Jakarta - Siapa yang tak tahu tentang perseteruan antara Farhat Abbas (artis dan pengacara) lawan dua anak musisi Ahmad Dani, Ahmad Al Ghazali (Al) dan El Jalaluddin Rumi (El)? Pertengkaran dua belah pihak yang berujung pada saling tantang adu tinju ini telah menghiasi tayangan infotainment semua layar kaca dalam beberapa pekan ini.

Demikianlah infotainment, semakin kontroversial acaranya akan semakin digemari dan mendapatkan rating/share tinggi. Uniknya, meski sebagian artis merasa privasinya terusik, namun tak sedikit artis yang diberitakan berkonflik kerap mendapatkan keuntungan dari sensasi dan popularitas. Masalahnya, siapa yang sejatinya dirugikan?

Jawaban dari pertanyaan diatas jelas: yang dirugikan adalah publik pemirsa. Efeknya adalah degradasi mentalitas dan karakter masyarakat. Suguhan konflik artis semisal perceraian, perselingkuhan, rebutan anak, gaduh soal harta gono-gini dan pertengkaran antar selebritis, secara tidak disadari telah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian ibu-ibu dan anak remaja, yang tidak hanya diperbincangkan di meja keluarga, namun kerap diimitasi dan diadopsi gaya hidup dan perilakunya.

Tentu kita masih ingat fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pernah mengharamkan tayangan infotainment. Meski menuai pro-kontra, dipandang dari perspektif konstruktif dapat diambil benang merah bahwa fatwa tersebut mendasarkan tayangan yang didominasi oleh pergunjingan (ghibah) dan penghasutan (hasud).

Fatwa ini menjadi kritik membangun yang semestinya diambil hikmahnya, bahwa tayangan infotainment secara serius dapat berpengaruh mendegradasi moral bangsa Indonesia, walaupun tidak semuanya. Karena berpegaruh terhadap sistem moralitas bangsa, maka mutlak diperlukan peningkatan kualitas isi siaran infotainment.

Oleh karena itu, penting kiranya untuk mengidentifikasi terlebih dahulu problem yang diidap oleh
infotainment, diantaranya:

Pertama, masalah kualitas produksi infotainment. Dalam proses produksi tayangan infotainment, praktisi lapangan kerap tidak dibekali dengan wawasan tentang kaidah dan teknik jurnalistik sehingga kerap menabrak aturan dalam jurnalistik, seperti cover bothsides, terlepas dari perdebatan apakah infotainment merupakan produk jurnalistik ataukah bukan.
Kedua, problematika pelanggaran terhadap kode etik jurnalistik dan Pedoman perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Selama ini isi siaran infotainment yang menyajikan berita konflik antar artis kerap melanggar beberapa item yang ada di kode etik jurnalistik dan P3SPS, yakni penghormatan terhadap hak privasi dan perlindungan terhadap anak.

Kualitas Produksi

Selama ini, salah satu masalah utama kurangnya kualitas tayangan infotaiment karena proses produksinya dilakukan oleh production house (PH) sebagai penyedia konten, di mana kru lapangannya kurang terbekali pemahaman dan kepiawaian tentang kaidah dan teknik jurnalistik. Pada saat yang sama, PH awalnya bukanlah penyedia konten berita, melainkan produksi film dan sinetron.

Dari perspektif infotainment sebagai produk jurnalistik, hal ini menjadi masalah karena PH belum mempunyai kualifikasi mengelola konten news. Sebaliknya, produksi infotainment yang dikelola oleh inhouse lembaga penyiaran masih jauh lebih sedikit dibandingkan produksi konten dari PH.

Parahnya isi siaran infotainment sengaja mendramatisir konflik artis dan memperuncing masalah mereka. Agar tetap menyedot perhatian publik (rating tinggi), kasus selebritis akan terus menerus dieksploitasi melalui dramatisasi sound effect, editing gambar dan presenter provokatif. Bahkan bila perlu, masalah diperuncing secara emosional melalui pelibatan keluarga, saudara dan tetangga sang artis.

Tayangan konflik antara Farhat versus dua anak musisi Ahmad Dhani ini hanyalah satu dari ribuan kasus selebritis di layar kaca pemirsa yang kerap didramatisasi. Inilah sejatinya anatomi infotainment terhidang di ruang keluarga Indonesia.

Karena itu, salah satu jalan terapi membenahi kualitas infotainment adalah memutus mata rantai produksi pemberitaannya oleh PH, dan semua program infotainment dikelola secara inhouse oleh wartawan news di lembaga penyiaran.
Melanggar Demi Rating

Sebagaimana disitir diatas, mengacu pada kasus perseteruan antara Farhat dengan Al-El, terjadi pelanggaran isi siaran pada dua aspek: (1) penghormatan terhadap hak privasi dan (2) pelanggaran terhadap perlindungan terhadap anak.

Atas dasar masalah tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah melayangkan surat edaran ke lembaga penyiaran agar tayangan konflik antara Farhat dengan Al dan El segera dihentikan.

Pertanyaan pun mengemuka, mengapa isi siaran infotainment berpotensi besar melakukan pelanggaran? Jawabnya: selama isi siaran infotainment masih berkutat pada konflik, perceraian, dan bermacam kehidupan privasi artis yang tergangu oleh pemberitaan tersebut dan kerap didasarkan pada syakwasangka (gosip), maka program tersebut akan terus melanggar.

Infotainment dengan suguhan khas konflik artis ini, senyatanya menjadi kail dan jala untuk mengeruk keuntungan modal, industri dan kapitalisasi melalui iklan berdasar tingginya rating. Parahnya, untuk meninggikan rating, maka produsen infotainment ‘memperjual-belikan’ konflik artis, dan seringkali dibubuhi dengan dramatisasi dan gosip.

Perolehan rating kemudian dijual kepada pengiklan yang berpengaruh pada mahalnya harga iklan pada jam tayang dengan rating tinggi. Karena itulah, alih-alih sebagai media hiburan ataupun pencerdasan masyarakat, infotainment kini lebih berperan sebagai pabrik bagi penumpukan keuntungan yang tak pernah berhenti (as factory of never ending sircuit capital accumulation).

Jika kondisi semacam ini dibiarkan berlarut-larut, maka lambat laun jutaan pemirsa akan terdegradasi secara mental dan psikis, mengingat artis merupakan figur publik dengan daya tarik besar (great seduction) untuk diikuti oleh mayoritas muda-mudi dan masyarakat lainnya. Tak hanya dari segi busana, penampilan dan gaya hidup, bahkan pula sikap dan perilaku sehari-hari. Ia secara vulgar dieksploitasi di ruang publik melalui infotainment.

Inilah tangungjawab besar semua pihak, terutama pemilik media penyiaran untuk senantiasa mendengarkan suara hati, bahwa moral bangsa tak harus tergadai hanya karena orientasi rating dengan menjual sensasi selebritis.

Danang Sangga Buana

Komisioner KPI Pusat

Artikel diambil dari Detik

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.