Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengajukan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan gugatan Partai Berkarya dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia atas Surat Edaran KPI tentang larangan Iklan Politik di media penyiaran.  Atas putusan PTUN tertanggal 3 Oktober 2017 yang menganulir Surat Edaran KPI nomor 225/K/KPI/31.2/04/2017 tersebut, KPI yang merupakan wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran menilai putusan tersebut mencederai kepentingan publik sebagai pihak yang paling berhak atas penggunaan frekuensi. Pengajuan banding KPI telah disampaikan pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) pada 13 Oktober 2017.

Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Dewi Setyarini menjelaskan, berdasarkan pantauan KPI dalam kurun waktu tahun 2016 hingga tahun 2017 terdapat beberapa lembaga penyiaran yang sangat gencar menayangkan iklan terkait politik, maupun mars/hymne politik. Dari sampel tayangan yang diolah KPI pada tahun 2016, mars atau hymne politik tersebut tayang rata-rata 6 sampai 9 kali dalam sehari dengan durasi sekitar 60 (enam puluh) detik.

Seringnya iklan terkait partai politik tersebut tayang di media penyiaran yang pemiliknya berafiliasi langsung dengan pimpinan partai politik yang beriklan, telah menimbulkan keresahan masyarakat. Hal tersebut disampaikan melalui berbagai jalur pengaduan ke KPI dengan meminta agar tayangan iklan partai politik dihentikan. “Data di KPI menunjukkan antara Juli hingga November 2016 saja terdapat sekitar 108 pengaduan yang disampaikan baik melalui twitter, facebook, email, maupun SMS,” ujar Dewi.

Surat Edaran tentang pelarangan Iklan Politik yang menjadi obyek sengketa tersebut, diterbitkan dalam rangka menjaga agar penyiaran yang menggunakan frekuensi publik, dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok tertentu ataupun kepentingan pemilik, sebagaimana tertuang dalam regulasi penyiaran.

Pasal 36 (4) UU No. 32 tentang Penyiaran menyatakan bahwa “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”, pasal 11 Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) ayat 1 menyatakan, “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kemanfaatan dan perlindungan untuk kepentingan publik”, dan ayat 2 “lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran”.

Begitu pula pasal 11 Standar Program Siaran (SPS) ayat 1 menyatakan bahwa “Program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan publik dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu”, dan ayat 2 menyatakan bahwa “Program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemiliki lembaga penyiaran bersangkutan dan/atau kelompoknya.

Sebelum dikeluarkannya Surat Edaran, KPI telah melakukan beberapa upaya, antara lain klarifikasi terhadap lembaga penyiaran yang menayangkan iklan dan atau mars/hymne partai politik, menerbitkan surat peringatan, hingga memberikan Teguran Tertulis pertama kepada lembaga penyiaran tersebut untuk menghentikan penayangan iklan atau mars/hymne terkait partai politik. Namun demikian, beberapa lembaga penyiaran tetap menayangkan iklan dan atau mars/hymne tersebut.

KPI menilai dalil gugatan yang disampaikan sangatlah keliru karena Surat Edaran ditujukan kepada lembaga penyiaran yang pengawasannya merupakan wilayah kewenangan KPI, dan bukan ditujukan kepada partai politik. Untuk itu KPI menilai bahwa penggugat yang merupakan partai politik tidak memiliki kepentingan untuk mengajukan gugatan TUN terhadap obyek sengketa.

KPI berpendapat surat edaran ini tidaklah menyebabkan usaha pendidikan politik pada masyarakat tercederai karena adanya pembatasan dan pelarangan.  Partai politik tentunya memiliki kebebasan untuk melakukan pendidikan politik pada rakyat dalam bentuk lain, selain penayangan iklan ataupun mars/hymne di televisi dan radio. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, iklan partai politik tidaklah termasuk dalam pendidikan politik.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.