Jakarta -- Potensi berita hoax politik dan juga covid-19 di media sosial menjelang berlangsungnya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada Desember mendatang diprediksi meninggi. Hal ini dikhawatirkan dapat menurunkan jumlah partisipasi masyarakat untuk memilih yang ditargetkan mencapai 77.5 persen.  

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengatakan salah satu upaya untuk meredam berita hoax terkait politik dan covid yakni dengan memanfaatkan lembaga penyiaran, TV dan radio. Berdasarkan data survey dari masyarakat telekomunikasi atau Mastel, saluran yang paling banyak menyebarkan berita hoax melaui sosial media. 

“Media kovensional seperti media cetak dan televisi persentasenya di bawah 9 persen. Bahkan, untuk radio sangat kecil angkanya jika dipersentase hanya 1,2 persen. Ini artinya media konvensional khususnya lembaga penyiaran jadi sebuah keniscayaan menjadi rujukan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan clear,” kata Nuning di sela-sela Rapat Koordinasi (Rakor) Pengawasan Penyiaran, Pemberitaan, dan Iklan Kampanye Pilkada 2020 di Lembaga Penyiaran yang diselenggarakan di Bandar Lampung, Lampung, Senin (19/10/2020).

Selain minim hoax, lanjut Nuning, belakangan ini media penyiaran  mendapat kepercayaan besar dari  masyarakat. Hal ini dibuktikan dari hasil survey EdelmenTrust yang mengkonfirmasi bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap media konvesional terus meningkat.

“Menurut survey itu, tingkat kepercayaan masyarakat tehadap media sosial semakin turun. Menilik hasil itu, saya sangat menekankan penyelenggara pemilihan untuk memanfaatkan media penyiaran sebagai media untuk sosialisasi, literasi kepemiluan dan kampanye. Media penyiaran ini juga sangat tepat dan baik sebagai media pendidikan politik dan jauh lebih efektif dibanding dengan media-media lainnya,” tegas Nuning di depan KPID, perwakilan Bawaslu dan lembaga penyiaran. 

Nuning juga menyampaikan, banyak keuntungan jika melakukan kerjasama dengan media penyiaran. Pasalnya, lembaga penyiaran yang sudah konvergensi dan memiliki jaringan media lain seperti link streaming, media on line, media sosial dan jaringan lainnya. 

“Ini jadi sangat strategis, tidak hanya di ruang khusus masyarakat pendengar radio atau pemirsa televisi saja misalnya, tapi juga akan menjangkau pengguna sosial media. Istilahnya, jika berkerjasama dengan lembaga penyiaran itu beli satu untung banyak. Jadi banyak ruang untuk sosialisasi,” tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Nuning menyoroti pendeknya waktu iklan kampanye di media penyiaran yang hanya 14 hari. Menurutnya, kondisi ini harus jadi kajian dalam pemilu atau pilkada berikutnya karena waktu 14 hari dinilai kurang intensif apalagi di masa pandemi covid19.

“KPI selalu mendorong agar penyelenggara Pemilu membuka ruang sosialisasi dan pendidikan politik tidak hanya 14 hari. Ini selalu kita dorong di awal-awal sebelum ada PKPU 11/2020 tentang kampnye . Pasalnya, pada saat pandemi sekarang, media sosialisasi dan kampanye lewat media penyiaran sangat aman dan juga jauh dari hoak. Media penyiaran dapat meminimalisir kerumunan dan kontak fisik berkerumun tapi targetnya dapat mencapai ribuan orang. Bahkan jika melibatkan teman-teman televisi jaringan, targetnya jadi lebih banyak,” kata Nuning. 

Dia juga mengusulkan pada penyelenggaraan Pilkada berikutnya agar spot iklan kampanye tidak harus 10 spot per-hari. Bisa dirata-rata menjadi tiga spot per-hari tapi dapat ditayangkan sepanjang masa kampanye. ***