Surakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membutuhkan masukan dari berbagai elemen masyarakat atas draft Revisi P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) sebelum disahkan menjadi peraturan KPI (PKPI). Diharapkan masukan ini akan melahirkan pedoman penyiaran yang isinya mewakili seluruh kepentingan terkait.

Untuk itu, penyelenggaraan “Seminar Masukan Draft Revisi P3SPS Bersama Stakeholder Penyiaran” yang digelar KPI Pusat di Monumen Pers Nasional, Surakarta, Sabtu (16/3/2024) lalu, dihadirkan narasumber dari berbagai kelompok kepentingan. Dalam forum tersebut mereka menyampaikan masukan dan pandangannya atas draft revisi P3SPS. 

Narasumber itu antara lain Nuning Rodiyah (Aktivis Perempuan dan Pegiat Literasi), Gilang Iskandar (Sekjen ATVSI), Mochamad Riyanto (Sekjen ATVNI), dan Aidul Fitriciada Azhari (Akademisi Hukum). 

Di awal forum, Nuning Rodiyah yang juga Anggota KPI Pusat dua periode (2016-2019 dan 2019-2022), mengapresiasi langkah KPI melakukan revisi P3SPS. Dia menilai KPI sekarang lebih matang melakukan revisi P3SPS dengan menggali masukan publik. 

Sebelum jauh menyampaikan masukannya, Nuning mengatakan bahwa penyiaran sebagai media pembentuk moral bangsa justru kini mulai ditinggalkan. Padahal, informasi yang hadir di media penyiaran berbasis frekuensi informasinya dijamin jauh dari hoaks. 

Menurutnya, KPI hendaknya tidak hanya fokus dalam melakukan pengawasan dan sanksi. Tetapi KPI harus juga menyikapi tantangan yang dihadapi lembaga penyiaran saat ini dengan berkolaborasi bersama.

“Kolaborasi dari berbagai pihak, seperti lembaga penyiaran dan asosiasi, dianggap penting untuk memperbaiki ketidaksesuaian aturan dengan kebutuhan lembaga penyiaran. Juga dalam menyikapi perubahan dinamika penyiaran yang semakin kompetitif,” ujar Nuning. 

Aktivis Perempuan ini mengusulkan KPI perlu mengatur secara jelas mengatasi keambiguan dalam mengatur konten siaran dan perlindungan perempuan terhadap kekerasan seksual. “Pasal mengenai perlindungan perempuan sangat umum dan harus dilakukan penegasan melalui regulasi. Karena, cancel culture di Indonesia belum sekuat di Korea, maka harus perkuat regulasinya,” tambah Nuning.

Dalam kesempatan yang sama, Gilang Iskandar dari ATVSI berpendapat, perlunya perubahan paradigma terhadap lembaga penyiaran. Dia mengingatkan bahwa KPI harus tetap memiliki paradigma perlindungan kepada pemirsa dengan proporsional dan tidak berlebihan. Menurutnya, sanyak lembaga penyiaran yang menyajikan informasi yang baik. 

“Kita harus ingat bahwa dalam dunia bisnis, lembaga penyiaran juga membawa misi kebangsaaan,” kata Gilang. 

Karenanya, lanjut Gilang, peraturan yang disahkan nanti diharapkan tidak semakin menyulitkan gerak industri penyiaran. Saat ini, lanjutnya, banyak lembaga penyiaran yang mengalami krisis. Dia meminta KPI turut memacu tumbuhnya industri yang lebih sehat. “Lembaga penyiaran saat ini masih bertahan saja masih bagus,” tuturnya. 

Sementara itu, Sekjen Asosiasi TV Nasional Indonesia (ATVNI) Mochammad Riyanto, meminta KPI bersikap lebih moderat dalam penyusunan revisi draft P3SPS. “Peraturan yang hadir harus berani meninggalkan stereotipe dan tidak kaku sehingga tercipta keadilan,” ucapnya.

Riyanto juga menambahkan perlu adanya peraturan khusus mengenai tipe lembaga penyiaran. Mulai dari lembaga penyiaran swasta, komunitas, berlangganan, publik, dan radio harus ada klasifikasi. “Muatan P3SPS berbeda-beda harusnya disesuaikan, jangan digeneralisasikan,” katanya sekaligus menyatakan komitmen ATVNI untuk membantu perumusan draft revisi P3SPS ini. 

Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Prof. Aidul Fitriciada Azhari, menyampaikan pandangan yuridisnya mengenai P3SPS. Menurutnya, P3SPS itu lahir berdasarkan perintah UU Penyiaran. Karenanya, sebagai turunan kode etik aturan ini harus dirumuskan bersama-sama dengan pihak terkait. 

Dia menjelaskan bahwa hukum harus lahir dari etika. Etika yang diterjemahkan menjadi kode etik penegakannya berbeda dengan penegakan pidana. “Penegakannya dilakukan secara terpisah tidak masuk dalam bagian sanksi pidana akan tetapi berupa sanksi administratif seperti pencabutan izin,” tegas Ketua Komisi Yudisial periode 2016-2018 ini.

Aidul juga menyoroti berbagai problematika dunia penyiaran. Dia menuturkan berbagai dampak dari hadirnya media baru yang belum terakomodir dalam kode etik. Menurutnya, kehadiran media yang minim pengawasan ini mengancam kualitas informasi yang beredar di masyarakat.

Oleh karena itu, lahirnya kode etik bagi media baru nanti harus mengakomodasi media sosial dan platform jurnalisme. “Media baru dapat dikendalikan dengan jelas. Namun, aktivitasnya tidak terhambat,” tutup Aidul.

Seminar diakhiri dengan diskusi bersama peserta. Hadir dan turut berdiskusi dalam acara Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, Anggota KPI Pusat yang juga Koordinator bidang PKSP (Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran) Muhammad Hasrul Hasan, serta Anggota KPI Pusat lainnya antara lain Tulus Santoso, Aliyah, Amin Shabana, Mimah Susanti, Evri Rizqi Monarshi, dan I Made Sunarsa. Hadir pula Kepala Sekretariat KPI Pusat, Umri. Abidatu Lintang

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk segera mengesahkan RUU Penyiaran. Hal ini agar KPI bisa menjalankan tugas dan fungsinya dalam mengontrol seluruh jenis penyiaran, baik media digital maupun konvensional.

Hal itu disampaikan Anggota KPI Pusat, Mimah Susanti, dalam diskusi forum legilasi “Menuju Era Baru, RUU Penyiaran Perlu Ikuti Kemajuan Teknologi” di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (19/3/2024).

Menurut Anggota KPI Pusat bidang Kelembagaan ini, kepentingan dari perlunya RUU Penyiaran segera disahkan lantaran teknologi digital mengalami perkembangan yang sangat pesat, dan jika bebas dampaknya bisa buruk bagi generasi muda bangsa seperti terorisme, radikalisme, dan kekerasan.

Lebih lanjut Mimah Susanti menilai jika media baru mencapai 79.8 % dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 278 juta jiwa dengan pengguna sebanyak 221 juta orang. “Perkembangan ini berdampak terhadap perilaku anak dan penurunan bisnis akibat banyak yang mengalihkan ke media digital,” ujarnya.

Menurutnya, belum ada perlakuan sama antara kedua macam media tersebut. Dimana yang konvensional mendapat kontrol yang kuat dari KPI dan masyarakat sendiri juga membayar pajak. Sebaliknya media digital tidak demikian; kejar tayang tapi tak bayar pajak, dan lebih bahaya lagi jika kontennya membahayakan anak-anak. Seperti narkoba, kriminalitas, ideologi Barat, pergaulan bebas dan lain-lain.

Abdul Kharis sendiri mengakui jika Baleg DPR RI sudah melakukan beberapa kali rapat dan rapat terakhir sekarang ini diharapkan bisa menyelesaikan RUU penyiaran tersebut setelah menerima banyak aspirasi dari Masyarakat. “Insya Allah tidak lama lagi akan diparipurnakan untuk disahkan. Yang terpenting kedua media/TV digital dan konvensional mendapat perlakuan sama di tengah kemajuan teknologi saat ini,” tambahnya.

Terlebih kata Abdul Kharis, UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran ini tidak dilakukan perubahan, sehingga sudah saatnya revisi ini segera disahkan.

“Isu sentralnya seluruh bentuk penyiaran dengan perlakuan hukum yang sama. Media digital jangan memberi dampak buruk kepada masyarakat. Misalnya caci-maki, misuh-misuh seperti tradisi di Jawa Timur, dalam rangka menjaga etika tidak boleh diberlakukan sama di daerah lain,” ungkap Abdul Kharis.

Firman Subagiyo menyatakan hal yang sama, jika revisi RUU Penyiaran itu harus antisipatif, represif, dan dinamis sesuai kebutuhan zamannya. Apalagi perkembangan medsos sangat dahsyat, harus menghindari monopoli, juga tidak cermat apakah media itu membayar pajak atau tidak?

“Jangan sampai negara dirugikan oleh pelaku media asing. Karena itu, KPI harus diberi ruang untuk mengawasi media digital ini. Dalam masa sidang ini harus selesai, jangan sampai carry over ke anggota DPR baru 2024, karena akan dimulai dari nol lagi,” jelas politisi Golkar ini.

Dave Laksono juga menambahkan jika media asing harus mendapat pengawasan dari negara dan KPI. Selain soal pajak, juga mereka (Netflix) menyebarkan ideologi LGBT secara terselubung yang bertentangan dengan nilai-nilai dan moral bangsa Indonesia.”Jadi, jangan sampai mereka ini merusak ideologi, idealisme dan nilai-nilai luhur bangsa, khususnya generasi muda,” pungkasnya. **/Foto: Istimewa

 

 

 

 

 

 

Surakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) membuka ruang masukan atas draft Revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebelum diputuskan menjadi hukum tetap. Revisi P3SPS menjadi program prioritas hasil dari rekomendasi Rakornas KPI untuk menghadirkan pedoman penyiaran pengganti yang sesuai dengan dinamika industri penyiaran. 

Saat ini, pedoman yang berlaku dan menjadi acuan bersiaran bagi media penyiaran (TV dan radio) yakni P3SPS tahun 2012. Pedoman ini dinilai perlu dilengkapi dengan aturan-aturan yang menyesuaikan dengan perkembangan konten industri penyiaran. 

Dalam sambutan awal acara Seminar Masukan Draft Revisi P3SPS Bersama Stakeholder Penyiaran di Monumen Pers Nasional, Surakarta, Jawa Tengah (Jateng), Sabtu (16/3/2024), Ketua KPI Pusat Ubaidillah menyampaikan, forum ini merupakan bagian dari upaya pihaknya mendapatkan masukan dan pendapat dari publik atas draft revisi P3SPS. 

Menurutnya, masukan dan pendapat masyarakat akan menjadi bahan pertimbangan sebelum draft revisi aturan ini ditetapkan menjadi peraturan resmi. Selain itu, lanjut Ubaid, kepentingan revisi ini tidak lepas dari makin massifnya pengaruh dari hadirnya media baru. 

“Kami berharap forum perbaikan P3SPS menjadi forum penyamaan persepsi antara regulator dengan pelaku industri penyiaran. Terlebih hadirnya media baru yang perlu segera disikapi. Perlu kita cari solusi bersama untuk memastikan konten siaran dan lembaga penyiaran semakin berkualitas," ucap Ubaidillah.

Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari menyampaikan, pihaknya berharap penerapan aturan media penyiaran dan media digital dapat dilakukan secara adil melalui revisi UU (Undang-undang) Penyiaran. Menurutnya, regulasi penyiaran baru ini akan melindungi masyarakat dari segala bentuk siaran dan informasi negatif.

“Tujuannya (membentuk peraturan) bukan masalah ini diawasi, itu tidak. Namun, masyarakat yang nonton ini yang harus kita lindungi dari tontonan-tontonan yang nggak bener,” ujar Abdul Kharis di depan para peserta yang hadir langsung dan daring.

Sementara itu, Wakil Ketua KPID Jateng, Achmad Junaidi mengatakan, salah satu yang menjadi harapan KPID adalah penguatan kelembagaannya. Penguatan ini terkait masa jabatan hingga kemampuan pengawasan siaran di tingkat daerah.

“Pengawasan tersebut yang dapat memastikan isi siaran memberikan pengaruh baik pada moral masyarakat. Saya yakin bahwa KPI adalah penjaga moral bangsa,” harapnya. 

Pada seminar ini, turut hadir Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, Anggota KPI Pusat sekaligus Koordinator bidang PKSP (Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran) Muhammad Hasrul Hasan, Anggota KPI Pusat, Tulus Santoso, Aliyah, Amin Shabana, Mimah Susanti, Evri Rizqi Monarshi dan I Made Sunarsa serta Kepala Sekratariat KPI Pusat, Umri. Hadir pula Anggota KPI Daerah dari seluruh Indonesia secara daring, para mahasiswa, pelaku industri media, dan juga perwakilan akademisi. Abidatu Lintang

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada Program Siaran “Top Spot” di stasiun TV Net. Program siaran berklasifikasi R13+ ini telah menayangkan adegan yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012.

Tayangan tersebut ditemukan tim pemantauan KPI Pusat pada tayangan “Top Spot” tanggal 28 Februari 2024 pukul 05.13 WIB. Adegan berupa rekaman video dari sosial media tentang aksi pesulap dilindas dengan alat berat dan dibakar hidup-hidup dalam tungku api.

Demikian dijelaskan KPI Pusat dalam surat sanksi untuk Program Siaran “Top Spot” yang telah dilayangkan ke stasiun TV Net awal Maret 2024.

Menurut Anggota KPI Pusat, Tulus Santoso, berdasarkan hasil rapat pleno sanksi KPI Pusat menyatakan adegan tersebut telah melanggar ketentuan mengenai perlindungan terhadap anak dan penggolongan program siaran. Sedikitnya, terdapat 8 Pasal di P3SPS yang dilabrak adegan tersebut.

“Adegan-adegan seperti itu tidak boleh ditayangkan secara vulgar di jam anak dan remaja. Ada unsur kengerian dan yang dikhawatirkan para komisioner ini dapat ditiru oleh anak-anak,” jelas Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat.

Terkait muatan mengerikan dalam program berklasifikasi R13 ini, Tulus mengingatkan Net TV dan seluruh lembaga penyiaran agar lebih berhati-hati dan memperhatikan ketentuan tentang penggolongan siaran dan perlindungan anak. “Lembaga penyiaran itu wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran. Penjelasan ini ada di Pasal 14 ayat 1 P3 KPI,” ujarnya.

Sementara itu, Anggota KPI Pusat, Aliyah, menuturkan hal-hal yang harus dipatuhi lembaga penyiaran ketika menayangkan acara dengan klasifikasi R. Menurutnya, program berkategori ini harus mengandung muatan, gaya penceritaan dan tampilan yang sesuai dengan perkembangan psikologis remaja.  

“Dalam Pasal 37 ayat 2 SPS disebutkan bahwa program siaran klasifikasi R harus berisikan nilai-nilai pendidikan dan ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial dan budaya, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik, dan penumbuhan rasa ingin tahu remaja tentang lingkungan sekitar. Kemudian, pada ayat 4 huruf a disebutkan program siaran berklasifikasi R dilarang menampilkan muatan yang mendorong remaja belajar tentang perilaku yang tidak pantas dan atau membenarkan perilaku yang tidak pantas tersebut sebagai hal yang lumrah dalam kehidupan sehari-hari,” tandas Aliyah.

Terkait sanksi ini, KPI meminta Net untuk segera melakukan perbaikan secara internal agar pelanggaran serupa tidak terulang. Selain itu, KPI menekankan Net dan seluruh lembaga penyiaran untuk mengikuti dan memahami seluruh ketentuan mengenai penyiaran yang ada dalam P3SPS. ***

 

Solo - Usaha Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjaga kualitas siaran di televisi dan radio, tidak hanya terpaku pada penindakan dan penjatuhan sanksi. Pada sisi pencegahan, KPI terus melakukan pembinaan pada lembaga penyiaran termasuk melalui kegiatan Bimbingan Teknis Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Selain itu, KPI juga melakukan literasi dalam rangka meningkatkan selera masyarakat terhadap siaran di televisi dan radio. Hal tersebut disampaikan Tulus Santoso, selaku Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat dalam kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa degan tema Menjaga Kemuliaan Ramadan Melalui Kualitas Program Siaran, (14/3). 

Dua hal tersebut merupakan langkah intervensi KPI dalam supply dan demand atas program siaran. Pada aspek supply, intervensi dilakukan dengan terus membangun pemahaman pada lembaga penyiaran agar menjadikan P3SPS sebagai panduan produksi siaran. Pada aspek demand, KPI melakukan intervensi selera masyarakat agar terbiasa hanya menonton atau mendengar program siaran yang baik dan positif saja.

Di satu sisi literasi yang merupakan salah satu usaha intervensi ini, tidak mungkin mengesampingkan konten di media baru atau media dengan platform internet. “Dalam berbagai kesempatan literasi, kami juga menyinggung konten yang muncul di media baru, sebagai bentuk eskalasi literasi,” ujar Tulus. Pertimbangannya adalah konsumsi masyarakat pada media baru saat ini sudah melampaui media konvensional seperti televisi, radio dan koran. Karenanya literasi atas konten media baru juga menjadi kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi. 

Selama ini, negara, melalui KPI telah melakukan pengawasan terhadap konten di televisi dan radio, tapi untuk konten di media baru, justru kita kecolongan. “Kalau kita lihat media sosial di malam Minggu, trendingnya adalah perempuan yang hanya mengenakan BH. Open BO, istilahnya,” ungkap Tulus. KPI banyak menerima aspirasi agar televisi berkualitas, sinetronnya diharapkan lebih baik, variety show juga demikian. Namun di Tiktok, misalnya, yang menonton orang joget sangat banyak. Padahal, kontennya hanya joget-joget dari malam sampai pagi, agar dapat koin dan juga gift. Belum lagi ada konten perang koin, dengan konsekuensi yang kalah dikerjain diguyur tepung dan sebagainya. “Yang menonton konten seperti ini ribuan, sedangkan ada yang main musik sambil menyanyi dengan lagu yang enak, tapi penontonnya minim,” ujarnya. Konten seperti ini di media baru, tidak ada aturannya. Sedangkan di televisi dan radio, aturannya sangatlah ketat, tidak bisa sembarangan menyiarkan asal-asalan. Hal seperti ini, ungkap Tulus, harus jadi bahan literasi bagi masyarakat di setiap daerah. 

Ketua Panitia Kerja Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran DPR RI Abdul Kharis Almasyhari mengungkap, pengaturan media baru akan menjadi pembeda signifikan antara undang-undang penyiaran yang baru dan yang eksisting. Saat ini, perkembangan RUU Penyiaran tahapannya sedang ada di Badan Legislasi. Abdul Kharis optimis, aturan ini dapat disahkan di akhir masa bakti anggota DPR periode 2019-2024. 

Wakil Ketua Komisi I DPR RI ini menerangkan, semangatnya, dalam revisi yang tengah dibahas itu, kita menginginkan ada perlakuan yang sama bagi semua platform media, agar prinsip keadilan dapat terjaga. “Bagaimana mungkin televisi dan radio yang terselenggara dengan modal yang besar, pengurusan izin yang panjang, serta pengawasan yang ketat terhadap konten, harus berhadapan dengan pembuat konten di media baru yang hanya bermodalkan kamera handphone, langsung melakukan siaran seenaknya tanpa ada pengawasan sama sekali,” urainya. Ironisnya, tayangan di media baru itu banyak ditonton oleh masyarakat karena tidak ada pengawasan sama sekali. “Jadi konten di media baru akan diatur,”tegasnya. 

Pada prinsipnya, pengaturan konten media bertujuan agar hadirnya program siaran yang berkualitas dan juga bermanfaat bagi publik. KPI mengharapkan, penganugerahan yang diberikan pada program siaran yang dinilai berkualitas, dapat menjadi rujukan bagi masyarakat saat menikmati siaran. “Meskipun kami sadar, tayangan berkualitas belum tentu berbanding lurus dengan iklan dan penghasilan yang didapat pengelola televisi dan radio,” ujarnya.

 

Namun jika ada satu program berkualitas yang dapat menghasilkan rupiah secara signifikan, seharusnya hal tersebut juga dapat dilakukan rumah produksi atau lembaga penyiaran yang lain. Misalnya, sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) yang sudah belasan tahun hadir di layar kaca. “Kenapa hanya PPT yang bisa, sedangkan sinetron lainnya tidak,” tanya Tulus.

Di akhir diskusi Tulus menerangkan,  pada era liberalisasi sekarang, kalau siaran tidak baik itu tidak ditonton, maka angka kepemirsaannya berkurang dan ujungnya tidak akan diproduksi lagi. Demikian juga sebaliknya, kalau tayangannya masih muncul, berarti penontonnya masih ada dan angka kepemirsaannya menunjukkan bahwa kelayakan untuk terus diproduksi.

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.