Kendari - Masyarakat saat ini memiliki kecenderungan tidak aktif bersuara saat menemukan program-program siaran yang buruk. Sehingga “mayoritas diam” yang dilakukan masyarakat diasumsikan industri penyiaran sebagai bentuk persetujuan terhadap berbagai rupa siaran yang sebenarnya tidak bermutu. Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, menyampaikan hal tersebut dalam acara Training of Trainers (ToT) Literasi Media di Kendari (12-14/5).

Padahal, tambah Imam, seharusnya masyarakat merasa terhina ketika tayangan buruk yang muncul baik di televisi dan radio dinilai sebagai selera rata-rata masyarakat Indonesia. “Apakah kita tidak terhina selera kita disamakan dengan tayangan yang punya rating tinggi tapi kualitasnya seperti sekarang?”, tanya Imam. Untuk itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus terus mengajak masyarakat senantiasa menyuarakan pendapat mereka terhadap muatan tayangan, sehingga industri penyiaran dapat berbenah diri lewat masukan tersebut.

Masyarakat, ujar Imam, merupakan pemegang kedaulatan frekwensi. Karenanya harus bisa menyuarakan aspirasi mereka terhadap isi siaran, termasuk juga dalam segmen jurnalistik. Imam yang pernah menjadi Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) ini menegaskan bahwa produk berkualitas di televisi sangat mungkin untuk muncul lewat daya kreatif yang tinggi. Sehingga tidak ada alasan menampilkan program siaran bermutu rendah dengan alasan selera pasar. “Hanya orang-orang yang bodoh yang menguasai pasar dengan produk-produk buruk”, ujarnya.

Imam mencontohkan dari segi berita. Selama ini banyak yang menganggap bad news is a good news, padahal good news is a good news as well. “Masyarakat kita juga sangat mengapresiasi berita-berita baik”, paparnya. Berita tentang prestasi, nasionalisme, kemanusiaan, merupakan hal-hal baik yang mendapatkan sambutan positif dari masyarakat.

Sementara itu, komisioner KPI Pusat Danang Sangga Buwana ikut menjadi pembicara tentang prinsip-prinsip kerja proses penyiaran. Dalam pemaparannya, Danang menyampaikan logika yang digunakan industri dalam menilai sebuah tayangan televisi. Dirinya mencontohkan beberapa tayangan yang mendapatkan sanksi dari KPI, namun tetap dipertahankan oleh lembaga penyiaran. “Alasannya adalah tingkat kepemirsaan yang tinggi”, ujar Danang.

Tingginya rating, menurut Danang, berimplikasi pada pemasukan yang diperoleh industri penyiaran dari sebuah program. Dirinya juga mengilustrasikan selisih antara pemasukan dan pendapatan yang didapat industri penyiaran dari program infotainmen. “Dari pengeluaran yang kecil, industri mendapatkan pemasukan yang besar lewat iklan yang didapat infotainment”, ujarnya. Ini pula yang menjadikan program infotainment tersebar di banyak waktu siaran.

Dalam ToT kali ini peserta dihadiri oleh perwakilan KPI Daerah dari kawasan timur Indonesia serta tokoh-tokoh masyarakat di Kendari. Diantara tokoh masyarakat Kendari yang hadir yakni Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Tenggara, Lembaga Bantuan Hukum Kendari, Gerakan Pemuda Anshor Sulawesi Tenggara, Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara, dan Badan Pemberdayaan Perempuan Provinsi.

Yogyakarta - Pemilu 2014 berbeda dengan pemilu sebelumnya. Jika sebelumnya kampanye untuk pemilu berkonsentrasi untuk mengerahkan masa sehingga berpotensi terjadi konflik di jalan. Saat ini konflik berpindah dari potensi kontak fisik di jalan menjadi potensi konflik di media. Salah satu media yang efektif dalam berkampanye tentu saja televisi. Dilihat dari potensi penetrasi media, televisi menempati tempat nomor satu yang menjangkau 90% masyarakat Indonesia.

Untuk mencari pemecahan masalah tersebut Komisi Penyiaran Indonesia (KPID) Daerah DI Yogyakarta menyelenggarakan Diskusi Publik “Menuju Pemilu yang Mencerdaskan dan Berbudaya”. Hadir sebagai narasumber Azimah Subagijo (KPI Pusat), Hamdan Kurniawan (Ketua KPU DIY), dan Jawahir Thontowi (Akademisi UII). Acara ini diselenggarakan pada Selasa, 25 Maret 2014 di Aula Plaza Informasi Yogyakarta. Peserta yang hadir berasal dari Parpol, Lembaga Penyiaran, Lembaga Pendidikan, dan beberapa pemilih pemula.

Ketua KPI Daerah DIY, Tri Sunaryo, dalam sambutannya menyampaikan bahwa tren berpindahnya kampanye dari luar ruangan menjadi kampanye di media menjadi tambahan pekerjaan bagi KPI. Karena itu baik penyelenggara, peserta, maupun pengawas pemilu harus mengedepankan kampanye yang cerdas dan berbudaya. Sehingga dinamika kampanye ini bisa meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.

Media memungkinkan pemilih mendapatkan informasi, fakta- data tentang peserta pemilu. Dengan media pemilih dapat membekali diri untuk menentukan pemilih. Untuk itu media massa hendaknya tidak hanya sekedar menyajikan berita namun juga harus mengusung misi untuk mencerdaskan masyarakat. Tentu informasinya harus akurat dan bermutu. Demikian disampaikan oleh Hamdan Kurniawan.

Azimah Subagijo menyampaikan lebih rinci bahwa media adalah alat bagi kekuatan ekonomi, politik, dan sosial. Efek dari media dapat mempengaruhi agenda dan opini masyarakat. Mengutip pernyataan Gungun, Azimah menyatakan bahwa pemilu bukan hanya tentang legal formal saja tapi juga soal persepsi. Di sinilah peran media untuk membentuk persepsi publik. Karena itu Azimah menyatakan bahwa tidak cukup hanya KPI sebagai pengawas. Perlu peran serta masyarakat baik pemilih maupun peserta kampanye agar media berjalan sesuai dengan fungsinya untuk mencerdaskan dan berbudaya. Media harus ikut serta dalam mencerdaskan bangsa menuju pemilu yang berkualitas. Contohnya saat ini banyak pemilih pemula yang tidak tahu bahwa nanti mereka akan mendapat banyak kartu suara untuk masing-masing tingkat (DPR, DPD, dan DPRD) ketika mencoblos. Ini penting diinformasikan oleh media.

Selanjutnya Jawahir Thontowi mengingatkan bahwa peran media sebagai alat pemersatu dan menjaga integrasi bangsa bergeser menjadi alat ekonomi untuk pemilik media. Kita harus membawa perubahan bagi media agar media tetap pada jalurnya. Sebab jika tidak, artinya masyarakat kita akan tertipu oleh media. Jangan sampai peran media mengalahkan peran negara.

Dalam rangka pemilu, untuk menciptakan pemilu yang berbudaya dan cerdas harus bertahap. Hukum secara tekstual tidak mungkin mencapai tujuannya kecuali ada upaya untuk mencapai tujuan dari pembuatan hukum tersebut. Untuk itu memang masyarakat memang harus menjadi cerdas dan berbudaya. Masyarakat harus dibiasakan untuk melakukan Reward And Punishment kepada partai politik yang tidak menepati janjinya. Kemudian lembaga-lembaga yang sah harus memberikan tindakan-tindakan yang tegas dalam mencapai tujuan hukum. Lebih lanjut ia mengingatkan bahwa pemilu adalah ajang evaluasi lima tahunan. Ketika kita gagal memilih dalam pemilu, berarti kita gagal untuk 5 tahun berikutnya. (AQUA)

Jakarta - Pelanggaran penyiaran terkait pornografi banyak terjadi. Tayangan bernuansa pornografi di televisi rentan memicu penonton anak-anak mencari pornografi di media lain, terutama internet.

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Azimah Subagijo, Selasa (19/11/2013), di Jakarta, mengungkapkan, selama 2012, ada banyak pelanggaran penyiaran terkait pornografi. Pelanggaran itu mencakup prinsip perlindungan anak dan remaja (76 kasus), kesopanan dan kesusilaan (70 kasus), siaran seks (46 kasus), serta penggolongan program (34 kasus). Satu program bisa melanggar beberapa standar penyiaran sekaligus.

”Kami telah memberi sanksi pada media penyiaran yang menayangkan pornografi. Namun, kami perlu kerja sama dengan semua pihak. Pornografi tak hanya tersebar lewat penyiaran, tetapi juga di dunia nyata, seperti lingkungan sehari-hari,” katanya.

Sementara itu, kemarin, saat menutup Rapat Koordinasi Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi, Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar mengatakan, ”Jika masalah pornografi ini tidak segera ditangani, akan makin banyak korban, terutama dari generasi muda. Mereka bisa kehilangan pegangan moral dalam seksualitas, menjadi korban pelecehan seksual, atau melakukan tindakan seksual yang tidak patut.”

UU No 44/2008 tentang Pornografi, kata Nasaruddin, perlu segera ditindaklanjuti dengan menegakkan aturan. Salah satunya dengan membentuk gugus tugas pencegahan dan penanganan pornografi. Semua kelompok masyarakat, seperti pemimpin ormas, tokoh pemuda, adat, dan aktivis budaya, perlu diajak menangani masalah ini.

”Kita makin sadar, pornografi menjadi masalah yang dekat semua keluarga yang memiliki anak-anak. Generasi baru harus dijaga dan diselamatkan dari pornografi,” kata Nasaruddin.

Rapat Koordinasi Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi menghasilkan sejumlah rekomendasi. Selain membentuk gugus tugas di daerah, peserta rapat mendesak penanaman nilai-nilai agama, pendidikan karakter, dam ketahanan keluarga dari ancaman sebaran pornografi. Anak-anak yang menjadi pelaku dan korbanpornografi harus ditangani, dilindungi, dan dipulihkan.

Gugus Tugas juga mendorong pembentukan forum dan jejaring koordinasi lain. Saat bersamaan, aparat penegak hukum diminta serius menangani dan memberi sanksi pelanggaran pornografi sesuai aturan yang ada. Red dari banjarmasinpost

 

Bengkulu - Masyarakat Indonesia didominasi kaum muda yang dekat dengan perangkat teknologi informasi, mulai dari televisi, radio, telepon genggam, computer dan sebagainya. Hal itu menjadikan mereka dapat dengan mudah mengakses informasi yang melimpah lewat perangkat-perangkat yang semakin canggih tersebut. Namun, informasi yang tersedia dan dapat diakses, seharusnya merupakan informasi yang kompatibel dengan rencana kebangkitan bangsa ini. Karena dengan kondisi demografi Indonesia, menunjukkan adanya peluang untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang kuat di dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, peran media yang menyajikan informasi ke tengah masyarakat sangat strategis. Hal tersebut disampaikan M Syahfan Badri Sampurno, anggota Komisi I DPR-RI, dalam acara Literasi Media: Memperkuat Masyarakat Memanfaatkan Media dengan Sehat, yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Bengkulu (15/12).

 

Syahfan menilai, banjir informasi yang mengelilingi masyarakat haruslah dibarengi dengan keterampilan literasi media. “Agar masyarakat tidak dengan mentah-mentah menerima semua informasi yang disajikan media”, ujarnya. Keterampilan literasi media ini harus menjadi concern semua lapisan masyarakat. DPR, membantunya lewat regulasi yang tepat agar bangsa ini tidak dikontrol oleh pemilik media. Padahal, ujar Syahfan, seharusnya justru pemilik media yang punya tanggung jawab besar untuk mencerdaskan publik.

 

Dalam acara yang dihadiri oleh berbagai unsur masyarakat di Bengkulu tersebut, Syahfan juga mengatakan pentingnya KPI terus menyosialisasikan literasi media. “Kemampuan masyarakat bersikap kritis terhadap media terutama media penyiaran, harus terus dikembangkan. Sehingga masyarakat tahu mana informasi yang baik, benar dan dapat dijadikan referensi kehidupan”, terang Syahfan.

 

Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat, Azimah Subagijo. Keterampilan literasi media bahkan seharusnya menjadi kurikulum yang diajarkan di sekolah-sekolah, ujarnya. Di beberapa negara lain, literasi media ini sudah diajarkan pada anak-anak sekolah dasar. Bahkan, kelompok-kelompok keagamaan di sana juga ikut melakukan sosialisasi literasi media, tambah Azimah.

 

Selain itu, Azimah juga mengajak masyarakat Bengkulu untuk ikut mengawasi media, khususnya media penyiaran. “Mengingat media penyiaran menggunakan ranah public bernama frekuensi, maka aturan penggunaannya sangat ketat, dan masyarakat berhak melakukan kontrol jika muatannya negatif”, ujar Azimah. Komisioner KPI Pusat bidang Perizinan ini juga mengingatkan betapa media punya kecenderungan menjadi sangat kuat dan powerfull.

 

Bahkan, tambahnya, karena efek yang dihasilkan media dapat mempengaruhi agenda dan opini masyarakat hingga pada gaya hidup, media juga kerap kali dijadikan alat untuk berbagai kekuatan ekonomi, politik dan sosial. Maka tak heran jika saat ini banyak pemilik media penyiaran yang terjun pula ke dunia politik, atau sebaliknya, pimpinan partai politik mendirikan media penyiaran.

 

Azimah berharap, keterlibatan masyarakat dalam mengontrol media dapat disalurkan lewat mekanisme yang benar. “Ada KPI, ada Dewan Pers, ada pula Gugus Tugas untuk Pornografi”, ujarnya. Kontrol masyarakat tersebut sangatlah penting, agar muatan media penyiaran selalu dalam koridor sesuai yang diamanahkan Undang-Undang. Bahkan, muatan yang berkualitas dari media diharapkan mampu meningkatkan integrasi nasional, pungkas Azimah.

 

Palangkaraya- Jelang Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres), Lembaga Penyiaran (LP) sedang gencar menyiarkan berita politik. Namun beragam berita politik tersebut, banyak mendapatkan kritik masyarakat karena disinyalir kerap berpihak pada satu kelompok atau golongan politik tertentu.

Karenanya, LP semestinya proporsional menyiarkan berita politik agar benar-benar mampu menjadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Danang Sangga Buwana, komisioner KPI pada kegiatan Peningkatan Kapasitas dan Kualitas SDM Lembaga Penyiaran se-Kalimantan Tengah (28/10).

“KPI kini sedang bekerjasama dengan KPU dan Bawaslu menyusun aturan bersama terkait aturan kampanye politik di televisi dan radio. Pak Idy Muzayyad (wakil ketua KPI-red) selaku koordinator Desk Pemilu hingga saat ini sedang serius menggodok aturan tentang penyiaran Pemilu dibantu oleh tim hukum KPI,” kata Danang.

Selain itu, tambah Danang, KPI sedang melakukan finalisasi keputusan KPI khusus tentang pemilihan umum yang meliputi berbagai batasan iklan, larangan dan sanksi kepada lembaga penyiaran dalam konteks program tayangan Pemilu.

Dalam penyelesaikan aturan KPI tentang penyiaran pemilu ini, KPI juga melakukan koordinasi dan pendekatan persuasif kepada LP. Saat ini, kata Danang, KPI sedang gencar melakukan koordinasi dengan stake holder lembaga penyiaran terkhusus masalah siaran politik dan Pemilu ini, baik dengan cara mengunjungi dan mengundang mereka untuk bersama-sama membicarakan permasalahan program-program siaran politik yang berpotensi melanggar.

“Hal ini dilakukan KPI agar aturan yang nantinya akan disahkan, benar-benar mewakili kepentingan semua pihak. Tentu tidak hanya bagi lembaga penyiaran, melainkan juga keadilan bagi para peserta Pemilu maupun pendidikan politik bagi masyarakat,” pungkasnya. Red dari ZL

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.