Jakarta - Radio publik harus tetap menjaga independensi dan tidak komersil. Hal tersebut diungkapkan oleh Amirudin Komisioner KPI Pusat saat menerima kunjungan  delegasi pansus DPRD Kabupaten Rokan Hulu, Riau di kantor KPI Pusat,  7 November 2013.

Dalam kesempatan tersebut, Pansus DPRD Kabupaten Rokan Hulu membahas terkait peraturan daerah (perda) pembentukan dewan pengawas lembaga penyiaran publik.

Menurut Amirudin Komisioner KPI Pusat, fungsi korelasi radio memiliki peranan penting untuk menjadikan radio publik yang independen. "Radio publik tidak boleh komersil. Tapi bukan berarti tidak boleh menerima iklan, hanya porsinya lebih kecil, dari 20 Persen, 15 persennya untuk Iklan Layanan Masyarakat," ujar Amirudin.

Independensi Lembaga Penyiaran Publik hanya berlaku jika check and balance berjalan.  Pertanggungjawaban dan pengawasannya melalui Dewan Pengawas harus diatur melalui perda.

Dalam pembentukan Dewan Pengawas, Amirudin mengatakan Dewan pengawas harus netral dan dipilih secara independen agar Dewan Pengawas tidak berbau LSM. Seleksi anggota Dewan Pengawas harus diperketat agar tidak ada perwakilan dari partai politik tertentu.

"Atur saja di dalam perda sepanjang untuk kepentingan yang lebih baik," ungkap Amirudin. Red

 

 

Jakarta – Perencanaan regulasi yang matang dan transparan dinilai dapat meminimalisir kemungkinan kesalahan pelaksanaan regulasi ke depan. Kemungkinan lainnya adalah masyarakat menjadi tahu terhadap regulasi yang dibuat dan tentunya tidak membuat mereka menjadi korban. Demikian disampaikan Anggota KPI Pusat, Azimah Subagijo, ketika menjadi narasumber Seminar Nasional Digitalisasi Penyiaran dengan tema “Kesiapan Masyarakat Menuju Era Televisi Digital” yang diselenggarakan KPID DKI Jakarta di Hotel Crsyant, Rabu, 23 Oktober 2013.

Apa yang disampaikan Azimah mengkritisi peraturan yang dibuat pemerintah terkait pelaksanaan sistem digitalisasi (Permen No.22 tahun 2012) meskipun pada akhirnya peraturan tersebut dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu karena dianggap menyalahi aturan di atasnya. 

“Ke depan, pemerintah harus dapat belajar dari kasus tersebut. Keterlibatan semua pihak sangat diperlukan karena ini menyangkut kebijakan besar dan menentukan nasib masyarakat dan usaha yang menjalankannya,” kata Azimah di depan peserta seminar yang sebagian besar mahasiswa dan anggota Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI).

Dalam kesempatan itu, Azimah berharap, pelaksanaan sistem digitalisasi dapat diatur secara detail dalam UU Penyiaran yang baru. “Dalam UU Penyiaran sekarang, aturan soal digital belum detail. Jadi, perlu diperjelas dalam UU Penyiaran yang baru nantinya,” pintanya.

Pada prinsipnya, lanjut Azimah, KPI sangat mendukung dan menyambut baik kemajuan teknologi penyiaran di Indonesia demi kebaikan, efektif serta kemanfaatan yang besar untuk masyarakat. 

Sementara itu, Rektor Universitas Multimedia Nusantara, Ninok Laksono, mengarisbawahi soal kegunaan kanal bagi kemaslahatan masyarakat. Sistem digitalisasi merupakan salah satu upaya menyelesaikan keterbatasan kanal yang ada saat ini. Namun, apabila kanal tersebut sudah banyak dan terpenuhi apakah konten yang ada bisa lebih baik dan berkualitas serta memberikan manfaat.

Ninok menekankan pentingnya kejelian dan kepandaian masyarakat dalam memilah dan memilih konten yang baik dan bermanfaat. “Jika tidak pandai memilih, masyarakat pula yang akan menanggung seperti kemampuan tidak meningkat,” katanya.

Alex Kumara, praktisi penyiaran, menjelaskan keunggulan teknologi digitalisasi untuk kemajuan penyiaran. Beberapa contoh dari negara lain yang sudah menjalankan sistem ini bisa menjadi masukan. Penerapan sistem digital di Inggris dianggap cocok untuk diadopsi oleh Indonesia karena beberapa keunggulan dan juga efesien dari sisi ekonomi.

Dosen Komunikasi Universitas Padjajaran, Deni Darmawan, memandang pentingnya sebuah strategi yang tepat terkait pelaksanaan digitalisasi oleh masyarakat. Menurutnya, proses digitalisasi harus menyenangkan dan meringankan masyarakat. Red

 

Banten - Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) harus benahi kualitas isi siarannya, mengingat banyaknya program siaran televisi yang didominasi oleh hiburan yang tidak mendidik. Himbauan ini disampaikan oleh dua komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Danang Sangga Buwana dan Agatha Lily pada acara Evaluasi Uji Coba Siaran (EUCS) terhadap 6 lembaga penyiaran lokal di Hotel Le Dian, Banten pada 10 – 12 September 2013.

EUCS yang dihadiri pula oleh perwakilan dari Kemenkominfo dan KPI Daerah Banten merupakan proses mendapatkan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Tetap yang akan berlaku selama 5 tahun untuk radio dan 10 tahun untuk televisi. Karenanya, hasil EUCS ini dihaapkan dapat sesuai dengan harapan masyarakat Banten untuk mendapatkan siaran program televisi dan radio yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sebagai komisioner bidang infrastruktur dan peizinan, Danang Sangga Buwana menegaskan hasil izin IPP Tetap nantinya harus dijadikan semangat baru bagi lembaga penyiaran di Banten untuk mencerdaskan masyarakat sekitar melalui program siaran yang berkualitas.

“Jangan sampai setelah mendapatkan IPP selanjutnya, lembaga penyiaran ini justru memanfaatkannya untuk kepentingan lain. Apalagi hanya dijadikan sebagai alat jualan saja. Karena fenomena selama ini, tidak sedikit lembaga penyiaran bersusah payah mencari izin tetap, namun setelah itu perusahaannya dijual kepada pihak lain. Ini motif mencari keuntungan besar dengan mempermainkan frekuensi milik Negara. Jelas tidak boleh,” tegas Danang.

Agatha Lily, selaku komisioner bidang isi siaran menggarisbawahi pentingnya hak publik untuk mendapatkan informasi dan program siaran yang jernih, mendidik dan bertanggungjawab. Termasuk diantaranya porsi siaran yang menggambarkan kearifan lokal.

“Banten merupakan Provinsi yang kaya akan budaya dan pesona panorama alamnya. Penting bagi lembaga penyiaran di Banten untuk memerankan diri sebagai gerbang informasi Provinsi Banten, tidak hanya bagi penduduk setempat, tetapi juga bagi masyarakat di luar Banten. Disinilah peran transformatif lembaga penyiaran Banten untuk kemajuan lokal.

Senada dengan Danang dan Lily, dua komisioner KPID Banten, Ade  dan Luthfi juga menegaskan pentingnya mengeskplorasi kearifan lokal tersebut. “Di daerah sini terdapat suku Badui yang bisa menjadi salah satu subjek siaran yang khas suku Banten. Ini penting untuk disiarkan secara jernih dan bertanggungjawab agar masyarakat tahu bahwa suku Badui penuh dengan kearifan lokal yang dapat dijadikan teladan hidup bagi masyarakat zaman sekarang yang cenderung kehilangan nilai moralitas dan keteladanan,” kata Ade. (Zet El)

Jakarta - Penyelenggaraan penyiaran berlangganan harus ditata ulang dengan serius dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, dengan tujuan menjaga bisnis penyiaran agar memberikan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Selama ini, banyak keluhan masuk ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tentang Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB). Di antaranya soal konten isi siaran LPB yang banyak memuat pelanggaran atas Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Selain itu, penyelenggaran LPB sendiri di berbagai daerah, sekalipun diakui membantu pemerintah dalam pemenuhan hak-hak masyarakat atas informasi, namun diperoleh melalui cara yang ilegal sehingga melanggar hak-hak pihak lain. Hal itu terungkap dalam Diskusi Publik “Quo Vadis Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) di Indonesia”, yang diselenggarakan oleh KPI Pusat (17/9).

Dalam pemaparan yang disampaikan oleh Komisioner KPI Pusat, Azimah Subagijo, saat ini terjadi dispute regulasi dalam penyelenggaraan LPB. Undang-Undang Penyiaran saat ini memang mengakui keberadaan dari LPB sebagaimana juga menyebut tiga entitas lembaga penyiaran lainnya, yakni lokal, public dan swasta, ujar Azimah. Namun dalam peraturan pelaksanaan yang merupakan turunan dari undang-undang justru banyak hal yang tidak sinkron.

Soal pembiayaan misalnya, ujar Azimah. Dalam Undang-Undang Penyiaran, pembiayaan LPB didapat melalui iuran berlangganan dan usaha lain yang sah dan terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah menyebut pembiayaan LPB selain lewat iuran, juga diperoleh dari iklan. Hal lainnya yang bermasalah ada soal sensorship sebagaimana yang diwajibkan oleh Undang-Undang Penyiaran, bahwa film/ iklan wajib lulus sensor Lembaga Sensor Film (LSF). Namun Peraturan Pemerintah tidak menyebutkan kewajiban sensor tersebut.

Dalam regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah soal iklan di LPB, mengatur syarat-syarat iklan dengan ketat. Termasuk misalnya, kewajiban menggunakan sumber daya lokal untuk iklan-iklan produk luar negeri yang muncul di LPB. Azimah mengakui ada sanksi denda yang dapat diterapkan atas pelanggaran aturan ini. Namun sayangnya, belum ada peraturan  turunan yang mengatur penghasilan negara bukan pajak (PNBP) atas sanksi denda tersebut. “Jika KPI memaksa menjatuhkan sanksi, kemana denda yang  dipungut tersebut akan diserahkan?” tanyanya.

KPI sendiri, aku Azimah, juga mendapat masukan tentang melaporkan masuknya lembaga penyiaran asing baik lewat LPB ataupun yang free to air melalui satelit namun disalurkan oleh LPB.  Azimah menegaskan bahwa LPB tidak boleh jadi kepanjangan tangan lembaga penyiaran asing. Karena undang-undang penyiaran saat ini menyebutkan lembaga penyiaran asing dilarang didirikan Indonesia.

Dalam diskusi ini berkembang pula usulan untuk meninjau ulang tentang open sky policy yang dianut oleh Indonesia. Salah satunya dari Agung DM Sahidi (Telkomvision), yang berharap kebijakan tersebut ditinjau dari segi manfaat dan keburukan yang akan diperoleh bangsa ini. Pertimbangan Agung, dengan open sky policy ini seluruh masyarakat dapat menerima semua program siaran yang dipancarkan melalui satelit, hanya dengan bermodalkan antena parabola. Sementara regulasi terkait isi siaran untuk konten-konten yang dipancarkan melalui satelit tidak dapat menjangkau lembaga penyiaran yang tidak berdomisili di Indonesia. Menurut Agung, Indonesia dapat belajar dari Singapura dan Malaysia yang tidak menganut kebijakan open sky tersebut.

Dalam penutup, Azimah kembali menegaskan, penataan LPB saat ini sudah menjadi sebuah keharusan. Dirinya yakin, LPB yang sehat dan berkualitas dan mampu memberi pencerahan bagi masyarakat, pada akhirnya juga menguntungkan secara bisnis jangka panjang. Untuk itu, KPI berharap seluruh pemangku kepentingan mau duduk bersama menata ulang LPB untuk kemaslahatan bangsa.

 

 

 

Banda Aceh - Keberadaan Lembaga Penyiaran Publik Lokal di Aceh hendaknya menjadi garda terdepan dalam memberi informasi pada masyarakat Aceh, terutama pendidikan menghadapi bencana. Hal tersebut disampaikan Azimah Subagijo Koordinator bidang infrastruktur penyiaran dan perizinan Komisi Penyiaran Indonesia  (KPI) Pusat, dalam acara Evaluasi Uji Coba Siaran beberapa lembaga penyiaran di Aceh (11/9).

Berdasarkan hasil amatan di beberapa lembaga yang menangani bencana,dan KPI sendiri, lembaga penyiaran selama ini hanya bersifat tanggap bencana. Padahal yang dibutuhkan masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana tidak hanya itu, namun menyeluruh pada tiga tahapan.  Yakni, tahapan sebelum bencana, dengan  mempersiapkan masyarakat untuk selalu siaga akan bencana. Serta memberikan pendidikan sebelum bencana terjadi, ujar Azimah.

Selanjutnya pada tahapan terjadinya bencana. Lembaga penyiaran harus aktif memberikan informasi pada masyarakat untuk meminimalisir korban yang ditimbulkan dari bencana ini. Yang terakhir, ujar Azimah, adalah pada tahapan pasca bencana. Lembaga penyiaran bisa berperan dalam menyembuhkan trauma pada masyarakat, serta ikut membangun kembali lingkungan yang rusak akibat bencana.

Azimah menyadari, bahwa ada bencana yang tidak dapat diprediksi datangnya, seperti gempa dan tsunami. Namun dengan peran aktif lembaga penyiaran dalam mendidik masyarakat untuk siaga terhadap bencana, terutama di daerah-daerah yang memang sudah dinyatakan rawan, korban dan kerugian yang ditimbulkan bencana dapat diminimalkan.

Sementara itu, dalam EUCS yang juga dihadiri oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) ini, ikut diuji juga radio yang bersiaran di daerah perbatasan. Menurut Azimah, keberadaan radio di daerah perbatasan Indonesia dengan negara lain harus mampu menguatkan rasa kebangsaan bagi masyarakat setempat. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan membuat program-program yang menumbuhkan rasa cinta pada tanah air, selain juga memproduksi program dengan muatan yang mampu bersaing dengan radio-radio asing yang siarannya menerobos wilayah udara Indonesia.

Selain itu, Azimah mengusulkan adanya kerjasama dari radio-radio di perbatasan ini dengan Radio Republik Indonesia (RRI), untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang terjadi di daerah perbatasan. Bagaimanapun, ujar Azimah, keberadaan masyarakat di perbatasan tentu tidak sama dengan masyarakat secara umum. Sehingga masyarakat juga dapat merasakan perjuangan saudara-saudara sebangsanya di daerah-daerah terluar negeri ini. Dengan sendirinya,akan menguatkan rasa kebersamaan sebagai satu bangsa, pungkas Azimah.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.