Australia – Televisi  siaran Australia sedang dalam keadaan genting. Hal tersebut disebabkan permasalahan demografis karena terus kehilangan penonton muda dengan cepat.

Angka penonton muda pada setiap kuartal selalu mengalami penurunan yang cukup signifikan hal tersebut disampaikan dalam laporan The Australian Multi-Screen yang  telah berganti nama menjadi Australian Video Viewing. Sedangkan untuk perhitungan jumlah penonton pada wilayah regional, dilakukan oleh TAM, OzTAM dan Nielsen, seluruhnya menunjukan penurunan yang sama.

Siaran Televisi di Austalia tetap menjadi sumber konten yang paling banyak ditonton, tapi bukan berarti membanggakan. Angka tersebut hanya menunjukan 50+ secara demografis dan tetap menjaganya agar angka-angka itu tidak masuk ke terjun bebas ke level 18+ sampai 35+ sedangkan generasi muda mencari alternatif atau hiburan ditempat lain.

Pada kuartal pertama tahun 2017, orang Australia menonton televisi selama 79 jam dan 30 menit di rumah setiap bulannya, angka ini mengalami penurunan 7% dari tahun-tahun sebelumnya. Penurunan itu termasuk terjadi dengan cepat karena pada tahun 2016 penurunan penonton TV hanya 5% dari tahun 2015.

 
Meskipun penurunan bertahap ini secara keseluruhan tidak terdengar terlalu buruk, ceritanya akan berbeda saat Anda memecahkan angka ke dalam berbagai demografi setiap zaman di Australia.

Dalam 12 bulan terakhir,  penonton usia 18 sampai 35 tahun telah memangkas jam menonton siaran bulanan mereka lebih dari 20%. Mereka beralih lebih cepat dari tahun sebelumnya, pada Q4 2016, hanya terjadi penurunan sebesar 15%, sementara pada Q2 2016 mendekati 10%.

Jika kita melihat pada grafik di atas yang dibuat berdasarkan angka mentah dalam industri penyiaran di Australia, angka untuk penonton berusia di bawah 18 tahun tidak terlihat lebih baik, hal tersebut memperjelas bahwa penyiaran di Australia saat ini memiliki masalah yang besar.

Ini adalah grafik yang tidak pernah dibicarakan atau didiskusikan oleh para pemilik Industri penyiaran Australia dan mereka mencoba menenangkan diri mereka sendiri dan berpikir bahwa kaum muda akan kembali menikmati siaran televisi begitu mereka menjadi warga lanjut usia. Red dari http://www.smh.com.au

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Remotivi melakukan pertemuan rutin membahas pengaduan publik terhadap isi siaran selama bulan Mei dan Juni dan tindak lanjut yang sudah dilakukan KPI Pusat atas aduan tersebut, Jumat (14/7/17).

Pertemuan ini dihadiri Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat antara lain Hardly Stefano, Nuning Rodiyah, Mayong Suryo Laksono dan Dewi Setyarini.
Sementara itu, dari Remotivi yang datang Direktur Remotivi Muhammad Heychael dan tiga rekannya.
Pertemuan kali ketiga ini banyak mendiskusikan soal siaran kekerasan dan mistis yang masih banyak tayang di televisi. Selain itu, dibahas pula soal tayangan iklan rokok yang dibalut iklan beasiswa.  

Terkait tayangan kekerasan, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, isu soal siaran kekerasan di televisi dinilai mulai menurun. Pasalnya, KPI sudah melakukan sejumlah upaya untuk menekan maraknya siaran kekerasan dengan dialog dan penjatuhan sanksi. “Saya rasa isu soal ini sudah berkurang banyak,” katanya.

Secara keseluruhan, kata Hardly, aduan publik yang diterima KPI melalui Remotivi sudah melalui proses sebagaimana mestinya. Jika memang aduan tersebut dinilai KPI melanggar aturan P3 dan SPS maka akan terkena sanksi sesuai dengan nilai pelanggarannya.



Beberapa aduan publik yang disampaikan Remotivi dan mendapatkan sanksi atau peringatan antara lain sinetron Anak Langit, Tuhan Beri Kami Cinta, Promo Iklan Beasiswa dan Iklan Perindo. Adapun aduan yang dinilai KPI tidak melanggar aturan P3 dan SPS akan menjadi kajian dan monitoring.

Sementara itu, Muhammad Heychael menegaskan, setiap aduan publik yang disampaikan Remotivi ke KPI Pusat dinilai memiliki potensi pelanggaran terhadap P3 dan SPS. “Karenanya kami selalu menanyakan tindak lanjut atas aduan tersebut dan kami juga butuh batasan yang dibuat KPI untuk menjawab pertanyaan publik atas aduan mereka,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Remotivi menyampaikan data aduan publik yang masuk ke mereka dari April hingga awal Juli 2017 mencapai 270 aduan. Adapun yang disampaikan ke KPI Pusat setelah melalui proses penyaringan mencapai 94 aduan. ***

Spanyol – RTVE  (Radio Televisión Español) menjadi saluran TV nasional pertama di Spanyol yang melakukan siaran langsung menggunakan teknologi Dolby Audio dan Dolby Vision, 5 Juli 2017 lalu. Siaran langsung ini menggunakan teknologi Dolby Vision High Dynamic Range (HDR) dan suara Dolby AC-4, serta menggunakan saluran uji coba DVB-T2 4K yang dioperasikan oleh RTVE dan Cellnexx Telecom. Saluran ini tersedia di saluran terestrial di Madrid (saluran 32), Barcelona (saluran 43) dan Sevilla (saluran 36), namun hanya penonton yang memiliki TV HDR 4K dapat menerima tayangan ini.

Agar program ini  berhasil, RTVE harus menggunkan alat bantu yang ditempatkan ke dalam dua truk penyiaran yang ditempatkan dilokasi terbuka dengan rincian satu truk untuk video dan satu truk untuk audio, yang dimasing – masing truk terdapat pemutar audio, video, teknologi Dolby Vision dan Dolby Audio. Satelit Hispasat digunakan sebagai penghubung dan mendistribusikan sinyal ke Barcelona dan Sevilla.

Siaran langsung ini, RTVE harus berkolaborasi dengan National Heritage dan The Royal House dan didukung oleh beberapa mitra seperti Dolby Loewe, LG, Cellnex, Albala, Abacanto, Grass Valley, Crosspoint, Moncada Y Lorenzo, Canon dan RTVE juga mempunyai mitra teknis Ateme yang  menyediakan encoder untuk membantu menghasilkan saluran video dan audio, termasuk metadata yang dinamis yang disediakan oleh peralatan dolby untuk menghadirkan dolby vision HDR. Red dari advance-television.com
 













Jakarta - Menyikapi dinamika atas hadirnya draf undang-undang penyiaran yang dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang lahir dari Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan bertugas mengatur hal-hal yang terkait dengan penyiaran, mempunyai pandangan sebagai berikut:

  1. KPI menilai kehadiran undang-undang penyiaran yang baru menjadi sebuah kemestian, mengingat undang-undang yang ada saat ini sudah tidak dapat mengakomodasi perkembangan teknologi informasi terbaru, sehingga muncul problematika di dunia penyiaran. Untuk itu, mengingat isu revisi undang-undang (RUU) ini sudah bergulir sejak tahun 2010, KPI berharap pembahasan RUU penyiaran tidak berlarut-larut dan dapat segera diselesaikan untuk disahkan.
  2. Masalah digitalisasi yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan pembahasan RUU ini, merujuk pada rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2014, KPI berpendapat bahwa apa pun pilihan terhadap pengelolaan penyiaran digital, harus mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan, dan efisiensi yang menjadi tujuan utama dari migrasi digital. Efisiensi tersebut diharapkan menghasilkan digital deviden yang dapat dialokasikan untuk penyediaan internet broadband guna pemenuhan hak masyarakat Indonesia akan informasi.
  3. Eksistensi  Komisi Penyiaran Indonesia sebagai representasi publik perlu diperkuat dalam undang-undang penyiaran yang akan datang. Penguatan itu meliputi perluasan kewenangan di bidang isi siaran serta tetap melibatkan KPI di dalam seluruh proses penataan infrastruktur penyiaran untuk mengontrol kaidah pokok demokratisasi penyiaran, yakni keberagaman kepemilikan (diversity of ownership).
  4. Sebagai representasi publik, maka KPI harus masuk dalam Badan Migrasi Digital, yang dalam draf RUU yang dibahas Baleg DPR RI hanya terdiri atas pemerintah, organisasi lembaga penyiaran, dan pemangku kepentingan. KPI juga mengkritisi keberadaan Organisasi Lembaga Penyiaran (OLP) dalam proses regulasi, seperti Badan Migrasi Digital dan Panel Ahli dalam penjatuhan sanksi. KPI menilai kehadiran OLP pada proses tersebut akan menimbulkan kesimpangsiuran antara operator dan regulator. Meski demikian, sekalipun harus ada pembatas yang tegas regulator dan OLP, tentunya regulator tetaplah harus mempertimbangkan aspirasi OLP sebagai operator. Mengenai keberadaan OLP dalam Panel Ahli, KPI melihat adanya potensi konflik kepentingan antara regulator dan operator, karena OLP adalah obyek yang akan dikenai sanksi.
  5. KPI menilai RUU harus memperkuat keberadaan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Implementasi SSJ merupakan bagian dari penerapan prinsip demokratisasi penyiaran yang mensyaratkan adanya diversity of content dan diversity of ownership. SSJ juga menjadi usaha memperkuat kebhinnekaan dengan merepresentasikan masyarakat, budaya, dan mengangkat perekonomian pada setiap daerah. Konsep cross culture  yang diajukan dalam RUU yang diusulkan Baleg DPR RI ini mengaburkan tujuan dari SSJ tersebut. Bahkan konsep cross culture dalam SSJ berpotensi melanggengkan kondisi sekarang, saat siaran Jakarta mendominasi seluruh wajah stasiun televisi jaringan, dan produksi siaran lokal yang seharusnya dapat menyerap SDM lokal pun tereduksi.
  6. Batasan siaran iklan sebanyak maksimal 30% menurut KPI dapat mengganggu kenyamanan publik sebagai pemilik frekuensi. Selain itu, meningkatnya proporsi siaran iklan berdampak pula pada keadilan ekonomi pada televisi lokal. KPI menilai harus ada distribusi iklan yang merata pada masing-masing lembaga penyiaran, tidak terpusat pada lembaga penyiaran tertentu saja.
  7. Mengenai iklan rokok, KPI mendukung rumusan yang diajukan oleh Komisi I DPR RI yang telah lebih dahulu dibuat sebelum pembahasan di Baleg DPR RI.
Audiensi KPI Pusat dengan – Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau (KNMSPT) soal Pelarangan Iklan Rokok di Lembaga Penyiaran, Senin (10/7/17).

 

Jakarta – Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau (KNMSPT) mendukung penuh langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam menegakkan sanksi terhadap semua bentuk iklan rokok yang melanggar. Hal itu disampaikan juru bicara sekaligus Koordinator KNMSPT, Ifdhal Kasim, saat melakukan audiensi dengan KPI Pusat, Senin (10/7/17).

“Kami mendukung kebijakan KPI untuk memberi sanksi pada iklan rokok yang melanggar dan jangan pernah ragu-ragu untuk melakukan hal itu,” kata Ifdhal Kasim yang diamini semua perwakilan koalisi yang hadir dalam audiensi antara lain YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), ICW (Indonesia Corruption Watch), HRWG (Human Rights Working Group), Raya Indonesia (Rumah Kajian dan Advokasi Kerakyataan), IISID (The International Institute for Sustainable Development's) dan MPKU (Majelis Pembina Kesehatan Umum).

Menurut Ifdhal, pemberian sanksi terhadap iklan rokok oleh KPI merupakan bentuk dukungan KPI terhadap penegakkan hak dasar masyarakat yakni memperoleh kesehatan yang baik dan pencegahan dari dampak buruk rokok. “Karenanya kami terus mengharapkan KPI dan berkomitmen untuk tegas memberikan sanksi teguran terhadap lembaga penyiaran yang off side dalam tayangan iklan rokok ini,” tegasnya.

Wakil Ketua KPI Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin, menanggapi hal itu menyatakan bahwa pihaknya selalu bekerja dan mengeluarkan sanksi dalam koridor peraturan yang ada yakni UU Penyiaran dan P3 dan SPS KPI tahun 2012. Karenanya, KPI akan tegas terhadap semua iklan rokok yang melanggar aturan meskipun dikemas dalam bentuk apapun.

Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono. Menurutnya, KPI masih menggunakan UU Penyiaran dan P3 dan SPS KPI dalam menegakkan aturan penyiaran khususnya siaran iklan rokok yang melanggar.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini mengatakan, pihaknya sudah mengeluarkan surat edaran tentang siaran iklan rokok yang dibungkus dalam bentuk konten beasiswa. Terkait hal itu, KPI Pusat telah memberikan sanksi teguran kepada lembaga penyiaran yang melanggar aturan terhadap aturan penayangan iklan rokok di lembaga penyiaran.

   

Dalam kesempatan itu, koalisi menyampaikan persoalan hilangnya pasal pelarangan iklan rokok dalam draft revisi UU Penyiaran yang dikeluarkan Badan Legislatif (Baleg). Menurut Virgo Sulianto Gohardi, Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, pihaknya sangat menyesalkan hilangnya aturan pelarangan iklan rokok dalam draft yang dikeluarkan Baleg tersebut. Padahal, revisi UU Penyiaran ini diharapkan menjadi payung hukum yang tegas terkait siaran iklan rokok di lembaga penyiaran.

“Di antara negara-negara di Asia, tinggal Indonesia saja yang belum meratifikasi aturan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Jika iklan rokok dilarang tayang di lembaga penyiaran, upaya ini dapat menekan perkembangan angka perokok sebanyak tujuh persen,” jelasnya.

Virgo bersama dengan perwakilan koalisi meminta KPI untuk ikut mendorong Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperjuangkan pelarangan iklan rokok di lembaga penyiaran dalam revisi UU Penyiaran. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.