Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis saat di Kompas.

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) berkunjung ke Harian Umum Kompas di Pal Merah, Rabu (21/11/2017). Kunjungan dipimpin langsung Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, membahas berbagai masalah dan isu penyiaran di tanah air. Kunjungan tersebut diterima Pemimpin Redaksi Harian Umum Kompas, ‎Budiman Tanuredjo. Dalam pertemuan itu, hadir Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah dan Dewi Setyarini. ***

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis.

 

Jakarta – Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, meminta para peserta Sekolah P3SPS KPI Angkatan XXIV menerapkan fungsi media berdasarkan UU Penyiaran saat memproduksi sebuah program acara. Jika fungsi media seperti pemberi informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, perekat sosial dan ekonomi serta penjaga kebudayaan menjadi pegangan, kualitas dan manfaat siaran jadi lebih baik untuk publik.

“UU Penyiaran mengamanahkan bagaimana seharusnya media menjalankan fungsinya. Jika fungsi ini dijalankan, perkembangan dan kualitas siaran kita akan terus membaik dan maju,” katanya saat membuka Sekolah P3SPS KPI Angkatan XXIV di Kantor KPI Pusat, Selasa (21/11/2017).

Dalam kesempatan itu, Andre, panggilan akrabnya, menjelaskan tugas dan fungsi KPI menjaga ranah penyiaran di tanah air. Salah satu hal yang ditekankannya yakni KPI tidak pernah melakukan sensor terhadap siaran televisi.

“KPI tidak bisa melakukan interupsi terhadap lembaga penyiaran. KPI hanya melakukan pengawasan terhadap frekuensi yang digunakan lembaga penyiaran tersebut. Ketika acara sudah ditayangkan lembaga penyiaran dan terjadi pelanggaran aturan, di sanalah posisi KPI bertindak dan lembaga penyiaran tidak bisa mengelak,” jelasnya.

Namun, lanjut Ketua KPI Pusat, KPI memiliki kewajiban untuk ikut mengembangkan indutri penyiaran di tanah air. Kewajiban tersebut selaras dengan cara KPI mendorong peningkatan kualitas tayangan di lembaga penyiaran. ***

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menyampaikan presentasinya di acara IJTI NTB, Sabtu (18/11/2017).

 

Mataram – Berkembangnya teknologi media khususnya media sosial berimplikasi terhadap dinamika di sekelilingnya. Perubahan yang paling kentara saat ini adalah informasi atau berita dapat diakses secara cepat di media sosial yang terkadang tanpa harus melalui prosedur yang lazim dilakukan dalam sebagai produk jurnalistik. Akibatnya, pemberitaan hoax atau palsu di media khususnya medsos makin marak dan tanpa kendali.

Masifnya pemberitaan hoax yang beredar sekarang banyak dikhawatirkan berbagai pihak termasuk Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat). Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, pemberitaan hoax atau informasi dapat mempengaruhi opini dan kepercayaan publik yang mengaksesnya tanpa mengecek kedalaman informasi tersebut. 

Tidak hanya itu, pemberitaan hoax yang ada di media sosial terkadang jadi makan media  mainstream seperti radio dan televisi. Ketika sebuah kejadian menjadi viral di media sosial, hal itu memicu media untuk ikut mengakses dan menjadikan sebagai sebuah karya jurnalistik. “Terkadang media itu tidak melakukan verifikasi terhadap informasi tersebut,” kata Hardly ketika menjadi narasumber di Seminar dan Musda Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Hotel Lombok Raya, Mataram, Lombok, NTB, Sabtu (18/11/2017).

Menurut Hardly, verifikasi dan pendalaman informasi oleh jurnalis atau tim media merupakan proses absolut sebelum informasi tersebut menjadi produk jurnalistik.  Sayangnya, akselerasi informasi yang beredar di publik sangat tinggi disertai tuntutan rating menyebakan prosedur tersebut terkadang dilangkahi.

Sebaiknya, kata Hardly, lembaga atau media penyiaran menjadi penyeimbang berbagai informasi yang beredar tanpa terkendali di internet atau media sosial. Fungsi media penyiaran lewat informasinya harus menyejukan dan memberi rasa aman bagi masyarakat. “Kami dari KPI sangat mendukung media penyiaran yang memposisikan sebagai media penyeimbang,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo meminta jurnalis televisi untuk teguh dengan prinsip akurasi informasi meskipun dikejar-kejar kecepatan media lain. Menurutnya, akurasi pemberitaan landasan utama dari ciri produk jurnalistik yang baik dan benar. "Produk jurnalistik tidak menggunakan media sosial. Karena itu, jurnalisme warga tidak pernah jadi produk jurnalistik karena tidak memiliki newsroom," jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Hardly menyambut baik langkah IJTI menyelenggarakan berbagai literasi media khususnya di kalangan akademisi seperti sekolah dan pesantren. Kegiatan literasi yang berkesinambungan memiliki dampak positif terhadap perubahan perilaku publik untuk berpikir positif dan lebih berhati-hati ketika mengakses informasi dari media. “Terlebih audiens yang ditarget berasal dari pelajar, mahasiswa ataupun santri. Mereka termasuk yang banyak mengakses internet,” kata Hardly.

Sebelumnya, diawal acara, kegiatan Seminar dan Musda IJTI NTB dibuka secara langsung Wakil Gubernur NTB, Muhammad Amin. Hadir pula Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, dan Jurnalis TV berpengalaman, Imam Wahyudi sebagai narasumber seminar yang bertemakan “Peran Media Konvergensi dan Media Konvensional dalam Pembangunan di NTB”.  ***

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano.

 

Mataram – Keberadaan program siaran jurnalistik atau “news” di layar kaca atau televisi mulai terancam. Tandanya dapat dilihat dari berkurang program dan jam tayang siaran berita di beberapa stasiun televisi. Berkembangnya teknologi media non mainstream serta kalah bersaing dengan program lain akibat rating disinyalir menjadi biang keladi.

Pernyataan tersebut disampaikan sejumlah jurnalis televisi yang hadir dalam Seminar dan Musda Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), di Hotel Lombok Raya, Sabtu (18/11/2017).

Menyikapi hal itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano menilai, perlu dibuat langkah konkrit terutama dari pihak IJTI agar jam tayang dan keberadaan program berita di siaran televisi tetap bertahan. Salah satu upaya itu yakni dengan memberi masukan pada Komisi I DPR RI dalam revisi UU Penyiaran. “Perlu ada penjelasan dalam pasal di UU Penyiaran soal jam tayang pemberitaan minimal 10% dari seluruh waktu siaran,” kata Hardly di tempat yang sama.

Penegasan dalam UU Penyiaran baru mengenai jam tayang program berita mewajibkan lembaga penyiaran untuk menyediakan slot program pemberitaan. Hardly menyayangkan jika acara berita berkurang dan menghilang dari televisi karena acara tersebut penuh manfaat. “Saya harap ada rekomendasi dari NTB untuk memberi masukan ke pusat soal ini. Jadi tidak ada lagi program news yang hilang dari televisi karena kepentingan rating,” kata Hardly.

Sementara itu, Ketua Umum IJTI, Yadi Maryadi menyatakan, jurnalis televisi sekarang harus memiliki penguasaan teknologi digital yang mumpuni agar dapat berlari sejajar dengan perkembangan teknologi media. “Penguasaan teknologi juga akan mempermudah para jurnalis dalam mengolah konten,” katanya di depan Anggota IJTI NTB yang hadir di seminar tersebut.

Yadi juga mendorong jurnalis televisi untuk terus mengembangkan kemampuan masing-masing agar mampu menciptakan konten berkualitas sehingga publik dapat lebih banyak menonton hasilnya secara langsung. Upaya ini secara bertahap akan menghilangkan ketergantungan mereka dengan industri medianya.

“Ke depan ini, jurnalis jangan terlalu bergantung dengan industri media. Jadi yang paling penting adalah bagaimana meningkatkan skill masing-masing karena konvergensi dunia sangat luas dan tidak ada sekat lagi,” kata Yadi menambahkan.

Hal senada juga disampaikan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, bahwa era media ke depan akan berubah seiring dengan pengaruh perkembangan internet. Pengunaan komputer dan gadget berperan besar pada penyiaran mendatang.

“Nasib media-media akan mengalami perubahan ke depannya. Jika UU Penyiaran baru mengatur soal digital kemungkinan tayangan televisi akan ikut berubah formatnya,” kata Stanley, panggilan akrab Ketua Dewan Pers. ***

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) melayangkan surat peringatan untuk program siaran “Katakan Putus” di Trans TV, Senin (13/11/2017). Program “Katakan Putus” yang ditayangkan Trans TV pada tanggal 6 November 2017 mulai pukul 15.07 WIB dinilai tidak memperhatikan ketentuan tentang penghormatan terhadap hak privasi serta perlindungan anak-anak dan remaja.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengatakan program tersebut menampilkan sepasang suami istri yang bertemu dan bertengkar di hadapan anak perempuan mereka hingga anak tersebut kemudian dibawa pergi oleh ibunya.

Menurut Hardly, berdasarkan penjelasan di surat peringatan, tayangan atau adegan tersebut berpotensi melanggar Pasal 13 Ayat (1) dan Pasal 15 Ayat (1) SPS KPI Tahun 2012 tentang kewajiban program siaran menghormati hak privasi dalam kehidupan pribadi objek isi siaran serta perlindungan anak-anak dan remaja. “Berdasarkan hal tersebut KPI Pusat memutuskan untuk memberikan peringatan,” katanya.

Peringatan yang diberikan KPI Pusat, lanjut Hardly, merupakan bagian dari pengawasan pihaknya terhadap pelaksanaan peraturan serta P3 dan SPS oleh lembaga penyiaran, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran).

“Trans TV wajib menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan dalam menyiarkan sebuah program siaran,” tandas Hardly. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.