Jakarta - Pengurus Indonesia Cable TV Association (ICTA) berkunjung ke kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Presiden ICTA Faisal Irsyad mengatakan, kedatangan ke KPI untuk silaturhami dan perkenalan lembaganya yang baru dideklarasikan pada 14 Juni 2014.
“Terbentuknya asosiasi ini, karena menjamurnya TV Kabel di berbabagai daerah. Jadi kami rasa, kami selaku pelaku dan pelaksana TV Kabel di berbagai daerah di Indonesia membutuhkan asosiasi. Perlu diingat, peserta dalam asosiasi ini adalah pelaku, pemilik, dan pengusaha layanan TV Kabel yang berada di seluruh daerah, termasuk Jakarta,” kata Faisal di Ruang Rapat KPI, Kamis 26, Juni 2014.
Kunjungan ICTA diterima oleh Komisioner Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Danang Sangga Buwana. Danang mengatakan, KPI selaku regulator penyiaran di Indonesia mengapresiasi terbentuknya asosiasi itu.
Dari temuan KPI di daerah, menurut Danang, ditemukan ribuan layanan TV Kabel atau Lembaga Penyiaran Berlangganan yang belum memiliki izin resmi atau ilegal. “Dengan adanya asosiasi ini, kami berharap teman-teman bisa berkontribusi memberikan masukan dan arahan pada teman-teman di daerah akan pentingnya legalitas Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) Kabel ini,” ujar Danang.
Selain itu Danang juga menerangkan, pesatnya persaingan layanan TV Kabel saat ini membutuhkan wadah agar bisa menumbuhkan iklim bisnis yang sehat di Indonesia. Selain itu, menurut Danang, keberadaan ICTA bisa memberikan masukan terkait dengan layanan TV Kabel terkait konten dan jumlah kanal dari luar negeri yang didistribusikan ke pelanggannya.
Apalagi menurut Danang, momennya tepat, karena saat ini DPR masih dalam tahap revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Danang berharap, ICTA bisa memberikan masukan terkait dengan layanan televisi berlangganan dan mengupayakan ada pertemuan dengan DPR untuk membahas khusus tentang layanan penyiaran berlangganan. Ini sebagai bahan masukan untuk perundang-undangan penyiaran yang nanti diresmikan.
Asdar salah satu pengurus ICTA mengatakan, layanan penyiaran berlangganan saat ini perlu mendapat perhatian dari DPR sebelum diresmikannya UU Penyiaran yang baru. Menurut Asdar, di banyak negara Asia, layanan televisi berlangganan sudah menjadi perhatian khusus, baik dari jumlah kanal yang didistribusikan hingga konten yang diwajibkan.
Asdar mencontohkan, bagaiamana India mengatur maksimal 20 kanal asing yang masuk di televisi berlangganan. Demikian juga dengan aturan yang mengharuskan menerjemahkan setiap siarannya dalam Bahasa India dan konten yang harus tidak melanggar norma-norma yang dianut masyarakat India.
“Bisa gak jumlah kanal di TV Kabel dibatasi pemerintah? Ini terkait dengan industri penyiaran lokal kita. Kalau ini tidak diatur dan tidak dibatasi, industri penyiaran kita akan dikuasi asing. Kemudian industri konten dalam negeri kita tidak akan bisa berkembang di negeri sendiri,” terang Asdar.
Bahkan Asdar juga menyorot keberadaan kantor perwakilan kanal televisi asing yang masuk Indonesia yang nayris tidak ada di Indonesia. Hal ini seperti kasus Blackberry yang sebelumnya tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia. “Itu terjadi karena sistem regulasinya belum mengaturnya. Semoga ke depan, untuk televisi berlangganan ini bisa diatur dalam undang-undang yang baru,” terang Asdar.
Danang menilai, dari dialog dan masukan dengan ICTA, memang perlunya regulasi yang menyeluruh terkait penyiaran, termasuk layanan TV berlangganan. KPI sebagai regulator dan bentuk dari representasi publik, ICTA bisa mengirimkan surat ke KPI terkait dengan layanan TV berlangganan, baik hal teknis hingga terkait regulasi, dan kondisi riil yang ditemukan di lapangan.