Padang -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Asosiasi Desa Kreatif Indonesia (ADKI) melakukan sinergi dalam upaya pengembangan industri penyiaran digital di Indonesia. Sinergi saling menguatkan ini akan dituangkan dalam bentuk program yang muaranya menciptakan konten-konten kreatif dan berkualitas. 

Anggota KPI Pusat, Amin Shabana mengatakan, kolaborasi antara KPI dan ADKI memiliki tujuan yang sangat jelas. Selain itu, lanjutnya, kepentingan kolaborasi dengan ADKI ini karena industri penyiaran bagian dari industri kreatif nasional. 

“Harapannya, kedua lembaga ini bisa saling melakukan sinergi dalam bentuk program," ujarnya di sela-sela acara Pengembangan Eksosistem Penyiaran Digital yang diselenggarakan KPI Pusat di Gedung Bagindo Aziz Chan Youth Center, Kota Padang, Sumatera Barat, Jumat (15/3/2024). 

Terkait hal itu, Amin memandang persiapan ekosistem penyiaran digital menjadi sangat krusial dan harus dilakukan mulai dari hulu ke hilir. Artinya, perlu ada penguatan mulai dari regulasi hingga dukungan bagi para kreator konten.

Ketua ADKI, Fikri El Aziz, menggarisbawahi potensi besar yang dimiliki oleh desa-desa kreatif dalam menghasilkan konten penyiaran yang kreatif dan berkualitas. "Desa kreatif adalah masa depan bagi pariwisata desa. Desa kreatif merupakan bagian dari startup dengan konten-konten kreator yang dapat menghasilkan pemasukan di desa tersebut," ungkapnya. 

Dengan demikian, lanjut Fikri, kerjasama antara KPI dan ADKI diharapkan akan memperkuat pembangunan ekosistem penyiaran digital di tingkat lokal.

Praktisi Komunikasi Reno Reymond Okto, menyoroti pentingnya akses informasi sebagai tulang punggung bagi pemberdayaan masyarakat Indonesia. Menurutnya, kolaborasi antara pemerintah dan organisasi masyarakat sipil menjadi kunci dalam meningkatkan akses informasi publik yang benar dan tepat. 

"Tantangan-tantangan dalam mengakses informasi publik perlu diatasi melalui upaya bersama antara lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan publik," tuturnya.

Sementara itu, Anggota KPID Sumbar, Dasrul, memaparkan bagaimana peran penyiaran dalam eksplorasi budaya lokal. "Penyiaran dapat memperkenalkan, mempromosikan, dan mengangkat identitas budaya lokal melalui program-program yang menyoroti warisan budaya, tradisi, bahasa, dan seni lokal," katanya. 

Namun, lanjut Dasrul, ada beberapa hambatan yang perlu diatasi, seperti komersialisasi dan globalisasi konten serta keterbatasan sumber daya.

Dengan adanya sinergi antara KPI dan ADKI serta pemahaman mendalam akan peran penyiaran dalam mengangkat budaya lokal, diharapkan industri penyiaran digital di Indonesia dapat semakin berkembang secara berkelanjutan. Melalui kolaborasi yang kuat dan kesadaran akan pentingnya akses informasi dan eksplorasi budaya lokal, Indonesia dapat menjadi pusat kreasi dan inovasi dalam dunia penyiaran digital. Sehingga, cita-cita untuk meningkatkan kualitas dan konten penyiaran digital dapat terwujud dengan baik. Jun Jun/Foto: Agung R

 

Solo - Siaran keagamaan di lembaga penyiaran selayaknya mengedepankan muatan meningkatkan ketaqwaan dan keimanan bagi ummat muslim yang tengah menjalankan ibadah di bulan Ramadan. Salah satunya dengan menyampaikan materi-materi keislaman dengan narasumber yang kompeten dan sudah tersertifikasi oleh lembaga yang berwenang. Sedangkan terkait adanya perbedaan khilafiyah, sebaiknya lembaga penyiaran tidak mengekspos secara berlebihan perbedaan di masyarakat tersebut. Hal ini disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Ubaidillah, di sela kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang digelar di kota Solo, (14/3). 

Kita harus memahami, bahwa Indonesia ini beragam, ujar Ubaidillah. Untuk itu, adanya perbedaan khilafiyah dan furuiyah dalam agama juga harus dihargai, bukan untuk dieksploitasi sebagai materi siaran. Misalnya saja dalam penentuan awal Ramadan tahun ini sudah ada perbedaan dan itu sudah biasa terjadi di masyarakat kita. “Lembaga penyiaran tidak perlu mempertontonkan perbedaan tersebut, karena pada prinsipnya masing-masing organisasi masyarakat punya rujukan dan tuntunan hukum sendiri, yang diperbolehkan dalam agama,” terangnya.  

Lebih jauh Ubaidillah berharap, media juga dapat hadir sebagai penjernih atas perbedaan yang terjadi di masyarakat. Bahwa perbedaan ini adalah sunnatullah yang akan terjadi. Termasuk juga jika nanti dalam penentuan 1 Syawal ada yang berbeda, tetap disikapi dengan toleransi dan penghormatan. “Sebagaimana dalil yang ada, Ikhtilaful ummati rahmah,” ujarnya.

Senada dengan hal ini, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari juga mengimbau agar siaran keagamaan di bulan Ramadan berpijak pada pemahaman keislaman masyarakat Indonesia secara umum. “Sehingga, selain menguatkan hubungan kepada Allah pada usaha peningkatan ketaqwaan dan keimanan, juga menguatkan hubungan sesama manusia,” ujarnya. 

Abdul Kharis yang hadir sebagai narasumber GLSP berharap, siaran Ramadan di televisi dan radio turut menjaga situasi yang kondusif bagi masyarakat menjalankan ibadahnya secara optimal. “Bagi saya, tidak mungkin mendikte harus konten ini harus konten itu. Tapi silakan saja, asal tidak berseberangan dengan pemahaman sebagian besar umat islam seluruh Indonesia. Sifatnya lebih pada pendalaman apa yang sudah dipahami, kemudian juga memberikan penjelasan bagi mereka yang belum paham,” ujar politisi kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Lebih jauh dia menegaskan, KPI sebagai regulator punya aturan khusus yang harus diikuti lembaga penyiaran dalam pelaksanaan siaran di bulan Ramadan. 

Berkaitan dengan hal tersebut, KPI memang telah mengeluarkan surat edaran tentang siaran Ramadan yang  berisi lima belas poin arahan bagi televisi dan radio dalam mengelola program siaran di bulan puasa tersebut. Namun demikian, terang Ubaidillah, selain melakukan pengawasan dan pembinaan, KPI juga menyiapkan penghargaan pada program di televisi dan radio yang memiliki semangat menjaga kemuliaan bulan suci. Menurutnya, siaran Ramadan juga harus mengedepankan nilai-nilai silaturahim, toleransi dan kedamaian pasca pemilu dan kita semua tetap guyub dan utuh sebagai satu bangsa. 

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendukung langkah penyusunan strategi upaya sinergis dan komprehensif dalam usaha pencegahan dan penanganan pornografi oleh Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (GTP3) yang dipimpin oleh Kementerian Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan serta Kementerian Agama, beserta jajaran kementerian dan lembaga terkait. Salah satu langkah yang harus ditempuh menurut KPI adalah literasi digital dan sosialisasi konten penyiaran ramah anak dan perempuan, guna mencegah muatan pornografi menyisip di ruang siar. Hal tersebut disampaikan Evri Rizqi Monarshi, Anggota KPI Pusat Bidang Kelembagaan, usai menghadiri Focuss Group Discussion (FGD) Pelaporan dan Evaluasi GTP3 serta Perencanaan Program Kegiatan Tahun 2024, yang diselenggarakan oleh Kementerian PMK, (8/3). 

KPI sendiri, menurut Evri, sudah punya rambu-rambu yang tegas tentang pembatasan dan pelarangan konten pornografi di televisi dan radio, melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Ke depannya, Evri berharap, kerja sama dengan kementerian dan lembaga dapat dikuatkan dan direalisasikan, untuk menyasar kelompok masyarakat yang rentan terpapar pornografi. “Kita tidak ingin paparan konten pornografi semakin meluas dan merusak kualitas generasi muda bangsa ini, “ ujarnya. 

Dalam FGD tersebut, hadir juga perwakilan dari majelis keagamaan yang ikut bersuara untuk meningkatkan upaya pencegahan pornografi. Maria Advianti, dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkap, saat ini ada kesenjangan literasi penggunaan gawai telepon seluler di kalangan santri. “Kita tahu, dalam kehidupan pesantren terdapat larangan penggunaan telepon seluler,” ujarnya. Namun, saat santri pulang ke rumah, kuantitas penggunaan gawai ini meningkat tanpa diiringi pemahaman bagaimana memanfaatkan sesuai kebutuhan. “Jadi seakan ada gegar budaya di kalangan santri, ketika dapat mengakses telepon pintar,” tambah perempuan yang disapa Vivi ini. 

Sementara itu dari Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang diwakili oleh Pendeta Sonya mengatakan, pihaknya sudah punya kesepahaman dengan siber kreasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang ikut ambil bagian menyisipkan materi literasi digital pada setiap kegiatan PGI. Sonya juga bertanya soal sistem yang dibangun oleh GTP3, ketika jemaat gereja menemukan praktek pornografi di lingkungan. “Bagaiman mekanisme pelaporan dari masyarakat, saat menemukan aktivitas tidak pantas di lingkungan, seperti seks bebas atau kekerasan seksual,” ujarnya. Secara khusus Sonya juga bertanya pada Kemenkominfo terkait Virtual Private Network (VPN) yang dengan mudah didapat melalui playstore, sehingga memungkinkan untuk mengakses konten pornografi yang sebenarnya sudah diblock oleh pemerintah. 

Pada kesempatan itu, perwakilan dari Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo juga hadir menyampaikan pemaparan terkait tindakan pencegahan penyebaran pornografi di ranah digital. Beberapa hal yang terungkap adalah penolakan dari platform digital untuk menurunkan konten pornografi yang berasal dari luar negeri, dengan alasan konten seperti itu dianggap legal di negara asalnya. Sedangkan untuk konten pornografi yang berasal dari dalam negeri, platform digital masih mau memenuhi permintaan Kemenkominfo untuk “take down”.  

Pornografi sendiri, menurut Azimah Subagijo sebagai narasumber FGD, merupakan dampak ikutan dari reformasi di tahun 1998. Undang-Undang Pornografi hadir sebagai usulan inisiatif DPR di tahun 2006 dan baru disahkan pada tahun 2008.  Di forum tersebut, Azimah memaparkan alasan kenapa Pornografi itu berbahaya. “Salah satunya karena pornografi dibawa oleh media,  sehingga penyebarannya menjadi sangat luas, bahkan masuk ke dalam ruang-ruang privat dan keluarga,” ujarnya. Namun demikian, dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasionnal (RPJMN) salah satu tujuannya adalah terbentuknya keluarga berkualitas. “Musuh utama dari keluarga berkualitas adalah pornografi,” terangnya. 

Narasumber lain pada FGD adalah TB Chaerul Dwi Sapta sebagai Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintah Daerah III, Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Chaerul menegaskan, Kemendagri akan mengawal rencana program dan anggaran di daerah, termasuk untuk isu pornografi. Komitmen ini sudah tertuang dalam Peraturan Mendagri nomor 15 tahun 2023 tentang Pedoman Penyusunan APBD tahun 2024 yang menyebutkan, Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran dalam bentuk program, kegiatan dan subkegiatan terkait dengan pembangunan ketahanan keluarga dan gugus tugas pencegahan serta penanganan pornografi. Hal ini sejalan dengan Surat Edaran Mendagri tahun 2019 tentang pembentukan GTP3 di tingkat kabupaten/ kota yang bertanggungjawab kepada bupati/ walikota. 

Menutup FGD di hari itu, Mustikorini Indrijatiningrum selaku Asisten Deputi Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga mengungkap, tugas besar GTP3 yang terdekat adalah merealisasikan regulasi teknis yang menjadi turunan peraturan pemerintah. Diantaranya terkait aturan usia dalam pornografi, kebijakan dalam menyikapi konten yang dekat dengan pornografi, seperti konten dewasa namun belum secara eksplisit terkategori sebagai konten pornografi. Dia berharap, seluruh kementerian dan lembaga yang tergabung dalm GTP3 ini dapat senantiasa bersinergi dan berkolaborasi guna mengoptimalkan upaa pencegahan dan penanganan pornografi. 

 

Solo - Lembaga penyiaran diharap menjaga situasi yang kondusif pada bulan Ramadan dengan menghadirkan konten siaran mendukung suasana yang khusyuk bagi masyarakat beribadah. Di bulan ini, televisi dan radio diharapkan menghadirkan siaran religi yang mengedepankan prinsip Islam Rahmatan Lil ‘Alamin yang ada di Indonesia, sehingga sejalan juga dengan usaha peningkatan keimanan dan ketaqwaan di bulan mulia ini. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, usai penyelenggaran kegiatan Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat  dengan tema “Menjaga Kemuliaan Ramadan Melalui Kualitas Program Siaran, (14/3). 

Pesan dari Abdul Kharis ini, seiring dengan surat edaran yang dikeluarkan KPI Pusat tentang Pelaksanaan Siaran di bulan Ramadan tahun 2024. Dalam sambutan Ketua KPI Pusat Ubaidillah pada GLSP, lembaga penyiaran diharapkan memberi porsi yang lebih besar untuk siaran da’wah pada bulan Ramadan. Sebagai siaran yang menjadi ciri khas program di bulan Ramadan, program da’wah di televisi dan radio diminta menghadirkan narasumber yang kompeten agar tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Secara khusus, Ketua KPI meminta lembaga penyiaran juga memberi peliputan tentang usaha masyarakat yang marak saat bulan Ramadan. Harapannya, ekspos liputan media dapat membantu peningkatan perekonomian yang bergeliat di bulan puasa sekaligus mendorong pulihnya perekonomian pasca pandemi. 

GLSP sendiri, menurut Evri Rizqi Monarshi selaku anggota KPI Pusat bIdang Kelembagaan, menjadi ruang yang mendekatkan masyarakat dengan KPI selaku wakil publik yang juga regulator penyiaran. “KPI juga harus punya strategi agar dalam menjalankan kewenangannya sebagai regulator, tetap berkesesuaian dengan undang-undang agar konten siaran tetap sehat bermartabat sesuai dengan karakter dan budaya bangsa,” ujar Evri, selaku penanggungjawab kegiatan GLSP. 

Narasumber yang turut hadir dalam GLSP adalah Tulus Santoso selaku Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Asih Budiastuti dari KPI Daerah Jawa Tengah, serta Natasya Emilia Hidayat yang merupakan finalis AKSI Indosiar. Tulus mengungkap, setidaknya ada lima belas poin perhatian KPI dalam surat edaran tentang siaran Ramadan. Diantaranya tentang ekspos makanan dan minuman pada program kuliner yang diharapkan tidak muncul secara berlebihan dalam konteks penghormatan pada bulan Ramadan. Sedangkan terkait tampilan seksi dari para pembawa acara dan pengisi acara, diharapkan dapat dihentikan sejak bulan Ramadan ini. “Termasuk juga, tampilan laki-laki berpenampilan kewanita-wanitaan. Mudah=mudahan yang seperti tidak muncul lagi, bukan hanya dalam rangka penghormatan pada bulan Ramadan tapi juga perlindungan terhadap anak-anak dan remaja, “ujar Tulus. 

Terkait kualitas siaran televisi, KPI berkomitmen penuh untuk menjaga agar konten yang hadir di ruang publik selaras dengan tujuan diselenggarakannya penyiaran. Edukasi kepada publik, seperti GLSP, dilakukan KPI dalam rangka memberi pemahaman terkait hak mereka mendapatkan konten siaran yang positif. Jadi bukan sekedar sanksi yang dijatuhkan pada lembaga penyiaran, guna memaksa mereka memproduksi konten yang aman, ujarnya. Namun juga meningkatkan selera masyarakat atas konten siaran. “Harapannya, jika selera masyarakat membaik, maka program siaran yang berulang kali melanggar regulasi siaran akan hilang dari televisi dan radio,” terang Tulus.

Bagi siaran yang berkualitas, tentu KPI juga akan memberi apresiasi yang dalam setahun digelar tiga kali. Yakni, Anugerah KPI, Anugerah Syiar Ramadan dan Anugerah Penyiaran Ramah Anak. Penganugerahan ini merupakan bentuk penghargaan bagi lembaga penyiaran yang sudah bergiat menghadirkan konten siaran yang berkualitas.  Pada kesempatan itu, Tulus juga memaparkan rekomendasi program siaran di bulan Ramadan, dengan acuan penilaian tahun lalu. 

Beberapa pertanyaan disampaikan peserta GLSP pada narasumber. Diantaranya mekanisme pengaduan publik kepada KPI, jika menemukan konten siaran yang mengganggu. Pertanyaan lainnya adalah kemungkinan adanya aturan konten di media sosial mengingat adanya peningkatan konsumsi media melalui platform media sosial. Menanggapi hal ini, Abdul Kharis menjelaskan perkembangan penyusunan revisi undang-undang penyiaran yang tengah dibahas Komisi I DPR RI. “Perbedaan mendasar aturan yang tengah disusun dengan undang-undang saat ini adalah memuat pengaturan konten pada media baru,” ujarnya. Harapannya, sebelum usai masa bakti DPR RI periode 2019-2024, revisi undang-undang penyiaran dapat disahkan menjadi undang-undang yang baru. 

 

Jakarta – Menyambut pelaksanaan Hari Nyepi tahun 2024, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan surat edaran tentang imbauan tidak bersiaran pada peringatan Hari Nyepi di Provinsi Bali. Dalam surat edaran yang ditandatangani pada 6 Maret 2024 lalu, KPI mengimbau kepada seluruh lembaga penyiaran yang bersiaran dan/ atau merelay siaran di provinsi Bali, untuk tidak bersiaran pada Hari Nyepi yang jatuh pada Senin, 11 Maret 2024 mendatang. Penghentian siaran ini dimulai pada Senin, 11 Maret 2024 pukul 06.00 WITA sampai dengan hari Selasa, 12 Maret 2024 pukul 06.00 WITA. Hal ini disampaikan Tulus Santoso selaku Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, dalam kegiatan Ngobrol Penuh Inspirasi (NGOPI) yang dihelat KPI Pusat di bilangan Jakarta Selatan, (6/2) 

Tulus menegaskan, imbauan ini sebagai bentuk partisipasi dan juga penghormatan atas pelaksanaan Catur Brata Penyepian yang dilakukan umat Hindu Bali menjelang pergantian Tahun Baru Saka. “Untuk mendukung situasi yang kondusif bagi pelaksanaan ibadah tersebut, televisi radio diharapkan ikut ambil bagian menjaga kesucian pelaksanaan Hari Nyepi di provinsi Bali, “ujar Tulus.  

Penghentian siaran di provinsi Bali diharapkan dapat membantu meningkatkan kekhusyukan Umat Hindu Bali dalam menjalankan Catur Brata Penyepian lewat introspeksi dan kontemplasi. “Temasuk dengan memperbanyak doa dan usaha memperbaiki diri dalam menyambut tahun yang baru,” ujarnya. 

Lebih jauh, Tulus menegaskan, KPI juga akan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan imbauan ini. Tentunya, usaha lembaga penyiaran menaati imbauan yang merupakan bentuk penghormatan terhadap umat Hindu di Bali, akan menjadi bahan evaluasi dari KPI Pusat. “Pengabaian atas imbauan ini pun, akan menjadi pertimbangan dalam evaluasi tahunan KPI yang akan berlangsung dalam waktu yang tak lama lagi,” pungkasnya. 

 

Link: Surat Edaran

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.