Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai kampanye para calon peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2020 yang berlangsung pada masa pandemi Covid-19 lebih aman dilakukan di lembaga penyiaran, TV dan Radio. Selain efektif dan efisien, model kampanye melalui media ini sejalan dengan upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, dalam acara Jagong Budaya yang diselenggarakan Bawaslu Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, secara daring dengan tema “Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ponorogo Tahun 2020”, Rabu (19/8/2020) malam.

Selain itu, lanjut Nuning, ada empat keuntungan jika menjadikan media penyiaran sebagai medium utama pilkada di masa pandemik. Pertama, informasi bisa diterima dengan cepat dan tepat, yang berbeda dengan model konvensional. Kedua, informasi bisa diterima secara utuh, berimbang dan adil oleh seluruh masyarakat, sehingga bisa menutup ruang bagi terjadinya black campaign yang lazim terjadi pada proses kampanye secara konvensional ataupun melalui platform media sosial. 

“Ketiga adalah daya jangkau dan kepemirsaan yang luas sehingga memudahkan penyelenggara dan peserta pilkada menyampaikan informasi dan gagasan. Adapun yang ke empat, media penyiaran situ elalu diawasi dengan intesitas waktu 24 jam perharinya secara menyeluruh, integral, massif, dan secara langsung oleh KPI dengan juga mengikutsertakan masyarakat,” papar Nuning.

Bahkan, kata  Nuning, kampanye di media penyiaran dapat mendorong angka partisipasi masyarakat dan pembentukan pemilih rasional. Hal ini dimungkinkan berkat kualitas informasi yang ditayangkan secara adil dan berimbang, baik TV maupun radio.  

Dalam kesempatan itu, Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini membahas ketentuan mengenai kampanye dan sosialisasi pilkada 2020 yang menurutnya masih belum adaftif terhadap pademi. “Baru sebatas untuk memperhatikan protokol kesehatan saja,” ujarnya dalam diskusi. 

Nuning mengusulkan perlunya perbaikan terhadap aturan kampanye dan sosialisasi Pilkada 2020. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam kaitan iklan kampanye berdasarkan Pasal 65 UU No 10 tahun 2016 yang di fasilitasi penyelenggara melalui APBD yakni pertama perlu memberikan ruang bagi peserta pemilihan untuk beriklan secara mandiri yang disertai pengaturan dan pembatasan jumlah iklan yang ditayangkan. 

Kedua, masa kampanye di lembaga penyiaran sangat terbatas (14 hari) sebagaimana telah ditentukan di tahapan pilkada, sehingga perlu ditinjau ulang agar bisa dilaksanakan selama masa kampanye. “Debat yang difasilitasi KPUD hanya maksimal 3 kali, sehingga perlu diberikan penambahan frekuensi debat yang diselenggarakan TV atau radio atau pemerintah daerah dengan panduan dari penyelenggara Pemilu,” pinta Nuning.

Aturan kampanye Pilkada 2020 masih menggunakan model lama, termasuk kampanye di media penyiaran. Misalnya debat publik masih diberikan porsi tiga kali adapun penayangan iklan kampanye hanya dibatasi 10 kali selama 14 hari dan itu difasilitasi oleh penyelenggara pemilu melalui APBD. “Jika kerangka pikir new normal digunakan, maka yang paling mungkin untuk proses adaptasi ini adalah memaksimalkan media mainstream, TV-Radio, sebagai sarana pendorong partisipsi publik,” tandas Nuning.

Sementara itu, Anggota Bawaslu RI, Mochammad Afifuddin, menjelaskan mekanisme kerja lembaganya dan kerjasama dengan lembaga lain seperti KPI dalam mengawasi jalannya Pilkada 2020. Hal ini, katanya, adalah usaha untuk mencegah terjadinya potensi pelanggaran. “Saya sering mengistilahkan samudera pengawasan dalam kontek pencegahan itu sangat luas. Karena itu, hal ini butuh inovasi, kolaborasi dan kerjasama,” ujarnya seraya memastikan kerjasama dengan KPI berjalan dengan baik.  

Inovasi ini, lanjut Afif, bisa dilakukan dengan menggandeng budaya lokal dan hal ini dinilai efektif. Pasalnya, untuk mengajak orang masyarakat mau ikut memilih lebih mudah dengan bantuan orang yang dipercaya seperti pemuka agama, tokoh masyarakat hingga Ketua RT/RW. 

Dia menerangkan pentingnya tiga faktor yang tidak boleh hilang dalam proses pemilihan kepala daerah yakni penyelenggara, peserta dan pemilih. Menurutnya, ketiganya memiliki kaitan yang tidak bisa dipisahkan dan saling melengkapi. “Penyelenggara juga harus dipercaya dan jika masyarakat tidak percaya ini akan sangat berbahaya. Karena itu penting melakukan pengawasan terhadap prosesnya,”pintanya.

Dalam kesempatan itu, Anggota Bawaslu bidang Pengawasan dan Sosialisasi ini, menyoroti pentingnya penambahan aturan kampanye di media sosial dan media penyiaran. Pasalnya, aturan yang diterapkan dalam Pilkada sekarang masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Padahal, banyak celah yang perlu ditambal untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran. “Pengaturan di media sosial dan media penyiaran perlu ditambah,” tegas Afif. ***  

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.