Jakarta – Mahasiswa Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri (UIN) melakukan kunjungan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Rabu (28/2/2024). Kunjungan ini dalam rangka mengetahui lebih dalam tentang peran KPI dalam upaya meningkatkan kualitas penyiaran di tanah air.

Di awal petemuan, Wakil Dekan Bidang Akademik, Achmad Maimun, menyampaikan bahwa KKL ke KPI Pusat merupakan bentuk pembekalan dari kampus mengenai fungsi dan peran lembaga KPI. Selain itu, mahasiswa perlu memahami bagaimana dinamika penyiaran di tanah air ke depan. 

“Kami ingin mahasiswa mengetahui dan mendapat wawasan mengenai peran KPI dan tantangan penyiaran ke depannya,” katanya membuka pertemuan tersebut.

Diwakili Tenaga Ahli Madya Penjatuhan Sanksi KPI Pusat, Irvan Priyanto, menguraikan bagaimana tugas dan fungsi KPI berdasarkan regulasi yang berlaku yakni Undang-undang (UU) Penyiaran tahun 2002. Menurutnya, tugas KPI adalah menjamin masyarakat memperoleh informasi dan hiburan yang layak dan benar melalui TV dan radio. 

“KPI memastikan siaran dari TV dan radio jarang ada yang hoaks. Selain itu, tugas KPI mengantisipasi terjadinya hal-hal yang bersifat negatif dalam siaran. Undang-undang penyiaran itu mengamanatkan KPI untuk mengatur jalannya sistem penyiaran agar masyarakat memperoleh seluruh tayangan yang mencerdaskan,” jelasnya di depan puluhan mahasiswa yang ikut dalam KKL tersebut.

Saat sesi diskusi, beberapa mahasiswa bertanya mengenai tayangan yang banyak menonjolkan konten gosip dan hal yang viral. Padahal, menurutnya, tayangan tersebut tidak memiliki manfaat serta tidak layak tonton khususnya bagi anak-anak. “Bagaimana peran KPI mengatasi hal ini,” kata Naylatusyifa.

Selanjutkan Anisa bertanya mengenai pengawasan KPI terhadap media sosila seperti Tik Tok hingga Youtube. Dia bahkan mengkhawatirkan keberadaan media TV akan bernasib sama dengan radio.

Usai diskusi tersebut, rombongan mahasiswa UIN Salatiga diajak berkunjung ke ruang pemantauan siaran KPI Pusat. Mereka diberi kesempatan melihat secara langsung pemantauan siaran KPI Pusat yang berjalan 24 jam tersebut. Usai kunjungan, para mahasiswa ini mengaku senang dan menjadi lebih paham bagaimana peran dan tugas KPI sesungguhnya dalam mengawal penyiaran di tanah air. ***/Foto: Agung R

 

 

Solo – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ikut bertanggung jawab menumbuhkan kesadaran publik dalam bermedia. Pentingnya penguasaan kesadaran bermedia ini tidak lepas dari kondisi terkini dari berkembangnya media khususnya media baru yang memiliki kecepatan akses menginformasikan dan tanpa batas.

Hal itu sampaikan Anggota KPI Pusat, Aliyah, ketika menjadi salah satu nara sumber kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) bertema “Peran Media dalam Membangun Komunikasi Publik yang Berkualitas” yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) di Solo, pekan lalu.

Aliyah menerangkan upaya yang telah dilakukan KPI untuk meningkatkan kesadaran pada masyarakat. Salah satunya melalui program kegiatan literasi media. Melalui literasi ini, KPI menyampaikan pesan-pesan kritis sekaligus pembelajaran tentang kemampuan menyikapi seluruh informasi yang diterima secara tepat.

“Jadi ketika mereka mendapatkan informasi maupun konten hiburan apapun, tidak serta merta pasrah menelannya. Kami mendorong mereka agar mampu menganalisa dan kritis terhadap informasi maupun hiburan tersebut. Sehingga mereka dapat secara selektif memilah dan memilihnya. Jika hal ini sudah diterapkan, tentunya akan berdampak baik bagi mereka sendiri,” jelas Aliyah.

Dia juga mengingatkan bahwa informasi yang disajikan media baru jangan terlalu cepat dipercaya. Pasalnya, proses pengelolaan informasi di media ini berbeda dengan prosedur yang dilakukan di media penyiaran (TV dan radio). 

“Media penyiaran, TV dan radio, sebelum informasi tersebut ke masyarakat akan melalui rangkaian proses yang ketat dan terverifikasi. Karena jika mereka melakukan tindakan yang melenceng semisal beritanya tidak valid atau hoaks, hal itu tidak akan dibiarkan KPI. Ada regulasi yang mengawasinya. KPI mengawasi seluruh siaran tersebut,” kata Aliyah.

Saat ini, pengawasan siaran di KPI Pusat mencakup 44 televisi digital, 5 televisi berlangganan, dan 15 radio berjaringan. “Jadi ada sekitar 64 lembaga penyiaran yang kami pantau secara langsung dalam 24 jam penuh,” tutur Aliyah.

Di akhir paparnya, Aliyah menyampaikan tujuan utama dari penyiaran adalah untuk memperkukuh integrasi nasional. Selain itu, untuk membina watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertagwa. Mencerdaskan kehidupan bangsa. “Penyiaran juga bertanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum dalam membangun masyarakat mandiri, demokratis, adil dan sejahtera. Dan yang terakhir adalah menumbuhkan industri penyiaran di Indonesia,” tandasnya.

Dalam acara tersebut, selain Aliyah hadir para nara sumber lain diantaranya Staf Ahli Menteri Kominfo, Prof. Widodo Muktiyo, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, Ketua Perhimpunan Wartawan Indonesia, Hendry CH Bangun, dan Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UPV Veteran Yogyakarta, Basuki Agus Supano. ***

 

 

Bayan - Kiprah radio sekolah perempuan yang dikenal dengan Radio Nina Bayan, tidak sekedar memberikan sosialisasi tentang kebijakan dan layanan pemerintah kepada masyarakat. Radio komunitas ini juga gencar melakukan edukasi terkait hak perempuan dan perlindungan yang diberikan negara lewat undang-undang tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Menurut Ketua Sekolah Perempuan, Saraiyah, literasi yang diberikan pihaknya lewat program siaran radio ini mendapat banyak respon dari masyarakat, terutama perempuan yang menerima tindak kekerasan. 

Dalam kunjungan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ke radio Nina Bayan di desa Sukadana, kecamatan Bayan, kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat,  (24/2), terungkap pula bahwa radio komunitas ini ikut menggalakkan sosialisasi saat pandemi Covid 19 melanda. Awalnya, sebagian besar masyarakat menganggap virus Covid tidak akan sampai ke wilayah mereka. Apalagi virus tersebut berasal dari negeri yang cukup jauh dari Indonesia. Tapi lewat sosialisasi aktivis sekolah perempuan melalui kanal radio ini, publik pun tersadarkan bahaya virus tersebut dan ikut ambil bagian dalam pencegahan penularan Covid19, baik lewat pembatasan sosial ataupun melalui vaksinasi. 

Saraiyah menceritakan, saat pandemi kemarin aktivitas sekolah dan usaha dihentikan. Radio Nina Bayan memberi kesempatan pada guru-guru untuk melakukan pengajaran materi sekolah melalui siaran, sehingga anak-anak juga tidak kehilangan hak mendapatkan ilmu. Sebenarnya, ungkap Saraiyah, saat pandemi juga terjadi peningkatan kekerasan dalam rumah tangga. “Lewat radio inilah, kami buka saluran pengaduan dan juga penanganan kasus kekerasan tersebut,” tambahnya. Terkait advokasi yang dilakukan tersebut, diantaranya adalah kasus pernikahan dini oleh anak-anak yang berusia 13 dan 15 tahun.

Ketua KPI Pusat Ubaidillah sangat mengapresiasi eksistensi Radio Nina Bayan di tengah masyarakat desa Sukadana, kecamatan Bayan, Lombok Utara. Dalam pandangannya, memang sudah selayaknya media menyuarakan kepentingan masyarakat, termasuk juga memberi pembelaan pada pihak-pihak yang membutuhkan.  Turut hadir pula pada kunjungan tersebut, jajaran komisioner KPI Pusat, I Made Sunarsa, Mimah Susanti, dan Evri Rizqi Monarshi, serta Sekretaris KPI Pusat, Umri. 

Sementara itu, menurut Mimah Susanti, radio-radio komunitas yang eksis sebenarnya cukup banyak. Yang istimewa, radio Nina Bayan ini selain punya perhatian besar terhadap isu perempuan, juga sekaligus melakukan advokasi secara langsung pada masyarakat. “Cara yang dilakukan radio ini sangat unik. Pelaporan langsung dari publik, menjadi ruang edukasi sekaligus sosialisasi bagi yang lain,” ujarnya. 

Kita harus apresiasi radio komunitas yang menjalankan fungsi kontrol sosial dengan baik. “Masyarakat jadi tercerahkan bahwa kekerasan, termasuk pada perempuan adalah sebuah kesalahan, pernikahan dini juga kesalahan bahkan melanggar undang-undang,” tegasnya.

Eksistensi Radio Nina Bayan sendiri masih mendapatkan kendala dalam proses pengajuan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP). Saraiyah mengatakan, selama IPP belum diterima, siaran radio dilakukan melalui medium internet, podcast. Dengan demikian, hak informasi bagi masyarakat tetap tertunaikan tanpa mencederai aturan yang dibuat terkait perizinan.

Koordinator Bidang Kelembagaan KPI Pusat, I Made Sunarsa menyampaikan langkah yang harus ditempuh dalam rangka legalisasi status Radio Nina Bayan. Menurut Made, dalam Undang-Undang Cipta Kerja klaster penyiaran, ada entitas untuk radio khusus. Made menilai, kalau kerja sama Radio Nina Bayan dengan kementerian terkait sudah tertuang secara tertulis, harusnya dapat mengambil pilihan entitas radio khusus, agar mendapatkan alokasi frekuensi dari pemerintah. Selain itu, peluang untuk kerja sama dengan pihak swasta juga lebih memungkinkan, secara regulasi, daripada hanya dalam bentuk radio komunitas, pungkasnya.

 

Sembalun -- Tak dipungkiri, hadirnya media baru (media berbasis internet) ikut menambah daftar masalah media arus lama seperti radio. Bahkan, saat ini banyak radio yang beroperasi seperti pepatah lama “Hidup segan, mati tak mau”.  Padahal, eksistensinya sangat dibutuhkan terutama untuk masyarakat di wilayah rawan bencana seperti di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

Salah satu radio yang tetap eksis bersiaran di NTB meskipun secara finansial tak menguntungkan yakni Rinjani FM. Radio yang bersiaran di kaki Gunung Rinjani ini, hidup hanya dengan mengandalkan sokongan tunggal dari pemiliknya. Kendati demikian, perannya masih jadi andalan terlebih saat terjadi bencana gempa bumi di wilayah pulau Lombok di 2018 lalu. 

“Tepatnya tanggal 30 Juli 2018 sekitar pukul 08.00 pagi. Waktu itu ada gempa pertama dan saya ada di Mataram. Pada saat itu sore hari. Besok paginya, terjadi gempa susulan yang besar dan pusat gempanya ada di Obel-obel. Pada saat kejadian, orang-orang belum tahu kabar yang terjadi. Kebetulan siaran radio kami menjangkau daerah tersebut,” kenang Gaguk Santoso, pemilik Radio Rinjani FM di acara Press Camp KPI Pusat di desa Sembalun Lawang, Lombok Timur, NTB, Minggu (25/2/2024). 

Sekitar jam 11 siang, pria yang hampir seluruh hidupnya mengurusi radio ini, mendapatkan informasi dari salah satu penggemar radio Rinjani FM di tempat kejadian. Penggemar tersebut melaporkan situasi dan kondisi yang terjadi di wilayahnya pasca gempa. 

“Satu kecamatan hampir rata tanah. Korbannya juga banyak. Belum ada bantuan yang masuk,” ujar Gaguk sembari membenarkan letak kaca matanya yang miring lantas meneruskan cerita.

Setelah mendapatkan kabar itu, Dia dan tim segera berkemas seadanya lalu berangkat menuju ke desa Obel-obel. “Saya hanya membawa uang tak lebih 2 juta, beberapa kardus mie instan, dan dua tenda,” katanya. 

Sesampainya di lokasi, betapa terkejutnya Gaguk melihat kondisi saat itu. Hampir sebagian besar rumah hancur. Banyak korban meninggal bergelimpangan begitu saja. Korban luka dan patah tulang juga belum ditangani. 

“Dua tenda yang saya bawa jadi rebutan. Mereka juga belum makan karena memang tidak ada makanan karena rumah mereka hancur. Bahkan, saya harus membantu seorang ibu yang baru melahirkan yang bayinya masih merah. Kami masukan ke tenda. Baru setelah magrib tim koramil masuk ke lokasi bencana. Malam itu, gelap sekali,” tutur Gaguk.

Pengalaman yang diceritakan Gaguk menguatkan jika siaran radio masih efektif dalam memitigasi kebencanaan. Terlebih dengan modelnya siaran yang bisa interaktif. Jadi informasi maupun berita tentang bencana atau apapun dapat disampaikan secara langsung oleh pendengarnya.

Sayangnya, posisi sentral radio di tengah kebencanaan tidak setangguh kondisinya. Saat ini, banyak radio mengalami kesulitan untuk bertahan hidup dan bahkan gulung tikar. 

“Kondisi kami para pelaku usaha radio sangat memprihatinkan. Sudah setengah mati. Jadi, mohon dari KPI atau pemerintah, sekiranya kita dapat diperhatikan. Kami bisa hidup karena ditopang usaha lain. Tapi yang lain faktanya begitu itu. Kalau kita tidak ada kan lucu juga,” keluh Gaguk Santoso. 

Digitalisasi radio

Cerita mengenai sepak terjang radio dan bencana juga dituturkan Anggota KPI Pusat, Muhammad Hasrul Hasan. Pada saat kejadian gempa di kota Palu, Sulawesi Tengah, beberapa tahun lalu, radio Nebula FM menjadi satu-satunya radio yang masih bersiaran di wilayah tersebut. Siarannya menjadi referensi utama informasi mengenai situasi dan keadaan terkini dari tempat bencana.

“Kami memantau siaran radio tersebut disaat jalur komunikasi belum stabil pasca terjadinya gempa. Jadi semua informasi mengenai situasi dan kondisi terkini Palu kami dapatkan dari siaran radio Nebula. Siaran dari radio ini sangat berharga di tengah sulitnya mencari informasi mengenai situasi kota Palu setelah gempa tersebut,” kata Hasrul dalam press camp tersebut.

Terkait hal ini, Hasrul mengatakan bahwa fungsi media penyiaran terkait mitigasi bencana begitu krusial. Bahkan, posisinya diperkuat dalam Peraturan Menteri (Permen) dengan pengaktifan sistem EWS (early warning sistem). 

Dalam UU (Undang-undang) Cipta Kerja, migrasi atas siaran nasional (ASO: analog switch off) tidak hanya soal perpindahan teknologinya, tetapi juga penambahan perangkat pengingat kebencanaan. “Sistem EWS ini dapat memperingatkan soal kebakaran hutan, tsunami, gempa dan bencana lainnya. Jadi yang kirim informasi bencana ke MUX ini adalah lembaga berkompeten yakni BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Nanti disebarkan ke TV dan radio. KPI sudah kerjasama dengan Kominfo serta Lembaga Penyiaran dan kita sudah uji coba. Pertama di kota Palu dan yang terakhir di Banda Aceh,” jelas Hasrul. 

Kendati demikian, lanjut Hasrul, masyarakat harus mengetahui cara mengaktifkan teknologi EWS ini yakni dengan memasukkan kode pos tempat tinggal di TV digital maupun STB (set top box). Pasalnya, informasi mengenai bencana akan disampaikan kepada masyarakat yang terdampak sesuai kode pos tersebut. 

“Jadi informasi bencana ini tidak disiarkan ke seluruh indonesia. Kemudian, ada tipe warnanya dan ketika TV kita sudah berwarna merah, kanal sudah tidak bisa dipindah-pindah. Artinya, masyarakat diminta untuk segera menyelematkan diri ke tempat yang aman. Ini penting disampaikan ke masyarakat,” tutur Koordinator bidang Pengelolaan Kebijakan dan Sistem Penyiaran (PKSP) KPI Pusat. 

Menyangkut digitalisasi siaran radio, Hasrul mengungkapkan, hal ini sudah ditampung dalam draft RUU Penyiaran. Rencananya, batas akhir perpindahan sistem siaran digital radio pada 2028. Namun begitu, dia berharap fitur peringatan ini dapat segera diterapkan. “Semoga kita bisa mensimulasikannya sesegera mungkin,” pintanya. ***/Foto: Agung R

 

 

Sukadana – Masyarakat desa Sukadena, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) sangat antusias dan mengaku senang penyelenggaraan kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyentuh desanya. Mereka berharap kegiatan seperti ini kerap dilakukan di wilayah pedesaan. 

Kepala Desa Sukada, Zulrahman, menyampaikan rasa terima kasih karena desa yang dipimpinnya terpilih menjadi salah satu titik kegiatan literasi KPI Pusat tahun ini. Menurutnya, literasi ini penting bagi masyarakat desa yang banyak terpapar informasi dan hiburan, khususnya melalui media berbasis internet. 

“Dari kegiatan ini, kami dapat ilmu banyak dan pembekalan Sehingga kami dapat menganalisa informasi dan hiburan yang kami terima, sehingga kami dapat memilah dan memilih informasi serta hiburan yang sesuai, manfaat sekaligus baik bagi kami,” jelas Zulrahman dalam sambutannya.

Apa yang disampaikan Kepala Desa Sukadana berbanding lurus dengan paparan salah satu narasumber kegiatan literasi, Athika Hidayatul Ummah. Dia mengatakan, tingkat literasi di Indonesia masih jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain. Padahal di tengah era post-truth ini, lanjutnya, upaya literasi sangat penting.

“Saat ini, kita mengalami banjir informasi sehingga kita terkadang tidak bisa membedakan mana informasi yang hoax dan tidak. Kita itu ada dimana pendapat masyarakat tidak lagi dibentuk oleh fakta dan rasio, melainkan oleh sentimen dan kepercayaan,” ujar Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram NTB. 

Masih terkait era post-truth, Athika menyampaikan jika pola penerimaan informasi masyarakat tidak lagi berlandaskan kebenaran. Menurutnya, publik sekarang lebih memilih informasi berdasarkan afirmasi dan kedekatan emosional. “Mereka mencari informasi atas dukungan terhadap keyakinan yang dimilikinya. Bahkan, media sosial masih menjadi sumber utama mereka untuk mendapatkan informasi,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua KPID NTB, Ajeng Roslinda Motimori mengatakan, kolaborasi masyarakat daerah dengan KPI sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas siaran. Dengan pelibatan ini, dia menyakini akan tercipta program-program siaran yang berkualitas. 

“Kolaborasi ini juga akan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya konten siaran yang berkualitas. Sehingga mereka akan memberikan informasi yang akurat dan bermanfaat untuk masyarakat,” tuturnya.

Kegiatan GLSP yang berlangsung di Balai Desa Sukadana ini dibuka langsung oleh Ketua KPI Pusat, Ubaidillah. Turut hadir mendampingi PIC GLSP sekaligus Anggota KPI Pusat, Evri Rizqi Monarshi, serta Anggota KPI Pusat, Mimah Susanti dan I Made Sunarsa serta Anggota KPID NTB. ***/Foto: Agung R

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.