Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menerima kunjungan dari Institut Madani Nusantara (IMN) asal Sukabumi, di Rupatama, Kantor KPI Pusat (28/04/2025). Rombongan dari IMN Sukabumi ini didampingi oleh Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Program Studi S1 Komunikasi dan Penyiaran Islam, yaitu Cecep Hilman, Yulistiana, Wida Hartika, dan Acun Mansyur.
Mewakili kampusnya, Yulistiana menyampaikan maksud dan tujuan study visit siang itu adalah untuk menggali informasi tentang bagaimana peran KPI. Hal tersebut akan memperkaya wawasan mahasiswa dalam praktek di lapangan. Pihaknya juga mengharapkan kunjungan mereka menjadi momen yang baik untuk bisa bersinergi dengan KPI.
Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran, Tulus Santoso menyambut baik study visit rombongan mahasiswa dan mahasiswi IMN. “Banyak sekali yang bisa disampaikan, selain paparan fungsi dan tugas KPI, kita akan singgung isi siaran. Sebagai catatan, paska UU Cipta Kerja, KPI cuma bisa mengawasi, memberikan teguran atau sanksi administratif jika terjadi pelanggaran,” ujarnya di sela-sela acara kunjungan tersebut.
Tulus kemudian menjelaskan tentang KPI, mulai dari dasar hukum pembentukan lembaga tersebut yang didasari UU 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, tepatnya Pasal 6 Ayat (4) yang, serta Pasal 7 yang juga menjadi dasar pembentukan KPID. Dia juga menjelaskan fungsi KPI secara umum berdasarkan Pasal 8 Ayat (1), yaitu untuk mewadahi aspirasi masyarakat terkait penyiaran. Terkait wewenang, diatur dalam Ayat (2), serta tugas dan kewajiban KPI pada Ayat (3).
Tulus menegaskan bahwa pengenaan sanksi ditujukan agar lembaga penyiaran menyajikan tayangan yang bukan hanya informatif, menghibur, tapi juga melindungi pemirsanya.
“Dalam konteks saat ini, menjaga persaingan sehat juga mulai sulit, karena persaingan bukan lagi antar lembaga penyiaran, tapi dengan platform digital atau media baru, khususnya konten audiovisual. Fenomenanya begitu,” katanya.
Lebih lanjut, Tulus juga menjelaskan tentang teknis pengawasan yang dilakukan KPI serta rangkaian kegiatan yang dilakukan yang dimaksudkan membangun kesepahaman tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh (untuk ditayangkan di lembaga penyiaran), tidak hanya kepada lembaga penyiaran tetapi juga masyarakat umum. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat yang melakukan pengaduan, didasari pada pemahaman atas regulasi yang ada.
“Secara teknis ketika ada temuan atau aduan atas potensi pelanggaran, hal tersebut akan dikaji oleh Tim Pengawasan Isi Siaran, dilanjutkan ke Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran, lalu didiskusikan melalui pleno dengan seluruh komisioner. Selanjutnya dilakukan pembinaan atau klarifikasi, yang mengarah pada putusan. Pun jika dianggap perlu, lembaga penyiaran bisa mengajukan keberatan,” jelasnya.
Ia mencontohkan aduan goyangan erotis yang ditindaklanjuti dengan meninjau teknik pengambilan gambarnya apakah close up atau long shoot, bagaimana pakaian yang digunakan, durasi penayangan, live atau record, serta konteksnya.
Mengakhiri diskusi, Tulus menegaskan bahwa kehadiran KPI merupakan suatu bentuk perlindungan kepada publik dan generasi bangsa. “Sekarang, terlepas dari plus minusnya, lembaga penyiaran jauh lebih aman ketimbang media baru atau digital. Namun, publik banyak yang bergerak ke media baru yang regulasinya belum mumpuni, semua ini perlu diatur. Maka dari itu, kebutuhan revisi mennjadi penting dan relevan, bukan cuma soal perlindungan tapi kreatifitas.”
Sebagai Lembaga Negara Independen, dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan wewenang, KPI beririsan dengan beberapa lembaga, yaitu DPR, Kementerian Komunikasi dan Digital, serta lembaga penyiaran. Selain itu, ada masyarakat yang juga ikut mengawasi KPI. Maka dari itu, sinergitas antarlembaga tersebut menjadi hal yang penting, tentu demi kepentingan masyarakat dan generasi yang akan datang. **/Anggita Rend/Foto: Agung R