Sorong - Eksistensi kebudayaan lokal Papua Barat merupakan manifestasi dari orisinalitas kebudayaan yang hidup dengan keberlangsungan tradisi dan budaya yang selama ini kita lihat dan alami. Nilai-nilai religiusitas, kebersamaan, saling memaafkan, kepercayaan dan persaudaraan yang menjunjung tinggi kearifan lokal juga merupakan unsur perekat dan modal sosial dalam bermasyarakat. Hal ini selayaknya ikut tersosialisasikan dalam konten televisi dan radio, dalam rangka meningkatkan ketahanan informasi di masyarakat dalam era digital. Hal ini disampaikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Papua Barat, Irjen. Pol. Tornagogo Sihombing, dalam sambutannya di acara Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Sorong, Papua Barat, (17/11). 

Selain bicara tentang pentingnya eksistensi budaya di era disrupsi, Tornagogo juga mengingatkan pada peserta GLSP yang merupakan anggota Bhayangkari Papua Barat, untuk meningkatkan kapasitas literasi media dalam mengonsumsi konten di media. “Saya berharap para anggota Bhayangkari mampu bersikap kritis terhadap siaran televisi dan radio,” ujarnya.  Kekritisan itu tentunya berujung pada kemampuan memilah dan memilih konten media yang baik untuk didengar dan ditonton. Harapannya tentu, keluarga pun memiliki pemahaman yang baik dalam memilih muatan televisi yang sesuai dengan kebutuhan. 

Tantangan ke depan dengan kemajuan teknologi informasi termasuk teknologi penyiaran, diakui Tornagogo, harus diiringi dengan kemampuan literasi di masyarakat. Ini juga menjadi sebuah kontribusi untuk menjaga industri penyiaran untuk dapat terus bertahan dengan konten-konten positif dan bermanfaat. 

Secara khusus dirinya mengapresiasi langkah KPI bekerja sama dengan Polda Papua Barat dalam menyelenggarakan GLSP. “Kami haus dengan sosialiasi macam ini, karena teknologi media ada dalam genggaman dan kita harus punya kecerdasan dalam memanfaatkan,” ujarnya. 

Dalam GLSP ini juga digelar Bazar Usaha Kecil, Koperasi dan Menengah (UMKM) dari jajaran pengurus Bhayangkari di daerah Papua Barat. Ketua Bhayangkari Papua Barat, Martha Sihombing menjelaskan produk Bazar UMKM ini merupakan hasil karya anggota Bhayangkari di setiap cabang yang ada di Papua Barat. Beragam produk UMKM yang dipasarkan, sebagian besar menggunakan sumber daya alam asli dari Papua Barat.

Hadir dalam GLSP ini, Ketua KPI Pusat Agung Suprio, Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano Pariela, Nuning Rodiyah, Ketua Bhayangkari Cabang Manokwari yang juga menjadi narasumber GLSP dr Feilin Tanita, Sp. KJ, serta Martha Victoria dari Academy Indosiar 2020 yang berasal dari Papua Barat. (Editor:MR /Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI).

 

Sorong - Kehadiran era digital yang mengepung masyarakat dengan informasi yang melimpah baik dari media konvensional seperti televisi, radio dan media cetak ataupun media baru seperti internet dan sosial media, harus diimbangi dengan kapasitas literasi media yang kuat. Kapasitas literasi media yang dimaksud adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi serta mengomunikasikan informasi dalam berbagai bentuk media. Dengan demikian masyarakat tidak perlu tersesat dalam belantara informasi, juga tidak jatuh dalam jebakan hoax, ujaran kebencian, ajakan kekerasan, atau pun konten porno yang kerap kali hadir sebagai sebuah residu dari melimpahnya informasi. Hal tersebut disampaikan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bidang Kelembagaan, Hardly Stefano Pariela saat menjadi narasumber dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang diselenggarakan KPI Pusat di kota Sorong, Papua Barat, (17/11).

Dalam pemaparannya di hadapan peserta GLSP yang merupakan anggota Bhayangkari Papua Barat, Hardly menjelaskan bahwa hingga saat ini mayoritas masyarakat Indonesia masih menonton televisi baik melalui siaran free to air (FTA) atau pun televisi berlangganan (Pay TV). Meski sebagian besar sudah mulai beralih menggunakan internet, televisi masih menjadi media yang menjadi sumber rujukan bagi masyarakat.

Agenda migrasi siaran televisi digital pada 2 November 2022 mendatang, akan menghadirkan saluran-saluran televisi yang semakin banyak dari jumlah yang ada sekarang. Di sisi lain, perkembangan internet pun telah menghadirkan disrupsi informasi. “Setiap orang berkesempatan menjadi produsen informasi yang dapat diakses oleh jutaan penonton”, ujar Hardly. Kondisi inilah yang mengharuskan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas literasi media, agar berdaya dan memiliki ketahanan informasi yang baik. Harapannya, dengan kapasitas literasi yang baik, masyarakat mampu menjadikan media sebagai alat mendapatkan informasi yang bermanfaat baik untuk diri sendiri atau pun lingkungan sekitarnya.

Tentang media konvensional atau media lama dan media baru, Hardly memaparkan perbedaan signifikan pada keduanya. Secara prinsip, media konvensional yang diwakili oleh televisi dan radio, hadir di masyarakat sebagai sebuah entitas bisnis yang terikat dengan regulasi serta tanggung jawab sosial. Hal yang berbeda tentunya dengan media baru, yang sampai saat ini belum memiliki regulasi konten yang tegas. Di satu sisi, media baru pun dikelola oleh masing-masing individu yang tidak punya kewajiban sosial di masyarakat. “Jangan heran kalau hoax, ujaran kebencian, atau pornografi memiliki lahan yang subur di media baru, karena belum ada regulasi yang rinci tentang konten di sana”, terang Hardly.

Dirinya berharap, peserta yang merupakan kaum Ibu, dapat memberikan keteladanan pada anak-anak dalam mengonsumsi media. Salah satunya dengan hanya menonton siaran televisi yang baik dan meninggalkan siaran televisi yang memiliki konten negatif. Selain itu, Hardly juga mengingatkan pada kaum ibu di Papua Barat, untuk memahami tentang penggunaan fitur kunci parental pada televisi berlangganan. Dengan fitur ini, orang tua dapat mengatur saluran mana saja yang dapat diakses anak-anak dan yang tidak boleh sama sekali. Meski demikian, sebaiknya orang tua selalu hadir mendampingi anak-anak dalam menonton televisi atau pun mengakses media lainnya. Dia merasa perlu mengingatkan karena sebagian besar wilayah Papua Barat hanya dilayani oleh lembaga penyiaran berlangganan atau Pay TV.

GLSP di kota Sorong merupakan penutup rangkaian GLSP yang berlangsung sepanjang tahun 2021. Narasumber lain yang hadir adalah dr Feilin Tanita, Sp.KJ selaku Ketua Bhayangkari Cabang Manokwari, serta Martha Victoria dari Academy Indosiar.  Kepala Kepolisian Daerah Papua Barat Irjen Pol Dr Tornagogo Sihombing dan Ketua Bhayangkari Daerah Papua Barat Martha Tornagogo Sihombing, turut hadir memberikan sambutan serta membuka acara. (Editor:MR /Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)

 

Bekasi -- Seminar Nasional Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2021 menyoroti ketergantungan lembaga penyiaran TV terhadap rating dan share yang dianggap sebagai biang keladi dari rendahnya mutu dan kualitas konten siaran di tanah air. Pengukuran ataupun pengelolaan model rating seperti ini dinilai tidak cocok karena mendikte TV manut pada selera pemirsa. 

Akademisi dari Universitas Indonesia (UI), Eriyanto mengatakan, permasalahan rating di Indonesia selalu sama dan berulang dari tahun ke tahun. Menurutnya, letak masalahnya ada pada pengelolaan rating yang sudah salah sejak awal. 

“Jika kita melihat praktek penyelenggaran rating di dunia ini ada beberapa sistem. Pertama, home service seperti yang dilakukan di Indonesia. Jadi ada lembaga rating, kemudian lembaga rating ini akan menawarkan hasilnya ke lembaga penyiaran dan biro iklan. Kelemahannya, ketergantungan lembaga penyiaran pada lembaga rating begitu tinggi,” kata Eri di depan peserta Rakornas KPI yang hadir secara daring maupun langsung. 

Lalu ada sistem penyelenggaraan MOC (media owner contract). Sistem rating ini banyak diterapkan negara-negara di Eropa. Eri menilai sistem penyelenggaran rating model ini cocok diterapkan Indonesia karena lembaga penyiaran memiliki kontrol penuh terhadap lembaga rating. 

“Kalo MOC itu sistemnya adalah industri penyiaran bersatu dan kemudian mereka akan mengontrak lembaga rating yang diinginkan. Sistem ini, membuat LP punya kontrol apa yang diinginkan. Termasuk misalnya melakukan tender kepada  lembaga rating yang paling baik. Jadi ketergantungan lembaga penyiaran itu tidak terjadi. Saya heran ini tidak kita terapkan sejak awal tahun 90-an ketika pertama kali rating masuk,” jelas Eri.

Kemudian sistem join industry comite yang dilakukan oleh Belgia yang mirip dengan sistem MOC. Sistem ini, membuat pengguna punya kontrol terhadap apa yang diinginkan. “Jadi misalnya, teman-teman dari lembga penyiaran membutuhkan satu rating yang itu menggukur lebih banyak seperti kota dan lainnya, mereka bisa nego dengan lembaganya dan tidak tergantung dengan lembaga rating tersebut,” kata Eri. 

Setelah itu, ada sistem rating yang diterapkan Italia. Sistem ini unik karena lembaga ratingnya dibuat oleh lembaga penyiaran. Jadi lembaga penyiaran bersatu untuk membuat lembaga rating.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), Rikard Bangun mengkhawatirkan penyelenggaraan rating yang menggunakan sistem house rating poin. Menurutnya, sistem ini mendikte selera penonton yang dapat menyebabkan hilangnya program acara  berkualitas seperti teknologi dan kebudayaan karena tidak ada penonton. 

“Jika acuannya penonton maka seluruh program yang mendorong kita untuk maju itu akan hancur.  Berbahaya sekali jika mendorong cost rating poin. Dia akan membayar layanan publik berdasarkan cost,” katanya. 

Rikard mengatakan, negara semestinya membantu program mendidik seperti acara teknologi dan ilmu pengetahuan. Pasalnya, belum ada sebuah program acara di TV kita yang konsisten menayangkan acara tentang teknologi dan ilmu pengetahuan. 

Keadilan berusaha

Ketua Asosiasi Televisi Swasta Nasional Indonesia (ATVSI), Syafril Nasution, berharap adanya keadilan berusaha antara media lama dengan media baru. Keadilan ini dengan dapat diwujudkan melalui sebuah regulasi atau paying hukum untuk semua. 

“Permohonan kami bagaimana persaingan itu bisa sama antara media mainstream dengan media baru yang belum ada aturan khusus kontennya. Persaingan yang baik itu yang cepat, terukur ada aturannya dan tidak ada kegaduhan,” kata Syafril dalam seminar tersebut. 

Sementara itu, Ketua ATSDI, Eris Munandar, mendorong adanya keberagaman konten dengan tetap menjaga sisi kualitas konten tersebut. Menurutnya, lembaga penyiaran tak hanya melulu mendahulukan penonton tapi juga idealisme. 

Dalam kesempatan itu, Eris menyatakan lembaga penyiaran tetap membutuhkan adanya lembaga rating. Namun begitu, dia berharap ada dewan rating yang betugas mengawasi lem baga rating tersebut. ***/Editor:MR

 

Bekasi – Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tahun 2021 berhasil menyepakati rekomendasi di tiga bidang antara lain bidang kelembagaan, bidang pengawasan isi siaran dan bidang pengelolaan struktur dan system penyiaran (PS2P). Kesepakatan tersebut dicapai dalam rapat pleno paripurna Rakornas KPI 2021 yang dihadiri 33 KPID Provinsi, baik secara daring maupun langsung, Jumat (12/11/2021).

Sebelum di sepakati, PIC Rakornas KPI 2021 sekaligus Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, mempersilahkan perwakilan dari masing-masing bidang menyampaikan hasil rekomendasi yang telah disepakati dalam rapat perbidang yang berlangsung pada hari sebelumnya, Kamis (11/11/2021). Pada saat dipembacaan hasil rekomendasi, sejumlah interupsi muncul dari beberapa KPID yang menyampaikan masukan dan perbaikan terhadap rekomendasi yang dibacakan. 

Setelah semua perwakilan dari masing-masing bidang menyampaikan rekomendasi dan disetujui peserta Rakornas, pimpinan sidang mengetuk palu tanda keputusan rekomendasi Rakornas 2021 disetujui dan meminta Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, serta tiga perwakilan KPID menandatangani rekomendasi dan keputusan Rakornas KPI 2021. 

Adapun hasil rekomendasi di tiga bidang tersebut yakni:

I. Bidang Kelembagaan

1. Membentuk tim pengawal, perumus, dan penyusunan revisi UU No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dengan menyertakan evaluasi dan timeline selambat-lambatnya 3 bulan setelah rakornas tahun 2021

2. Membentuk tim penyempurnaan Revisi PKPI Kelembangaan atas draf PKPI Tahun 2019 dan disahkan paling lambat pada Rakornas Tahun 2022.

3. Membentuk tim penyusunan kode etik KPI

II. Bidang Pengawasan Isi Siaran

1. KPI Pusat membuat sistem pengawasan penyiaran digital yang terintegrasi dengan KPI Daerah;

2. Meningkatkan kapasitas SDM Bidang Pengawasan Isi Siaran yang merata, terpadu dan berkesinambungan.

3. Membuat peraturan KPI tentang tata cara penanganan dugaan pelanggaran dari hasil pengawasan.

4. Melanjutkan proses pembahasan revisi P3SPS secara komperensif dan prosedural, untuk kemudian ditetapkan pada Rakornas 2022;

5. Meningkatkan sinergi KPI dengan lembaga penyelenggara Pemilu dalam proses pemilihan umum yang demokratis.

III. Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P)

1. Sepakat menyesuaikan ketentuan penyelenggaraan penyiaran terkait isi siaran, terutama berkenaan teknis/pelaksanaan: 

• Hak akses KPI Pusat dan Daerah di OSS-Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran; 

• Rekomendasi pencabutan Izin Penyelenggaraan Penyiaran karena tidak bersiaran 3 bulan akumulatif; 

• Evaluasi tahunan Lembaga Penyiaran dan perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran.

2. Membentuk tim pelaksana penyusunan Rancangan PKPI tentang Penyelenggaraan Penyiaran Terkait Isi Siaran yang melibatkan perwakilan KPID, sebagai berikut;

Sumatera                                     : Kepulauan Riau

Jawa                                            : Jawa Barat

Kalimantan                                   : Kalimantan Timur

Sulawesi – Maluku – Maluku Utara : Sulawesi Selatan

Bali – NTB – NTT                           : NTT 

Papua - Papua Barat                      : Papua

3. Menetapkan rancangan akhir PKPI tentang Penyelenggaraan Penyiaran Terkait Isi Siaran menjadi PKPI dalam forum bersama KPI Pusat dan Daerah paling lambat ditetapkan Triwulan I 2022. ***/Editor:MR

 

Bekasi - Dinamika persaingan usaha di era digital menjadi fokus pembahasan Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2021. Dengan tema “Keadilan Persaingan dan Keberagaman di Era Penyiaran Digital”, Rakornas diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang mendukung iklim  usaha penyiaran yang sehat.

Ketua KPI Pusat Agung Suprio menyampaikan, kondisi saat ini terasa sulit bagi pelaku industri di televisi dan radio, karena harus bersaing dengan platform media baru yang belum memiliki payung regulasi atas konten yang disiarkan. Sedangkan televisi dan radio saat ini dapat eksis dengan regulasi konten yang cukup ketat dan detil.  Hal ini disampaikan Agung di sela-sela pembukaan Rakornas KPI 2021 yang digelar di Bekasi, (11/11).

KPI sendiri, ujar Agung, telah menerima banyak masukan dari berbagai pemangku kepentingan penyiaran, diantaranya asosiasi lembaga penyiaran, untuk memperhatikan landscape penyiaran saat ini. Selain itu, KPI diharapkan dapat mendorong Komisi I DPR RI untuk membuat regulasi penyiaran yang adil dalam rangka revisi undang-undang penyiaran. 

 

Hal lain yang juga dibahas dalam Rakornas adalah revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Agung menegaskan, KPI akan mengikutsertakan seluruh stakeholder penyiaran, termasuk asosiasi lembaga penyiaran karena mereka adalah obyek dari P3 & SPS. KPI juga akan berkonsultasi pada Komisi I DPR RI, untuk kemudian meminta masukan pada mereka agar P3 & SPS ini nantinya akan komprehensif dan dapat dilaksanakan oleh semua pihak, dalam hal ini televisi dan radio.

Sedangkan terkait migrasi penyiaran dari sistem analog ke digital yang semakin dekat, Agung berharap sosialisasi dapat dilakukan dengan lebih kuat dan lebih luas. “Agar masyarakat Indonesia mendapat manfaat yang maksimal dalam siaran digital,” ujarnya. Selain itu, tambah Agung, KPI berharap pemerintah memberikan subsidi set top box pada masyarakat tidak mampu, agar mereka dapat mengakses siaran digital. 

Rakornas KPI 2021 digelar secara modifikasi tatap muka dan daring dengan peserta dari anggota KPI Daerah seluruh Indonesia. Turut hadir dalam pembukaan Rakornas, Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution, Ketua Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (Rikard Bangun), Ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Eris Munandar, Ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) Bambang Santoso dan perwakilan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Candi Sinaga. Adapun Rakornas ini dibuka secara daring oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari.  

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.