Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah.

Jakarta -- Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di era kenormalan baru (new normal) akan berbeda dengan Pilkada sebelumnya. Jika dalam Pilkada sebelumnya kontestan dan konsituen dapat berinteraksi langsung dalam jumlah besar pada even kampanye terbuka, di Pilkada kali ini tidak dianjurkan atau dibatasi. Semua proses Pilkada harus sesuai protokol kesehatan dan keamanan penanganan Covid-19.

Hal itu memunculkan kekhawatiran sejumlah kalangan jika Pilkada 2020 akan sepi peminat alias partisipasi publik menurun. Pasalnya, model kampanye dengan format pembatasan sosial dinilai kurang efektif ketimbang kampanye secara tatap muka. Jalan keluar agar kekhawatiran tersebut tak terwujud adalah dengan memaksimalkan keberadaan media penyiaran, baik lokal maupun lembaga penyiaran berjaringan, dalam  proses kampanye dan sosialisasi Pilkada 2020.

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengatakan adalah sebuah keniscayaan, di tengah situasi pandemi Covid-19, media penyiaran (TV dan radio) menjadi pilihan untuk mengganti proses interaksi yang dibatasi pada Pilkada sekarang. Selain itu, media mainstream ini sangat efektif dan efisien dalam menyampaikan informasi ke masyarakat. Apalagi saat ini, kecenderungan tingkat kepemirsaan pada program televisi terus menanjak.

“Jika potret kepemirsaan media naik lalu ada kebutuhan untuk menyampaikan informasi dengan tetap menjaga keamanan protokol Covid-19, maka yang paling efektif dan efisien adalah melalui media penyiaran. Ketika mengumpulkan ribuan orang dilarang dan kita keluar juga dilarang maka pilihan untuk menggunakan media penyiaran dalam hal ini TV dan Radio menjadi satu keniscayaan,” tegas Nuning dalam diskusi  virtual yang diselenggarkan Kongres I DPP Gerakan Pemuda Nusantara dengan tema “Sinergi Gugus Tugas Pilkada Serentak 2020 dalam Meningkatkan Kualitas Pilkada Berbasis Partisipasi Publik dan Pengawasan Melalui Media Massa” di Jakarta, Senin (22/6/2020) malam. 

Selain dibutuhkan, lanjut Nuning, media penyiaran memiliki tanggungjawab lain dan harus dijalankan. Pertama, media penyiaran harus menyampaikan seluruh informasi Pilkada 2020 secara massif kepada masyarakat. Kedua, semua fakta Pilkada yang terjadi di era pandemi ini harus dihadirkan secara baik, berimbang dan adil oleh media.

Dia menjelaskan bagaimana wajah media penyiaran khususnya TV ketika masa Pemilu dan Pilkada berlangsung sebelumnya. Media digunakan untuk sosialisasi, debat dan kampanye politik para kontestan. Jika merujuk pada regulasi yang ada saat ini, maka hanya ada dua hal yang dapat dilakukan penyelenggara maupun peserta pemilihan di lembaga penyiaran yang pertama debat publik dan iklan kampanye di lembaga penyiaran.

Terkait aturan tersebut, Nuning mengingatkan agar dapat dipikirkan kembali. Menurutnya, peraturan pengganti undang-undang (Perpu) tidak mengatur tentang kampanye secara detail, tetapi hanya mengatur tentang penyesuaian tahapan dengan kondisi pandemi Covid-19. Sehingga perlu dipikirkan tentang membuka ruang sosialisasi dan kampanye. Pelaksanaan debat publik hanya tiga kali pun demikian dengan penayangan iklan kampanye yang hanya 10 kali dan difasilitasi oleh penyelenggara Pemilu berbasis APBD.

“Ini kami nilai sangat kurang jika kita ingin meningkatkan partisipasi publik dan memberi kesempatan pada para peserta untuk berinteraksi dengan konsituennya. KPI berharap bahwa debat yang dilakukan pada saat Pilkada tidak hanya tiga kali namun bisa hingga lima kali seperti Pilpres karena di masa pandemi yang tidak bisa bertemu langsung dengan masyarakat maka hal ini bisa menjadi kegiatan yang efektif dan lebih efisien,” jelas Nuning.

Dalam kesempatan itu, Nuning berharap ada penguatan regulasi penyiaran Pilkada. Selain juga penting meningkatkan optimalisasi fungsi lembaga penyiaran termasuk memprioritaskan lembaga penyiaran lokal dalam menyampaikan pesan Pilkada 2020. “Karena ketika bicara target audience, lembaga penyiaran lokal dan siaran stasiun jaringan lebih terukur dan efisien untuk sasaran target,” pintanya.

Kualitas demokrasi jangan tereduksi

Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Saan  Mustofa, salah satu narasumber diskusi, menyoroti komitmen penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah masa pandemi. Komitmen itu, terkait jaminan keselamatan dan kesehatan penyelenggara, pemilih dan peserta.  Selain soal kesehatan, dia meminta situasi pandemi ini jangan sampai mereduksi kualitas demokrasi di tanah air. 

“Kualitas demokarsi Pilkada di tengah pandemi harus tetap terjamin, prinsip-prinsip demokrasi harus terlaksana dengan baik, transparansi  dan akuntabilitas di semua tahapan harus berjalan dengan baik. Dan yang paling penting juga bagaimana meningkatkan tingkat partisipasi pemilih, jangan sampai pada masa pandemi sosialisasi justru kurang sehingga berimplikasi pada partisipasi pemilih. Hal-hal seperti ini harus diyakinkan oleh pemilih dan dapat disosalisasikan oleh semua pihak, sehingga masukan dari KPI untuk menambah frekuensi debat terbuka akan diperhatikan di Komisi 2,” ujar Saan Mustofa.

Anggota Bawasalu RI, Muhamad Afifuddin, menekankan pentingnya pengawasan kampanye di media penyiaran. Hal ini untuk memberi keadilan dan keberimbangan bagi semua peserta pemilu. “Ini harus kita kawal. Apalagi prakteknya di televisi lokal atau media penyiaran daerah kadang-kadang  di luar jangkauan kita, karena pilkada di daerah. Maka harus ada kolaborasi dengan banyak kawan termasuk GPN sangat penting dalam kontek pencegahan, pengawasan dan sosialisasi. Semua harus terlibat,” pintanya. 

Sementara itu, Anggota KPU, Raka Sandi, penyelenggaraan Pilkada dalam masa pandemi merupakan hal yang baru dan memerlukan persiapan khususnya dijajaran penyelenggara. Menurutnya, yang  terpenting dalam Pilkada dalam masa pandemi ini adalah bagaimana publik atau masyarakat secara umum percaya pada Pemilu atau Pilkada. “Bagaimana penyelenggara Pilkada dapat menjamin prinsip-prinsip yang demokratis dan bagaimana aspek-aspek kesehatan dan keselamatan bisa dijaga dan terjamin,” tandasnya. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.