Anak dan Godaan Media

Sebuah Ikhtiar untuk Konsep Informasi Layak Anak (ILA)

 

Oleh : Alwi Sagaf Alhadar

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Maluku Utara

Lebaran hari kedua, saya dan keluarga manfaatkan waktu untuk kunjungi sanak- saudara serta handai tolan. Menyambung tali silaturahmi sambil bermaaf-maafan di hari nan fitri. Terakhir, sebelum kembali ke rumah, kami sambangi rumah salah satu teman yang miliki dua orang anak yang masih kecil. Suasana ceria dan girang pun terbangun di rumahnya  yang bergaya minimalis nan asri.

Cukup lama kami tak berjumpa, akibat kesibukan masing-masing. Tampak di atas meja ruang tamu tersaji aneka kue lebaran serta minuman ringan (bersoda)  yang sebenarnya tak terlalu saya sukai. Saat lagi asyik bercerita sambil senda gurau, tiba-tiba dua putra teman saya itu saling kejar-kejaran. Kemudian diam sejenak sambil berhadap-hadapan. Lantas mereka mengaum layaknya suara harimau. Keduanya saling bersahut-sahutan dengan nada suara tinggi.

Episode selanjutnya kedua bocah itu saling cakar-mencakar. Menerkam, kemudian saling membanting. Yang jadi korban justru kue dan gelas minuman ringan tadi. Jatuh berhamburan di lantai. Sebab kaki meja di ruang tamu itu kena terjangan kaki salah satu bocah. Suasana ceria pun berubah gaduh. Terjadi “kerusuhan” dalam skala kecil. Yang aneh, bukannya melerai. Istri teman saya ini justru tertawa terbahak-bahak melihat ulah kedua anaknya peragakan adegan laga. Mirip  cerita sinetron yang lagi ditayangkan setiap malam di layar kaca salah satu stasiun TV swasta nasional. Bisa jadi ia berharap kelak dewasa sang anak akan menjadi jawara silat atau tinju? Wallahu’alam.

Kisah di atas menggambarkan betapa kuatnya pengaruh siaran televisi terhadap jiwa, sikap, dan tingkah laku anak dalam kehidupan sehari-hari. Hasil pengamatan banyak pihak menyebutkan, media massa termasuk media penyiaran (televisi) dinilai punya andil besar terkait meningkatnya kasus kekerasan antar-anak. Mungkin Anda masih ingat sebuah peristiwa tragis. Seorang bocah bernama Valentino, berumur 5 tahun, melompat dari lantai 19 sebuah apartemen di Jakarta. Ia berhalusinasi ingin terbang sambil menggunakan baju sang idolanya, tokoh fiksi, Superman. Namun, sayangnya ia terhempas ke  halaman lantai dasar apartemen  dan tewas seketika. Sungguh menyedihkan!

Dampak Buruk Media

Masih banyak kejadian serupa yang telah memakan korban sia-sia. Mungkin itu pula  yang membuat teman saya,  seorang dosen di salah satu universitas swasta di Kota Ternate, sama sekali tak mau menyediakan perangkat televisi di rumahnya. Menurut sang dosen, anak-anaknya masih kecil. Ia khawatir pengaruh buruk media audio-visual ini mengganggu perkembangan psikologis mereka. Namun saya sempat bingung dengan apa ia dan istrinya mendapatkan informasi. Mungkin saja ia berlangganan surat kabar, mendengar radio, atau mengakses internet.

Intervensi media, khususnya televisi terhadap masyarakat kita, sudah tak terhindarkan lagi. Terlebih bagi kehidupan anak. Langsung maupun tak langsung dampaknya telah mempengaruhi pola hidup dalam keseharian mereka. Lihat saja, bagaimana kadang anak kita berbicara, berpakaian, bersikap, dan berperilaku cenderung meniru tayangan televisi yang mengesankan hatinya. Terkadang tanpa disadari tontonan itu mengandung unsur kekerasan  serta  mengarah ke pornografi yang berdampak negatif bagi diri maupun lingkungannya. 

Dalam pasal 36 ayat 3 Undang Undang Penyiaran RI Nomor 32 Tahun 2002 jelas menyebutkan isi siaran wajib melindungi anak-anak dan remaja. “Isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.”  Namun ironisnya saat ini tak banyak media  penyiaran yang peduli untuk membuat program acara yang berpihak ke anak. Mereka hanya kejar rating dan sisi komersil saja guna mendulang antrian iklan niaga.

Mungkin di antara kita ada yang berpendapat bahwa pergaulan anak di luar rumah harus diawasi. Serta dipantau terus-menerus. Namun kita lupa, musuh yang sebenarnya justru berada dalam rumah kita sendiri. Atau sering disebut musuh dalam selimut. Siapa yang tidak sayang anak.  Menyediakan perangkat televisi di kamar tidur anak – menurut saya – justru menjerumuskan sang anak ke alam  halusinasi yang berkepanjangan.

Informasi Layak Anak

Dalam konteks pemenuhan hak anak, informasi yang layak bagi anak adalah berupa informasi dalam bentuk lisan, tulisan, dan visual maupun isyarat yang sifatnya pantas, tak mengandung unsur pornografi, diskriminasi, pelecehan,  dan destruktif terhadap nilai agama dan norma sosial. Di tengah derasnya arus dan terpaan informasi yang bertebaran dimana-mana, kita seakan dihadapkan pada suatu dilema.

Di satu sisi informasi adalah kebutuhan dan hak anak untuk memperolehnya. Namun di sisi lain kita harus membentengi anak agar terhindar dari pengaruh negatif informasi itu sendiri. Harus ada suatu wadah konstruktif guna mengintegrasikan berbagai  arus informasi yang layak bagi mereka. Mengembangkan kreativitas dan inovasi bagi masa depan anak. Serta tak kalah pentingnya, yaitu sediakan informasi untuk memperkuat karakter mereka di era borderless ini. Last but not list, siapkan pula suatu wadah bersosialisasi bagi anak, serta alternatif pemanfaatan waktu luang mereka. 

Berbagai regulasi terkait pendampingan serta bimbingan terhadap anak sudah diundangkan di tingkat negara. Begitu juga dengan aneka norma sosial yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat sejak lama telah menyatu dalam pola kehidupan sehari-hari. Namun yang paling penting adalah peran orang tua di dalam keluarga. Bagaimana bisa mengatur kapan dan berapa lama anak boleh menonton televisi. Mendampingi mereka saat menonton layar kaca, serta kapan menggunakan internet, serta konten apa saja yang bisa diakses oleh anak.

Generasi Unggul

Bangsa yang unggul adalah bangsa yang sadar akan masa depan generasi pelanjut, serta mempersiapkan mereka secara terukur. Momentum penting ini bisa tercapai jika kita (orang tua dan guru) mau menghormati dan menjamin hak-hak anak tanpa diskriminasi. Selain itu memberikan yang terbaik bagi mereka.  Menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta menghargai pendapat mereka.

Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Perkataan futuristik ini, kini terbukti dan diakui oleh para pakar ilmu pendidikan dan ahli psikologi. Lebih jauh pria yang mendapat gelar “pintu ilmu” ini mengkategorikan cara memperlakukan anak pada tiga kelompok umur. Berawal dari 7 tahun pertama (usia 0 – 7 tahun), perlakukan anak sebagai raja. Berikutnya, 7 tahun kedua (usia 8 – 14 tahun), perlakukan anak sebagai tawanan. Terakhir, kelompok 7 tahun ke tiga (usia 15 – 21 tahun), perlakukan mereka sebagai sahabat.

Suatu bangsa akan maju dan sejahtera, bila generasi pengganti lebih baik dari generasi yang diganti. Mimipi besar dan cita-cita mulia kelak akan kita gapai. Kuncinya terletak pada keseriusan kita membina, membimbing,  dan mengarahkan anak-anak kita ke arah jalan yang benar. Dan ini adalah tanggung jawab sejarah generasi sekarang. Menjadikan anak Indonesia sehat, kreatif, unggul, serta berahlak mulia.(#)

* Artikel ini disampaikan pada Forum Sosialisasi  Informasi Layak Anak (ILA),  pelaksana Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak  RI , Senin, 28 Oktober 2019, Hotel Grand Dafam Ternate.