Pertengahan tahun 2016 menjadi hari-hari yang panjang bagi Komisioner KPI Pusat Periode 2013-2016 dan Periode 2016-2019. Bagaimana tidak, hampir tiap pekan KPI dipanggil Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh Komisi I DPR RI perihal evaluasi 10 tahunan 10 televisi berjaringan yang akan memperpanjang Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP)-nya. Penilaian DPR hampir seragam bahwa televisi masih belum mampu menjalankan amanahnya sebagai pengguna frekuensi milik publik. Hal itu gamblang terlihat dari keberpihakan televisi dalam event politik, baik Pemilu Legislatif (Pileg), Pemilukada maupun Pemilu Presiden (Pilpres). DPR menilai, layar kaca keruh oleh adu kepentingan pemiliknya yang partisan.

Belajar dari sengkarut itu, maka DPR meminta KPI melaporkan evaluasi tahunan kinerja televisi berjaringan. Laporan tahunan ini diharapkan akan menjadi metode evaluasi baru yang lebih rigid dan bisa diketahui perkembangannya tahun ke tahun. Keinginan Dewan itu diakomodir oleh Kementrian Kominfo melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor 18 tahun 2016 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran. Gayung pun bersambut, terhitung sejak 2017, saban tahun KPI melakukan evaluasi tahunan televisi berjaringan.

Dalam evaluasi kinerja televisi, KPI menggunakan parameter meliputi kepatuhan atas UU, P3SPS dan Komitmen Televisi yang dibuat jelang perpanjangan IPP. Regulasi dan komitmen itu kemudian diturunkan menjadi beberapa variabel penilaian antara lain; penegakan internal P3SPS, konsistensi format siaran, prinsip independensi netralitas dan keberimbangan, kaitan siaran program iklan politik dengan kepemilikan, pemenuhan presentase waktu siaran iklan Layanan Masyarakat (ILM), sanksi KPI, apresiasi KPI dan pemenuhan atas ketentuan sistem siaran berjaringan (SSJ).

Tiga Unsur Penilaian Utama
Dari variabel tersebut  ada 3 unsur yang menjadi penilaian utama; yakni. Satu, televisi harus mempunyai standar dan prosedur (S&P) dalam menjalankan kegiatan siarannya. S&P itu meliputi standar dalam produksi program, baik program jurnalistik maupun non jurnalistik. Di negara negara maju, S&P ini lazim jadi pedoman dasar yang harus dijalankan oleh segenap awak media dalam kegiatannya. Dengan pedoman yang rinci, setiap awak media akan dipandu membuat program yang bagus dan benar. Dengan begitu kualitas program dan jurnalistik sebuah televisi tidak bergantung pada orang per orang namun pada prosedur baku yang dimilikinya. Ini akan menjamin konsistensi media dalam jangka panjang. Dua, prinsip independensi, netralitas dan keberimbangan. Parameter ini menjadi isu utama dalam perpanjangan izin penyiaran. Sebuah televisi selain diharapkan mempunyai S&P yang mengatur perihal independensi dan netralitas, juga harus mempunyai gugus tugas yang mengawasi pelaksanannya. Dalam media modern, gugus tugas itu idealnya berbentuk ombudsman media yang susunan pengurusnya terdiri dari internal dan eksternal perusahaan. Tiga, Implementasi sistem siaran berjaringan (SSJ). Sesuai amanat UU Penyiaran, hanya ada 2 sistem penyiaran nasional di Indonesia, yaitu LP jaringan dan LP Lokal. Pada LP jaringan mereka diwajibkan minimal bersiaran lokal 10 persen dari waktu siaran pada anak jaringannya. Dengan kata lain, anak jaringan tidak sepenuhnya boleh hanya menjadi stasiun relay dari induknya. Selain pemenuhan minimal 10% konten lokal, penilaian sistem siaran jaringan (SSJ) juga meliputi jam tayang konten lokal, lokalitas konten dan SDM lokal.

Sistem penilaian KPI dalam evaluasi ini didasarkan pada hasil pemantauan KPI, dokumen yang diserahkan oleh televisi dan kroscek pemantauan yang dilakukan oleh KPID seluruh Indonesia. Obyek yang dinilai adalah 14 televisi jaringan yang secara rutin dipantau oleh KPI Pusat, yaitu RCTI, SCTV, ANTV, Indosiar, MNC TV, GTV, TV One, Metro TV, Trans TV, Trans 7, INews TV, Kompas TV, Net TV dan RTV.

Hasil Evaluasi Jauh Dari Ideal
Hasil evaluasi KPI, hampir semua televisi sudah mempunyai S&P sebagai panduan internal dalam pembuatan dan penayangan program. Bentuk S&P masih beragam dan secara umum belum detail mengatur tata cara produksi dan standar kualitas yang ditetapkan oleh televisi. Ada yang sudah relatif bagus membuat S&P menjadi buku paket praktis yang detail namun ada juga yang hanya membuatnya dalam beberapa lembar dokumen yang berisi instruksi umum. Idealnya sebuah S&P berisikan petunjuk detail mengenai visi program sebuah televisi hingga detail standar dan teknis pembuatan hingga penayangan programnya. Ia adalah hasil kristalisasi semua regulasi yang ada sekaligus mengawinkannya dengan cita ideal program di televisi tersebut.

Terkait pedoman penyiaran politik hampir semua televisi belum mempunyai pedoman dan belum membentuk gugus tugas (task force), sejenis ombudsman media, yang menjadi pengawas pelaksanaan pedoman itu. Hampir semua televisi juga belum memiliki kebijakan internal yang melarang siaran iklan politik yang berkaitan dengan pemilik dan kelompoknya. Bahkan hingga kini beberapa televisi masih saja menyiarkan iklan politik pemilik dan kelompoknya. Hal ini tentu menjadi rapor merah bagi televisi terkait dengan komitmen perpanjangan IPP setahun lalu.

Dalam pelaksanan SSJ pun televisi masih compang-camping dalam melaksanakannya. Dari 14 televisi yang dinilai, hanya 4 televisi yang memenuhi durasi minimal 10% jam tayang siaran lokal tiap harinya. Selain itu hanya 7 televisi yang memenuhi alokasi jam tayang di waktu produktif alias bukan di jam “hantu”. Secara umum tafsir “lokalitas”nya pun masih beragam. Ada televisi yang menyiarkan program yang sebenarnya nasional, tapi di klaim lokal dengan dalih “cross culture”.

Secara keseluruhan, kepatuhan atas regulasi dan komitmen yang mereka buat, ke-14 televisi memang masih jauh dari ideal. Evaluasi tahunan ini setidaknya menjadi lampu kuning bagi televisi untuk terus berbenah sebelum jatuh tempo perpanjangan izin agar tak lagi memantik kegaduhan seperti tahun kemarin. Televisi harus makin menyadari bahwa sebagai industri padat modal mereka harus melindungi investasinya dengan cara sepatuh mungkin dalam melaksanakan regulasi. Disisi lain, amanah frekuensi dari publik harus didayagunakan buat mendorong arah peradaban bangsa kita menuju lebih baik. Lantas jika medianya sendiri malas berbenah, karakter masyarakat seperti apa yang hendak kita ciptakan?


Layaklah jika antologi puisi Hamdi Akhsan ini kita jadikan renungan di akhir tulisan ini;

Tuhan Tuhan baru bermunculan di bumi
Atas nama sihir peradaban
Wajah wajah tanpa dosa terpaku
Dengan layar televisi di depan
Dimana engkau wahai ayah bunda, yang miskin keteladanan
Yang ada hanya harta telah dipertuhankan.......

Oleh: S Rahmat M Arifin

Wakil Ketua KPI Pusat

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.