Jambi - Anak usia dini harus dilindungi dari terpaan media. Ini sejalan dengan sejumlah penelitian yang menganjurkan anak-anak usia dini tidak boleh menonton TV lebih dari 2 jam dalam sehari.

Hal itu disampaikan Agatha Lily dalam Literasi Media kepada para pendidik anak usia dini di Jambi 24 Oktober 2014 di Novita Hotel ruang Sultan Thaha. Acara yang dibuka oleh Ketua KPID Jambi Ir. Hj. Ertati Ahmad, ME mendapat sambutan dari peserta yang terdiri dari kalangan pendidik PAUD di Jambi. 

Lily menjelaskan beberapa aspek perkembangan anak usia dini meliputi kesadaran personal, pengembangan emosi, membangun sosialisasi, pengembangan komunikasi, pengembangan kognitif dan pengembangan kemampuan motorik. Semua aspek itu berpengaruh terhadap kematangan pribadi si anak kelak saat dewasa.

“Maka dalam tahapan-tahapan tersebut anak usia dini harus steril dari terpaan negativ media, khususnya televisi,” ujar Lily.

Dalam acara literasi media itu, juga dipaparkan contoh tayangan yang baik untuk anak usia dini, antara lain, Adit Sopo Jarwo, Laptop Si Unyil, Unyil Keliling Dunia, Dora The Explorer, Curious George, Thomas and Friends, dan Disney Junior. (MRJ)


Keterangan Foto: Salahudin M.Si (Moderator), Agatha Lily M.Si (Komisioner KPI Pusat) dan Drs. Thohri Yasin (Komisioner KPID Jambi) dalam acara Literasi Media Usia Dini, Jambi

 

Sanggau - Banjir informasi yang didapat melalui berbagai sarana media yang ada di Indonesia harus disikapi dengan menyiapkan masyarakat untuk terampil dalam menyaring, memilah, memilih dan memproduksi media.Karenanya keberadaan literasi media di masyarakat sangatlah penting, agar masyarakat menjadi audiens atau konsumen yang aktif, sadar dan kritis terhadap muatan yang tersaji serta mampu menggunakan media sesuai dengan manfaat yang ingin diperoleh. Hal tersebut disampaikan Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Freddy H Tulung, dalam acara Forum Literasi Media di Sanggau, Kalimatan Barat (14/8).

Freddy yang hadir sebagai keynote speaker  di hadapan masyarakat Sanggau yang terdiri dari berbagai unsur ini menyampaikan bahwa jajarannya menilai, meluapnya informasi seiring semakin berkembangnya teknologi informasi adalah berkembangnya paham radikal, munculnya konflik horizontal, serta media menjadi sarana penyebaran informasi yang tidak lagi penting dan tidak ada nilai tambahnya. Misalnya, ujar Freddy, di media  sosial banyak bertebaran informasi-informasi yang tidak ada gunanya.

Sementara dalam acara yang sama, hadir pula Komisioner KPI Pusat bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, Azimah Subagijo dan Amiruddin sebagai pembicara, serta Hendri CH Bangun yang merupakan Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Azimah sendiri menyampaikan materi tentang Literasi Media sebagai keterampilan hidup masyarakat Perbatasan.  Dalam materinya Azimah mengingatkan tentang peran strategis media penyiaran di daerah perbatasan untuk merekatkan kehidupan bermasyarakat untuk mencipta harmoni. Selain juga perlunya masyarakat untuk terus membekali diri agar kompeten dalam menyaring informasi yang masuk melalui media.

Sementara itu Amiruddin mengatakan bahwa literasi media dibutuhkan agar tidak ada missing link antara kebutuhan masyarakat dengan muatan yang tampil di layar penyiaran. Karena, ujar Amir, pada hakikatnya lembaga penyiaran harus merepresentasikan “jiwa” masyarakat, sehingga harus sesuai dengan minat dan kecenderungan masyarakat untuk kemudia diformulasikan dalam format siaran.  Hal itu disampaikan Amir dalam penyampaian materi yang berjudul Memenuhi Kebutuhan Informasi, Afektif dan Integratif melalui Penyiarani Perbatasan Antar Negara.  

Hadir dalam acara tersebut untuk menjadi pembicara, Yohannes Kitteng, Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika dan Hubungan Masyarakat Kabupaten Sanggau, yang menyampaikan isu terbaru dari masyarakat Sanggau. Salah satunya jalan lintas Trans Kalimantan yang sangat rusak dan dipenuhi debu.

 

Keterangan Foto:

Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Freddy H Tulung, saat menyampaikan keynote speech dalam Forum Literasi Media, di Sanggau 14 Agustus 2014.

 

 

 

Padang - Lembaga penyiaran banyak menayangkan hal-hal janggal dalam adat Minangkabau. Namun kejanggalan tersebut belum dapat dikritisi masyarakat. Karenanya kehadiran Forum Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP) di Sumatera Barat yang digagas oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diharapkan dapat menjembatani kepentingan masyarakat agar nilai-nilai adat tetap terjaga di televisi dan radio. Hal itu disampaikan Sayuti Dt Rajo Penghulu, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dalam acara pembentukan FMPP yang diselenggarakan KPI Pusat dan KPI Daerah Sumatera Barat (22/5).

Sayuti menyampaikan bahwa dalam masyarakat Minangkabau dikenal beberapa perbuatan yang dianggap janggal, atau disebut sumbang. Hal itu diantaranya sumbang duduak, sumbang tagak, sumbang diam, sumbang perjalanan, sumbang pekerjaan, sumbang tanyo, sumbang jawab, sumbang kurenah, sumbang pakaian, dan sumbang pergaulan. “Salah satu perilaku sumbang yang sering tampil di televisi adalah pekerjaan koki yang dilakukan oleh kaum laki-laki”, ujar Sayuti.

Dalam adat minang, pekerjaan memasak adalah hak istimewa yang diberikan kepada perempuan. Sehingga jadi terasa sumbang, kalau laki-laki tampil memasak di televisi ataupun sebagai koki, tambahnya.
Selain itu, Sayuti juga mengingatkan bahwa Sumatera Barat tengah menggagas menjadi provinsi yang menjunjung Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah (ABSSBK). Dirinya berharap pengelola televisi dan radio dapat menyesuaikan muatannya dengan nilai-nilai adat dan syara tersebut.

Hal-hal sumbang yang kerap kali ditampilkan di televisi itu, menurut Sayuti, sedikit banyak berpengaruh pula dengan perilaku masyarakat sehari-hari.  Sumbang pergaulan dan sumbang pakaian misalnya, tukas Sayuti. Karena di televisi sering muncul pergaulan pria dan perempuan yang sumbang, maka sedikit demi sedikit berpotensi mengikis nilai-nilai tersebut di tengah masyarakat. Apa yang dirasa sumbang oleh adat, karena sering kali dimunculkan di penyiaran maka menjadi hal yang biasa.

Dia pun berharap isi penyiaran lebih banyak memberikan motivasi pada generasi mudah untuk berlaku positif. “Kisah perjalanan sukses tokoh-tokoh negeri ini banyak mendapatkan respon positif dari masyarakat”, ujarnya.
Untuk itu, Sayuti sangat antusias dengan pembentukan FMPP di Sumatera Barat ini. Dirinya berharap, masyarakat Minangkabau diberikan akses untuk dapat memberikan masukan dan kritisi terhadap muatan siaran. Sehingga selain muatan siaran itu sejalan dengan  kearifan lokal sebagaimana yang ada dalam ABSSBK, juga memberikan manfaat optimal bagi pembangunan karakter masyarakat yang kuat.

Jakarta - Tim seleksi calon anggota KPID DKI Jakarta telah melaksanakan uji kompetensi terhadap calon anggota KPID DKI Jakarta. Sebanyak 14 orang calon anggota KPID DKI Jakarta masa jabatan 2014-2017 dinyatakan lolos uji kompetensi dan akan mengikuti uji publik.

Terkait hal itu, Komisi A DPRD DKI Jakarta memberitahukan kepada masyarakat untuk menyampaikan tanggapan dan masukan secara resmi (tertulis) kepada Komisi A DPRD DKI Jakarta mulai tanggal 12 sampai 18 Agustus 2014.
Berikut nama calon anggota yang lolos uji publik DPRD Provinsi DKI Jakarta.

1. Ir. Ramli Darmo Sirait
2. Fajar Kurniawan, S.Sos, M.Si
3. Noor Saadah, D
4. Ervan Ismail, M.Si
5. Adil Quarta Anggoro
6. Doddy Jufiprianto
7. Dr. Afrina Sari, M.Si
8. Ady Helmy Nando
9. Ubaidillah, M.Pd
10.Leanika Tanjung
11.Abdillah Pahresi, S.Sos., S.H.
12.Muhammad Sulhi
13.Fahrizal Ahmad Afwan
14.Hamdani Masil, M.Si

Padang - Kelompok masyarakat yang kritis terhadap muatan siaran menjadi ujung tombak dalam menjaga nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang muncul di penyiaran. Sehingga nilai-nilai budaya tersebut tetap terjaga sebagaimana mestinya. Hal tersebut disampaikan Judhariksawan, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dalam acara pembentukan Forum Masyarakat Peduli Penyiaran di Padang (22/5).
Menurut Judha, keberadaan kelompok masyarakat yang kritis ini juga menjaga keberagaman muatan siaran baik di televisi dan radio. Apalagi mengingat Indonesia adalah negara dengan penuh keragaman suku bangsa yang tentunya memiliki kekhasan dan kekhususan sendiri.
Judha menjelaskan pula tentang urgensi keberaaan kelompok-kelompok kritis media. “Undang-undang penyiaran juga memberi kewajiban dan tanggung jawab pada masyarakat untuk berperan serta dalam mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional”, ujar Judha. 
Hal ini tentunya harus disadari karena penyiaran menggunakan spektrum frekuensi  yang bersifat sangat terbatas. “Sehingga hanya orang-orang yang terpilih saja yang dapat mengelola spektrum frekuensi”, tambahnya. Namun pemegang kedaulatan tertinggi atas frekuensi tetaplah masyarakat Indonesia.
Karenanya, masyarakat Indonesia juga berhak melakukan kritisi jika muatan penyiaran yang menggunakan frekuensi tersebut bertentangan dengan tujuan penyelenggaraan penyiaran. “Kita tentu tidak ingin lembaga penyiaran hanya berorientasi pada bisnis semata. Tanpa memikirkan dampaknya pada masyarakat”, ujar Judha.
Keberadaan forum yang mewadahi masyarakat untuk bersikap kritis terhadap media penyiaran adalah dalam rangka meningkatkan kontrol masyarakat terhadap lembaga penyiaran. “Karena, kecenderungan dari lembaga penyiaran lebih mengedepankan sisi bisnis dengan capaian kuantitas, bukan kualitas,"tambahnya. Judha yakin, jika masyarakat aktif menyuarakan aspirasinya terhadap muatan penyiaran, maka pengelola televisi dan radio akan berpikir ulang jika hendak menyiarkan program  siaran berkualitas rendah.
Dalam forum tersebut hadir pula Komisioner KPI Pusat lainnya, Fajar Arifianto Isnugroho, Idy Muzayyad, Bekti Nugroho dan Amiruddin. Sedangkan dari pembicara lain yang turut memberikan materi adalah Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau – Sumatera Barat, Sayuti Dt Rajo Penghulu dan Bobby Guntarto dari Yayasan Pengembangan Media Anak.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.