Jakarta – Apakah anda semua setuju dengan ajakan untuk menghentikan segala bentuk tayangan kekerasaan. Dan, menghentikan semua bentuk kekerasan tersebut dimulai dengan menyetop isi pemberitaan tentang kekerasan.

Ajakan tersebut disampaikan Stanley Adi Prasetyo, Anggota Dewan Pers, dalam makalahnya yang berjudul “Siaran Kekerasan dalam Perspektif Etika Jurnalistik” pada workshop Standar Kelayakan Siaran Bermuatan Kekerasan dalam Program Jurnalistik yang diselenggarakan KPI Pusat, Kamis pekan lalu, 10 Oktober 2013.

Menurut Stanley, ajakan tersebut bagian dari moratorium bersama dengan juga memperketat kepatuhan pelaksanaan KEJ (Kode Etik Jurnalistik) dan P3 dan SPS KPI, memperketat fungsi pengawasan dan pembinaan dari Dewan Pers dan KPI, memproses dan memublikasikan pelanggaran yang terjadi kepada masyarakat luas, mendorong munculnya media watch dan melakukan media literasi.

Didalam makalahnya, Stanley menjelaskan jika masyarakat tidak pernah mengetahui apakah tayangan kekerasan tersebut berbahaya atau tidak. Bagi masyarakat, tayangan kekerasan di televisi hanyalah sebuah hiburan dan tidak membahayakan. Memang benar, itu hanyalah sebuah tayangan dan sama sekali tidak berbahaya. Namun, dibalik tayangan kekerasan itu, kita bisa saja mencontoh apa yang dilakukan oleh pelaku-pelaku kekerasan di televisi.

Menurut Stanley, anak-anak tidak bisa dibiarkan dengan menyaksikan tontonan seperti itu. Jika terlalu sering, ada kemungkinan mereka akan merasa terbiasa dengan tindak kekerasan dan bukan tak mungkin anak-anak akan melakukan peniruan tindak kekerasan tanpa rasa takut.

Apa yang disampaikan Stanley terkait bahaya pemberitaan kekerasan tidak lepas dari kondisi yang ada di masyarakat kita yang mudah dipengaruhi. Bagaimana pun, pengaruh media terhadap masyarakat sangat kuat karena memang media punya kekuatan besar itu.

Harusnya  media tidak boleh melupakan fungsi institusi sosialnya yakni ikut bertanggungjawab menjaga tatanan sosial, medidik masyarakat, bukan sekedar memberikan informasi tapi tidak mendidik. “News judgement banyak ditinggalkan oleh media kita demi mengejar rating dan prestise yang muaranya pada satu tujuan yakni keuntungan,” papar Stanley dalam presentasinya.

Sementara itu, di tempat yang sama, Priyambodo, Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) menekankan penerapan standar kompetensi wartawan dan program melek media. Menurutnya, kedua program sudah bukan menjadi wacana tapi harus diwujudkan. Red

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.