altKairo - Sejak pekan lalu, Sky News Arabia, sebuah joint venture antara BSkyB Inggris dengan Abu Dhabi Investment Corporation, meramaikan jagad media di Dunia Arab. Dengan redaksi berkekuatan 400 jurnalis, Sky News Arabia siap menyaingi Al Jazeera dan Al Arabiya, 24/7 dan dalam Bahasa Arab.

BSkyB terkait erat dengan nama Rupert Murdoch dimana News Corp menguasai 39% saham. Sebagai mitra di Abu Dhabi adalah Sjeikh Mansour Bin Zayed al-Nahayan, anggota keluarga penguasa Uni Arab Emirat yang antara lain menjabat Wakil Perdana Menteri, juga pemilik klub Manchester City sang juara kompetisi tahun ini di Premiere League. Peluncuran Sky News Arabia seperti galibnya diiringi dengan jaminan independensi jurnalistik. Semua komite penasehat beranggota enam orang siap mengawasi.

Sky News Arabia mempromosikan dirinya dengan independensi tersebut. Namun demikian, banyak stasiun penyiaran di Timur Tengah sangat tergantung pada penyandang dana tertentu di negara teluk. Akibatnya mereka kerap dituding memihak dalam konflik di kawasan dan pemberitaannya menguntungkan penyandang dana.

Al Jazeera pernah dikritik atas caranya yang agak antusias dimana stasiun tersebut memberitakan pemberontakan-pemberontakan di beberapa negara Arab. Setidaknya di negara-negara dimana pemberontakan itu sesuai dengan kebijakan luarnegeri Qatar selaku penyandang dana Al Jazeera.

Tentang pemberontakan di Bahrein dan unjuk rasa di Saudi Arabia, Al Jazeera lebih menahan diri. Al Arabiya, pesaing terbesar Al Jazeera saat ini, juga dituding tidak independen. Media yang dibiayai oleh Saudi tapi berbasis di Dubai ini cukup lama tetap mendukung kroni rezim Mubarak.

"Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa Sky News Arabia akan menjadi sebuah kekecualian. Dana untuk media ini terus mengalir dari kawasan sama: Qatar, Saudi Arabia dan sekarang Emirat. Jangan terlalu berharap mengenai pemberitaan kritis mengenai keluarga kerajaan di Teluk," ujar mediawatcher Habib Battah di Beirut, dikutip NRC Handelsblad (15/5)

Sky News Arabia masuk ke pasar yang luarbiasa ketat. Di samping stasiun lokal Arab, juga sudah ada BBC Arabic (Inggris), Al-Hurra (Amerika Serikat), France 24 (Prancis), Russiya Al Youm (Rusia), Al Alam (Iran) dan CCTV (Cina) yang telah lama mapan di kawasan dengan siaran berbahasa Arab.

Apakah cukup banyak masyarakat Arab untuk menonton seabreg siaran tersebut? Battah menilai tidak. "Rating sebagian besar stasiun tersebut sangat jelek, mereka jarang menembus satu atau dua prosen penduduk," imbuh Battah.

Sky News Arabia memang berbeda dari lainnya, sebab stasiun ini beroperasi sepenuhnya dari kawasan sendiri.
Media baru ini justru ingin bersaing dengan Al Jazeera dan Al Arabiya, bukan dengan media asing tersebut.

Namun tetap menjadi pertanyaan apakah masih ada tempat di Dunia Arab untuk televisi siaran 24 jam? "Secara komersia pasti tidak. Dalam bisnis ini hampir tak ada uang lagi untuk bisa dihasilkan," tegas Battah.

Pasar iklan untuk televisi Arab totalnya diperkirakan USD 1 sampai USD 2 miliar per tahun. Namun menurut bos grup MBC TV (Saudi Arabia) Ali Jaber, ongkos eksploitasi tahunan untuk semua penyiaran itu mencapai USD 6,5 miliar.

"Dengan kata lain elite politik dan finansial Arab setiap tahunnya bersedia rugi USD 5,5 miliar dalam bisnis televisi ini," terang Jaber dalam konferensi TEDx di Beiroet, 2011.

"Bahwa elite Arab bersedia untuk itu, tidak begitu mengherankan. Memiliki stasiun sendiri adalah jaminan menghadapi para pengkritik. Dengan itu orang membeli pengaruh. Sebuah pengaruh sama berharganya dengan keuntungan," timpal Battah.

Masih akan ada pesaing baru yang siap menyusul. Pangeran Saudi Al Waleed Bin Talal akan mendirikan stasiun siaran Alarab pada akhir tahun ini dengan kantor pusat di Bahrain. Red dari berbagai sumber

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.