Medan - Program berita di televisi masih sangat terlihat adanya kecenderungan afiliasi pada pilihan politik pemiliknya. Hal tersebut dianggap membuat pemberitaan di televisi hanya mempertajam polarisasi dan segmentasi masyarakat. Itulah swbagian dari catatan para panelis ahli dalam Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi saat membahas program siaran berita, dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (FGD) Panel Ahli di Medan, (23/5).

Muba Simanihuruk, sosiolog dari Universitas Sumatera Utara, salah satu panel ahli dalam FGD tersebut menyatakan, dirinya melihat adanya kecenderungan pemberitaan di televisi terlihat seragam. “Meskipun ada beragam televisi, tetapi pada dasarnya isinya sangat seragam,” ujar Muba. Muba juga melihat adanya kecenderungan televisi melakukan kapitalisasi polarisasi masing-masing kubu, yang disebabkan adanya koalisi dari pemilik televisi dan pimpinan partai politik.

Muba memahami bahwa televisi sulit menghindar dari keberpihakan. “Tapi basic true harus jelas disampaikan,” ujarnya. Tak heran kalau kemudian banyak yang merasa bahwa televisi menyajikan kebohongan secara telanjang pada publik. Muba pun mempertanyakan standar kompetensi dari para jurnalis di televisi, karena sangat terlihat jelas biasnya pemberitaan.

Adanya keberpihakan dalam pemberitaan di televisi juga diamini oleh panel ahli lainnya, Marina Azhari Nasution selaku praktisi media yang juga dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan. Dalam penilaiannya atas sample tayangan program berita, Marina memaparkan adanya keberpihakan tersebut. Catatan lain dari Marina adalah prinsip cover both side yang tidak lagi dilaksanakan dengan konsisten, narasumber yang tidak selalu ada, bahkan acap kali tidak lengkap 5W+1H-nya. “Anehnya, ketiadaan nara sumber justru pada pemberitaan  tentang kepentingan publik seperti berita bencana alam,” ujar Marina.

Marina juga menunjukkan pula program-program berita mana saja yang punya kecenderungan pada partai politik yang terafiliasi dengan pemilik televisi. “Media memang beragam, tapi apakah berita juga beragam?” tanya Marina. Selain itu Marina juga mencatat bahwa sudah ada televisi yang menyuarakan kelompok masyarakat yang tidak dapat bersuara, voice of the voiceless. Namun sayangnya masih berdurasi pendek saja.

Jika dikaitkan dengan kondisi sosial politik terkini Muba menilai hal ini ada kaitannya dengan akumulasi kebencian terselubung yang dibangun bertahun-tahun oleh media. Dia berharap agar pengelola televisi melakukan filter yang berlapis dalam menyajikan berita di tengah publik. Dengan demikian televisi tidak sekadar informatif, tapi juga memberikan edukasi pada publik, yang melampaui kepentingan politik dan kelompok. Nauli

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.