya teknologi digital, platform digital, sosial media sudah sangat massif memberitakan dengan begitu sangat terbukanya,” kata Ketua Komnas Perlindungan Anak, Agustinus Sirait, usai pertemuan dengan Komisioner KPI Pusat, di Kantor KPI Pusat, Selasa (6/5/2025).

Dia menambahkan, kehadiran media baru ikut memengaruhi dengan makin banyaknya kasus yang ditangani pihaknya terkait perlindungan anak. Salah satu penyebabnya, lanjut Agustinus Sirait, karena UU Penyiaran (eksisting) tidak mengadopsi atau berusaha melindungi anak Indonesia dari paparan konten media sosial dan platform digital.

“Pemerintah atau negara harusnya hadir. Tentunya dengan melakukan revisi Undang-undang Penyiaran. Kami berupaya dan mendukung agar KPI diberi perluasan wewenang tambahan, kebijakan, dan program, terutama pengawasan terhadap platform digital. Saya pikir itu yang paling urgent saat ini dan harus segera dibuat,” tegasnya.

Sebelumnya, dalam pertemuan dengan Komisioner KPI Pusat, Ketua Komnas Perlindungan Anak ini memaparkan data pengaduan masyarakat terkait kasus anak. Sepanjang tahun 2024 hingga Februari 2025 terdapat 4.388 kasus pengaduan hak anak yang diterima KPA bersama 12 perwakilan provinsi. Pengaduannya lebih tinggi 34% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Hal yang menjadi isu dan temuan utama adalah fenomena adiksi digital pada anak-anak yang lebih berbahaya dari adiksi rokok. Hal tersebut menyebabkan gangguan emosional, kesulitan membedakan dunia nyata dan khayalan, kebutuhan rehabilitasi khusus, serta terperosok pada perjudian dan prostitusi daring.

Terkait hal itu, dalam upaya menekan adiksi digital, orang tua mengalami beberapa kendala yang berhubungan dengan anggapan melanggar privasi anak, tidak adanya pedoman hukum saat membahas akses anak pada ponsel, serta tidak adanya perlindungan hukum eksplisit untuk peran pengasuhan digital. Adapun payung hukum yang ada yakni UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 belum menyentuh ranah digital dan wewenang KPI terbatas pada media konvensional (televisi dan radio).

“Tidak ada payung hukum yang mengatur usia minimum penggunaan sosial media, batasan akses platform tertentu bagi anak-anak, serta mekanisme sanksi untuk konten atau pihak yang mengeksploitasi anak,” kata Agustinus Sirait dalam pertemuan itu. 

Menanggapi masukan dan pernyataan Komnas PA, Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, menyampaikan apresiasinya dan akan meneruskan ke Komisi I DPR. 

“Saya berharap main issue tentang perlindungan anak dituliskan poin yang perlu ada di Undang-undang Penyiaran jadi bisa dirumuskan dan menjadi masukan untuk dibawa ke Komisi I DPR, ini hal yang positif,” kata Reza.

Sementara itu, Komisioner sekaligus Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Pusat, I Made Sunarsa menyampaikan bahwa pada dasarnya perihal perlindungan anak, KPI memiliki concern yang sama. Selama 2024 turun 15 sanksi (yang dikenakan pada program siaran), 37% diantaranya merupakan sanksi yang berhubungan dengan pelanggaran terhadap perlindungan anak. “Pada pelanggaran kategori lainnya juga berhubungan dengan perlindungan terhadap anak,” katanya. 

Dalam UU Penyiaran 2002, peraturan yang berhubungan dengan perlindungan anak disebutkan pada Bab IV tentang Pelaksanaan Siaran. Salah satunya pada Pasal 36 (3) yang berbunyi “Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus , yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran”. 

Sementara dalam Peraturan KPI Nomor 01/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (P3), perlindungan terhadap anak dirinci pada Bab X, dan Nomor 02/P/KPI/03/201 tentang Standar Program Siaran (SPS) pada Bab X.

“Semakin banyak orang bersuara, tentang keresahan kita, betapa di luar lembaga penyiaran (konvensional) seperti rimba, terjadi banjir dan tsunami informasi. Di saat yang sama anak disibukkan dengan gawai masing-masing dan semakin jarang berkomunikasi dengan orang tua. Maka, ketika kunjungan ke daerah, kami dorong untuk kembali menonton televisi agar anak berkomunikasi dengan orang tua,” timpal Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Aliyah.

Di tempat yang sama, Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti menganggap momen ini, sebagai bentuk kepedulian terhadap perlindungan anak, remaja dan perempuan dari lembaga selain KPI dan asosiasi lembaga penyiaran. Menurutnya, hal ini berpotensi sebagai daya dorong untuk mendukung revisi UU Penyiaran. Di sisi lain, hal ini bisa mewujudkan industri penyiaran yang baik dan sehat. 

Adapun Komisioner KPI Pusat, Muhamad Hasrul Hassan juga menyampaikan terima kasih atas masukan dan dukungan dari Komnas PA. Menurutnya, revisi ini perlu masukan dari semua pihak. “Karena ini menyangkut perlindungan generasi. Kita perlu masukan bersama. Karena ini juga menyangkut norma-norma hidup bangsa kita,” katanya.  

Hal yang sama turut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Amin Shabana. “KPI tidak bisa bekerja sendiri untuk bisa menjadikan ruang penyiaran ramah terhadap publik kita,” tuturnya. ***/Anggita Rend/Foto: Agung R

 

Hak Cipta © 2025 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.