Solo - Siaran keagamaan di lembaga penyiaran selayaknya mengedepankan muatan meningkatkan ketaqwaan dan keimanan bagi ummat muslim yang tengah menjalankan ibadah di bulan Ramadan. Salah satunya dengan menyampaikan materi-materi keislaman dengan narasumber yang kompeten dan sudah tersertifikasi oleh lembaga yang berwenang. Sedangkan terkait adanya perbedaan khilafiyah, sebaiknya lembaga penyiaran tidak mengekspos secara berlebihan perbedaan di masyarakat tersebut. Hal ini disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Ubaidillah, di sela kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang digelar di kota Solo, (14/3). 

Kita harus memahami, bahwa Indonesia ini beragam, ujar Ubaidillah. Untuk itu, adanya perbedaan khilafiyah dan furuiyah dalam agama juga harus dihargai, bukan untuk dieksploitasi sebagai materi siaran. Misalnya saja dalam penentuan awal Ramadan tahun ini sudah ada perbedaan dan itu sudah biasa terjadi di masyarakat kita. “Lembaga penyiaran tidak perlu mempertontonkan perbedaan tersebut, karena pada prinsipnya masing-masing organisasi masyarakat punya rujukan dan tuntunan hukum sendiri, yang diperbolehkan dalam agama,” terangnya.  

Lebih jauh Ubaidillah berharap, media juga dapat hadir sebagai penjernih atas perbedaan yang terjadi di masyarakat. Bahwa perbedaan ini adalah sunnatullah yang akan terjadi. Termasuk juga jika nanti dalam penentuan 1 Syawal ada yang berbeda, tetap disikapi dengan toleransi dan penghormatan. “Sebagaimana dalil yang ada, Ikhtilaful ummati rahmah,” ujarnya.

Senada dengan hal ini, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari juga mengimbau agar siaran keagamaan di bulan Ramadan berpijak pada pemahaman keislaman masyarakat Indonesia secara umum. “Sehingga, selain menguatkan hubungan kepada Allah pada usaha peningkatan ketaqwaan dan keimanan, juga menguatkan hubungan sesama manusia,” ujarnya. 

Abdul Kharis yang hadir sebagai narasumber GLSP berharap, siaran Ramadan di televisi dan radio turut menjaga situasi yang kondusif bagi masyarakat menjalankan ibadahnya secara optimal. “Bagi saya, tidak mungkin mendikte harus konten ini harus konten itu. Tapi silakan saja, asal tidak berseberangan dengan pemahaman sebagian besar umat islam seluruh Indonesia. Sifatnya lebih pada pendalaman apa yang sudah dipahami, kemudian juga memberikan penjelasan bagi mereka yang belum paham,” ujar politisi kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Lebih jauh dia menegaskan, KPI sebagai regulator punya aturan khusus yang harus diikuti lembaga penyiaran dalam pelaksanaan siaran di bulan Ramadan. 

Berkaitan dengan hal tersebut, KPI memang telah mengeluarkan surat edaran tentang siaran Ramadan yang  berisi lima belas poin arahan bagi televisi dan radio dalam mengelola program siaran di bulan puasa tersebut. Namun demikian, terang Ubaidillah, selain melakukan pengawasan dan pembinaan, KPI juga menyiapkan penghargaan pada program di televisi dan radio yang memiliki semangat menjaga kemuliaan bulan suci. Menurutnya, siaran Ramadan juga harus mengedepankan nilai-nilai silaturahim, toleransi dan kedamaian pasca pemilu dan kita semua tetap guyub dan utuh sebagai satu bangsa. 

Solo - Lembaga penyiaran diharap menjaga situasi yang kondusif pada bulan Ramadan dengan menghadirkan konten siaran mendukung suasana yang khusyuk bagi masyarakat beribadah. Di bulan ini, televisi dan radio diharapkan menghadirkan siaran religi yang mengedepankan prinsip Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang ada di Indonesia, sehingga sejalan juga dengan usaha peningkatan keimanan dan ketaqwaan di bulan mulia ini. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, usai penyelenggaran kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat  dengan tema “Menjaga Kemuliaan Ramadan Melalui Kualitas Program Siaran, (14/3). 

Pesan dari Abdul Kharis ini, seiring dengan surat edaran yang dikeluarkan KPI Pusat tentang Pelaksanaan Siaran di bulan Ramadan tahun 2024. Dalam sambutan Ketua KPI Pusat Ubaidillah pada GLSP, lembaga penyiaran diharapkan memberi porsi yang lebih besar untuk siaran da’wah pada bulan Ramadan. Sebagai siaran yang menjadi ciri khas program di bulan Ramadan, program da’wah di televisi dan radio diminta menghadirkan narasumber yang kompeten agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Secara khusus, Ketua KPI meminta lembaga penyiaran juga memberi peliputan tentang usaha masyarakat yang marak saat bulan Ramadan. Harapannya, ekspos liputan media dapat membantu peningkatan perekonomian yang bergeliat di bulan puasa sekaligus mendorong pulihnya perekonomian pasca pandemi. 

GLSP sendiri, menurut Evri Rizqi Monarshi selaku anggota KPI Pusat bIdang Kelembagaan, menjadi ruang yang mendekatkan masyarakat dengan KPI selaku wakil publik yang juga regulator penyiaran. “KPI juga harus punya strategi agar dalam menjalankan kewenangannya sebagai regulator, tetap berkesesuaian dengan undang-undang agar konten siaran tetap sehat bermartabat sesuai dengan karakter dan budaya bangsa,” ujar Evri, selaku penanggungjawab kegiatan GLSP. 

Narasumber yang turut hadir dalam GLSP adalah Tulus Santoso selaku Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Asih Budiastuti dari KPI Daerah Jawa Tengah, serta Natasya Emilia Hidayat yang merupakan finalis AKSI Indosiar. Tulus mengungkap, setidaknya ada lima belas poin perhatian KPI dalam surat edaran tentang siaran Ramadan. Diantaranya tentang ekspos makanan dan minuman pada program kuliner yang diharapkan tidak muncul secara berlebihan dalam konteks penghormatan pada bulan Ramadan. Sedangkan terkait tampilan seksi dari para pembawa acara dan pengisi acara, diharapkan dapat dihentikan sejak bulan Ramadan ini. “Termasuk juga, tampilan laki-laki berpenampilan kewanita-wanitaan. Mudah=mudahan yang seperti tidak muncul lagi, bukan hanya dalam rangka penghormatan pada bulan Ramadan tapi juga perlindungan terhadap anak-anak dan remaja, “ujar Tulus. 

Terkait kualitas siaran televisi, KPI berkomitmen penuh untuk menjaga agar konten yang hadir di ruang publik selaras dengan tujuan diselenggarakannya penyiaran. Edukasi kepada publik, seperti GLSP, dilakukan KPI dalam rangka memberi pemahaman terkait hak mereka mendapatkan konten siaran yang positif. Jadi bukan sekedar sanksi yang dijatuhkan pada lembaga penyiaran, guna memaksa mereka memproduksi konten yang aman, ujarnya. Namun juga meningkatkan selera masyarakat atas konten siaran. “Harapannya, jika selera masyarakat membaik, maka program siaran yang berulang kali melanggar regulasi siaran akan hilang dari televisi dan radio,” terang Tulus.

Bagi siaran yang berkualitas, tentu KPI juga akan memberi apresiasi yang dalam setahun digelar tiga kali. Yakni, Anugerah KPI, Anugerah Syiar Ramadan dan Anugerah Penyiaran Ramah Anak. Penganugerahan ini merupakan bentuk penghargaan bagi lembaga penyiaran yang sudah bergiat menghadirkan konten siaran yang berkualitas.  Pada kesempatan itu, Tulus juga memaparkan rekomendasi program siaran di bulan Ramadan, dengan acuan penilaian tahun lalu. 

Beberapa pertanyaan disampaikan peserta GLSP pada narasumber. Diantaranya mekanisme pengaduan publik kepada KPI, jika menemukan konten siaran yang mengganggu. Pertanyaan lainnya adalah kemungkinan adanya aturan konten di media sosial mengingat adanya peningkatan konsumsi media melalui platform media sosial. Menanggapi hal ini, Abdul Kharis menjelaskan perkembangan penyusunan revisi undang-undang penyiaran yang tengah dibahas Komisi I DPR RI. “Perbedaan mendasar aturan yang tengah disusun dengan undang-undang saat ini adalah memuat pengaturan konten pada media baru,” ujarnya. Harapannya, sebelum usai masa bakti DPR RI periode 2019-2024, revisi undang-undang penyiaran dapat disahkan menjadi undang-undang yang baru. 

 

Jakarta – Menyambut pelaksanaan Hari Nyepi tahun 2024, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan surat edaran tentang imbauan tidak bersiaran pada peringatan Hari Nyepi di Provinsi Bali. Dalam surat edaran yang ditandatangani pada 6 Maret 2024 lalu, KPI mengimbau kepada seluruh lembaga penyiaran yang bersiaran dan/ atau merelay siaran di provinsi Bali, untuk tidak bersiaran pada Hari Nyepi yang jatuh pada Senin, 11 Maret 2024 mendatang. Penghentian siaran ini dimulai pada Senin, 11 Maret 2024 pukul 06.00 WITA sampai dengan hari Selasa, 12 Maret 2024 pukul 06.00 WITA. Hal ini disampaikan Tulus Santoso selaku Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, dalam kegiatan Ngobrol Penuh Inspirasi (NGOPI) yang dihelat KPI Pusat di bilangan Jakarta Selatan, (6/2) 

Tulus menegaskan, imbauan ini sebagai bentuk partisipasi dan juga penghormatan atas pelaksanaan Catur Brata Penyepian yang dilakukan umat Hindu Bali menjelang pergantian Tahun Baru Saka. “Untuk mendukung situasi yang kondusif bagi pelaksanaan ibadah tersebut, televisi radio diharapkan ikut ambil bagian menjaga kesucian pelaksanaan Hari Nyepi di provinsi Bali, “ujar Tulus.  

Penghentian siaran di provinsi Bali diharapkan dapat membantu meningkatkan kekhusyukan Umat Hindu Bali dalam menjalankan Catur Brata Penyepian lewat introspeksi dan kontemplasi. “Temasuk dengan memperbanyak doa dan usaha memperbaiki diri dalam menyambut tahun yang baru,” ujarnya. 

Lebih jauh, Tulus menegaskan, KPI juga akan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan imbauan ini. Tentunya, usaha lembaga penyiaran menaati imbauan yang merupakan bentuk penghormatan terhadap umat Hindu di Bali, akan menjadi bahan evaluasi dari KPI Pusat. “Pengabaian atas imbauan ini pun, akan menjadi pertimbangan dalam evaluasi tahunan KPI yang akan berlangsung dalam waktu yang tak lama lagi,” pungkasnya. 

 

Link: Surat Edaran

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendukung langkah penyusunan strategi upaya sinergis dan komprehensif dalam usaha pencegahan dan penanganan pornografi oleh Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (GTP3) yang dipimpin oleh Kementerian Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian Agama, beserta jajaran kementerian dan lembaga terkait. Salah satu langkah yang harus ditempuh menurut KPI adalah literasi digital dan sosialisasi konten penyiaran ramah anak dan perempuan, guna mencegah muatan pornografi menyisip di ruang siar. Hal tersebut disampaikan Evri Rizqi Monarshi, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan, usai menghadiri Focuss Group Discussion (FGD) Pelaporan dan Evaluasi GTP3 serta Perencanaan Program Kegiatan Tahun 2024, yang diselenggarakan oleh Kementerian PMK, (8/3). 

KPI sendiri, menurut Evri, sudah punya rambu-rambu yang tegas tentang pembatasan dan pelarangan konten pornografi di televisi dan radio, melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Ke depannya, Evri berharap, kerja sama dengan kementerian dan lembaga dapat dikuatkan dan direalisasikan, untuk menyasar kelompok masyarakat yang rentan terpapar pornografi. “Kita tidak ingin paparan konten pornografi semakin meluas dan merusak kualitas generasi muda bangsa ini, “ ujarnya. 

Dalam FGD tersebut, hadir juga perwakilan dari majelis keagamaan yang ikut bersuara untuk meningkatkan upaya pencegahan pornografi. Maria Advianti, dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkap, saat ini ada kesenjangan literasi penggunaan gawai telepon seluler di kalangan santri. “Kita tahu, dalam kehidupan pesantren terdapat larangan penggunaan telepon seluler,” ujarnya. Namun, saat santri pulang ke rumah, kuantitas penggunaan gawai ini meningkat tanpa diiringi pemahaman bagaimana memanfaatkan sesuai kebutuhan. “Jadi seakan ada gegar budaya di kalangan santri, ketika dapat mengakses telepon pintar,” tambah perempuan yang disapa Vivi ini. 

Sementara itu dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang diwakili oleh Pendeta Sonya mengatakan, pihaknya sudah punya kesepahaman dengan siber kreasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang ikut ambil bagian menyisipkan materi literasi digital pada setiap kegiatan PGI. Sonya juga bertanya soal sistem yang dibangun oleh GTP3, ketika jemaat gereja menemukan praktek pornografi di lingkungan. “Bagaiman mekanisme pelaporan dari masyarakat, saat menemukan aktivitas tidak pantas di lingkungan, seperti seks bebas atau kekerasan seksual,” ujarnya. Secara khusus Sonya juga bertanya pada Kemenkominfo terkait Virtual Private Network (VPN) yang dengan mudah didapat melalui playstore, sehingga memungkinkan untuk mengakses konten pornografi yang sebenarnya sudah diblock oleh pemerintah. 

Pada kesempatan itu, perwakilan dari Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo juga hadir menyampaikan pemaparan terkait tindakan pencegahan penyebaran pornografi di ranah digital. Beberapa hal yang terungkap adalah penolakan dari platform digital untuk menurunkan konten pornografi yang berasal dari luar negeri, dengan alasan konten seperti itu dianggap legal di negara asalnya. Sedangkan untuk konten pornografi yang berasal dari dalam negeri, platform digital masih mau memenuhi permintaan Kemenkominfo untuk “take down”.  

Pornografi sendiri, menurut Azimah Subagijo sebagai narasumber FGD, merupakan dampak ikutan dari reformasi di tahun 1998. Undang-Undang Pornografi hadir sebagai usulan inisiatif DPR di tahun 2006 dan baru disahkan pada tahun 2008.  Di forum tersebut, Azimah memaparkan alasan kenapa Pornografi itu berbahaya. “Salah satunya karena pornografi dibawa oleh media,  sehingga penyebarannya menjadi sangat luas, bahkan masuk ke dalam ruang-ruang privat dan keluarga,” ujarnya. Namun demikian, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasionnal (RPJMN) salah satu tujuannya adalah terbentuknya keluarga berkualitas. “Musuh utama dari keluarga berkualitas adalah pornografi,” terangnya. 

Narasumber lain pada FGD adalah TB Chaerul Dwi Sapta sebagai Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah III, Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Chaerul menegaskan, Kemendagri akan mengawal rencana program dan anggaran di daerah, termasuk untuk isu pornografi. Komitmen ini sudah tertuang dalam Peraturan Mendagri nomor 15 tahun 2023 tentang Pedoman Penyusunan APBD tahun 2024 yang menyebutkan, Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran dalam bentuk program, kegiatan dan subkegiatan terkait dengan pembangunan ketahanan keluarga dan gugus tugas pencegahan serta penanganan pornografi. Hal ini sejalan dengan Surat Edaran Mendagri tahun 2019 tentang pembentukan GTP3 di tingkat kabupaten/ kota yang bertanggungjawab kepada bupati/ walikota. 

Menutup FGD di hari itu, Mustikorini Indrijatiningrum selaku Asisten Deputi Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga mengungkap, tugas besar GTP3 yang terdekat adalah merealisasikan regulasi teknis yang menjadi turunan peraturan pemerintah. Diantaranya terkait aturan usia dalam pornografi, kebijakan dalam menyikapi konten yang dekat dengan pornografi, seperti konten dewasa namun belum secara eksplisit terkategori sebagai konten pornografi. Dia berharap, seluruh kementerian dan lembaga yang tergabung dalm GTP3 ini dapat senantiasa bersinergi dan berkolaborasi guna mengoptimalkan upaa pencegahan dan penanganan pornografi. 

 

 

Jakarta -- Penilaian indeks kualitas program siaran TV (IKPSTV) yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bersama 12 Perguruan tinggi dapat dijadikan referensi bagi lembaga penyiaran TV dalam meningkatkan kualitas tayangan selain pemeringkatan yang dilakukan lembaga survey Nielsen. Program IKPSTV yang berjalan secara periodik ini mengutamakan kualitas siaran ketimbang pengukuran jumlah pemirsa atau kuantitas.

"Indeks kualitas program siaran televisi merupakan program prioritas nasional sejak 2015 yang bertujuan melihat kualitas isi siaran pada stasiun televisi jaringan nasional. Indeks ini dilakukan agar menjadi referensi lembaga penyiaran televisi dalam meningkatkan kualitas tayangan sehingga tidak hanya terpaku pada rating Nielsen,” kata Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, saat membuka acara Refleksi dan Rekomendasi Hasil IKPSTV Periode II KPI, di Universitas Mercu Buana (UMB), Kamis (7/3/2024).

Sepanjang tahun 2023, KPI melakukan dua kali program IKPSTV. Ada 8 kategori program acara yang dinilai yakni kategori sinteron, infotainment, wisata budaya, variety show, religi, anak, berita dan talkshow. Penilaian perkategori dilakukan oleh para ahli dengan berbagai latar belakang bidang. Hasil penilaian di dua periode itu telah disampaikan KPI,

“Kami sangat berharap mendapat masukan pakar komunikasi dari ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia) terkait hasil indeks yang telah dikeluarkan,” tambah Ubaidillah sekaligus menyatakan jika nilai indeks dari masing-masing kategori program siaran memiliki muatan strategis bagi para pemangku kepentingan, salah satunya bagi kalangan akademisi.

Sementara itu, Koordinator IKPSTV KPI yang juga Anggota KPI Pusat, Amin Shabana mengatakan, pemeringkatan bersifat kualitatif yang dikeluarkan oleh perusahaan survei media, Nielsen, saat ini menjadi referensi bagi industri penyiaran Indonesia. Sementara IKPSTV menentukan peringkat suatu program televisi dengan memperhatikan aspek kualitas dari tayangan tersebut.

"Kalau lembaga pemeringkatan Nielsen menggunakan popularitas, maka KPI mencoba untuk melihat dari aspek kualitas sehingga Indeks Kualitas Program Siaran yang dilakukan bisa menjadi penyeimbang bagi indeks pemeringkatan yang dilakukan oleh lembaga Nielsen," kata Amin dalam kesempatan yang sama.

Pengukuran IKPSTV diikuti oleh 96 responden terdiri atas 51 persen responden perempuan dan 49 responden laki-laki. Dengan menggandeng 12 perguruan tinggi yang ada di Indonesia membuat pengukuran indeks itu diikuti oleh lulusan perguruan tinggi terkait.

Dia juga menyebutkan, saat mengukur peringkat program televisi yang populer dengan metode IKSPTV, ditemukan bahwa tidak semua program populer merupakan program berkualitas. "Sinetron dan infotainment yang secara popularitas, secara rating kualitatif selalu menempati 10 peringkat terbesar, ternyata justru melalui indeks kualitas siaran televisi dianggap masih belum berkualitas," ujar Amin.

Selain sebagai referensi alternatif, terang Amin, IKPSTV juga menjadi upaya membangun mekanisme pemeringkatan program televisi Indonesia yang lebih sehat dan demokratis di mana tidak dimonopoli oleh satu lembaga pemeringkatan tertentu. Menurutnya, mekanisme pemeringkatan program televisi oleh beberapa lembaga telah diterapkan di sejumlah negara.

Di samping itu, stasiun televisi didorong untuk meningkatkan kualitas program-program yang ditayangkan mengingat saat ini penonton televisi mengalami tren penurunan karena penggunaan media sosial yang masif di kalangan masyarakat.

"Ketika kita ingin bertarung dengan konten media sosial, maka teman-teman penyiaran juga harus meningkatkan (kualitas) kontennya. Jadi konten harus dilawan dengan konten," papar Amin.

Setelah sambutan tersebut, rangkaian acara dilanjutkan paparan para narasumber antara lain dari Akademisi ISKI Pusat, Endah Murwani. Dia menyampaikan pandangannya terkait hasil riset indeks kualitas program televisi infotainment. Kemudian, paparan dilanjutkan Ilham Gemiharto dariUniversitas Padjajaran mengenai sinetron.

Praktisi penyiaran yang juga merupakan pengurus ISKI Pusat Nugroho Agung Prasetyo (NET TV) menyampaikan pandangan tentang hasil riset indeks kualitas program variety show. “Hadirnya riset indeks kualitas program televisi tentu cukup baik sebagai penyeimbang dari sisi parameter kuantitatif yang selama ini ada. NET TV merupakan salah satu lembaga penyiaran yang peduli terhadap kualitas konten untuk pemirsanya dengan value positifnya yang menghibur,” katanya.

Agung juga mendorong para kreator variety show untuk lebih mengutamakan program tersebut menjadi acuan yang dapat menginspirasi masyarakat. “Bukan hanya sekedar menghibur dengan canda dan musiknya, tapi juga menghadirkan perbincangan hangat yang menghibur sekaligus menggali informasi bintang tamunya agar dapat menjadi inspirasi publik,” katanya.

Setelahnnya, praktisi pemberitaan Yogi Arief Nugraha dari Kompas TV juga memberikan masukan terhadap indeks kualitas program pemberitaan di televisi yang disusul oleh Irwan Setyawan (Direktur Jawapos TV 2015-2020).

Sejumlah akademisi lain juga menghadirkan pandangan terkait hasil riset indeks kualitas program televisi, antara lainRustono Farady Marta dari USNI untuk kualitas program anak. Dilanjutkan, Devie Rahmawati dari Universitas Indonesia untuk program wisata budaya serta Trie Damayanti dari Universitas Padjajaran untuk program talkshow.

Di awal acara, dilakukan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) antara KPI Pusat dengan ISKI, KPI Pusat dengan UMB dan IKSI dengan UMB. ***/Foto: Agung R

 

 

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.