Bekasi - Riset indeks kualitas program siaran televisi yang dilaksanakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat saling melengkapi dengan riset kepemirsaan yang sudah eksis lebih dahulu di industri penyiaran. Mengingat riset kepemirsaan pada prinsipnya hanya menghitung jumlah penonton dari sebuah siaran di televisi yang bahkan tidak berbanding lurus dengan kesukaan penonton terhadap siaran tersebut. “Nilai rating yang tinggi belum berarti pemirsa menyukainya,” ujar Hellen Katherina dari Nielsen Media saat menjadi pembicara Talkshow dalam Ekspos Hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode dua tahun 2021, (2/12). 

Karenanya, ujar Hellen, riset yang dilakukan KPI adalah melengkapi yang diukur oleh Nielsen selama ini, karena KPI menggali kualitas suatu program dengan beragam parameter yang konsisten sejak beberapa tahun lalu. Dalam talkshow yang dipandu oleh Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Hardly Stefano Pariela, turut hadir pula sebagai pembicara Sekretaris Jenderal Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Hery Margono dan Rektor Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Dr Erna Ernawati. 

Senada dengan Hellen, Hery menyetujui bahwa antara riset kualitatif dan riset kuantitatif harus saling mendukung dan melengkapi untuk memperbaiki ekosistem penyiaran di Indonesia. Yang terjadi saat ini sekarang, menurut Hery, adalah trade off. Program siaran yang memiliki kualitas tinggi justru iklannya sedikit. Sedangkan program yang kurang berkualitas justru pengiklannya banyak. “Ini yang tidak boleh terjadi,” ujar Hery. Seharusnya keduanya saling melengkapi dan tidak terjadi trade off.

Lebih lanjut Hery menilai butuh kesadaran kolektif dari pengiklan bahwa kualitas siaran itu penting. Hal ini dikarenakan menyangkut hajat hidup orang banyak. “Kualitas siaran itu adalah identitas bangsa. Kalau kualitasnya tidak bagus, maka identitas bangsa juga tidak bagus,” ujarnya. Jadi, kalau KPI melakukan penelitian yang fokus pada kualitas, harapannya Nielsen juga ikut menjadikan hasil riset KPI ini sebagai bahan pertimbangan pada konsumen. 

Di lain sisi, Rektor UPN Veteran berpendapat pentingnya literasi media sebagai upaya menstimulasi penonton untuk lebih cerdas dalam konsumsi media. Erna mengatakan, hasil riset KPI menunjukkan bahwa program siaran variety show, infotainment dan sinetron selalu berada di bawah standar. Namun realitasnya justru 60% penonton terhimpun dalam tiga program siaran ini. Karenanya Erna berpendapat harus ada komitmen dalam mengurangi iklan pada tiga program yang belum berkualitas ini.

Menyambut pendapat Rektor UPN, Hardly kemudian mengingatkan tentang perlunya sampel yang lebih besar dan lebih luas untuk riset kepemirsaan dari Nielsen Media yang selama ini menjadi rujukan lembaga penyiaran. Selama ini riset dari Nielsen diambil hanya dari sebelas kota besar di Indonesia. Padahal sebelas kota ini, belum tentu mencerminkan data kepemirsaan dari masyarakat Indonesia secara utuh. 

Menanggapi hal ini Hellen menjelaskan sesungguhnya Nielsen selalu mengomunikasikan pada pengguna data, bahwa angka dari riset kepemirsaan hanya mewakili sebelas kota yang menjadi representasi dari 25% populasi masyarakat. Kemudian Hellen mengungkap rencana besar Nielsen di tahun mendatang. “Ada dua inisiatif besar Nielsen untuk mendukung terciptanya ekosistem penyiaran yang lebih baik,”ujar Hellen. Pertama, di bulan Juli 2022 memperluas data untuk seluruh total Jawa urban, hingga mewakili 70% populasi masyarakat. Selanjutnya di bulan Januari 2023 akan merilis data total Indonesia urban. “Sehingga akan dapat dilihat perbedaan antara angka dari 11 kota dengan total Indonesia urban. Dan kita akan mendapat informasi serta insight baru untuk industri penyiaran,”terangnya.

Inisiatif Nielsen lainnya, ujar Helen, adalah mengeluarkan data pengukuran untuk siaran streaming. Hal ini untuk menghapus “missing piece” yang dirasakan sangat besar ketika realitas saat ini orang menonton tidak saja dari televisi tapi juga melalui telepon genggam. 

Rencana Nielsen dalam melakukan ekspansi kota sebagai sample pengukuran data merupakan terobosan yang sangat baik. Hardly menilai, penambahan kota riset dari Nielsen ini tentu akan berdampak positif pada televisi lokal yang harapannya juga ikut diukur performance-nya. Hal ini juga harus diikuti dengan adanya perluasan riset indeks kualitas program siaran televisi hingga seluruh wilayah Indonesia. “Termasuk juga melakukan riset terhadap lembaga penyiaran lokal di daerah,” ujarnya. 

Dalam talkshow tersebut, KPI juga mengundang perwakilan asosasi lembaga penyiaran untuk ikut memberikan tanggapan dan masukan atas hasil riset. Hadir dalam acara ini, Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil Tobing, Ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) Santoso, Wakil Ketua Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI) Deddy Risnandi, Ketua Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI) Eris Munandar, serta Ketua Asosiasi Siaran Televisi Streaming Indonesia (ASTSI) Irwan Setyawan. Foto: AR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.