Media Komunikasi Publik dan Pemisahan Empat Cabang Kekuasaan
Dalam rangka Menjaga Keutuhan NKRI melalui Media Penyiaran yang sehat dan Berkualitas
Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH .

PENGANTAR
   
Forum Komisi Penyiaran Indonesia 2018 ini mengambil tema yang sangat penting, yaitu: “Menjaga Keutuhan NKRI melalui Media Penyiaran yang sehat dan Berkualitas”. Pasti banyak sekali aspek yang perlu dikembangkan dan diperbaiki ke depan, agar bangsa kita lebih efektif lagi dalam upaya pengembangan media penyiaran yang sehat dan berkualitas untuk maksud menjaga keutuhan NKRI. Namun, salah satu aspek yang penting mendapat perhatian dewasa ini adalah bagaimana menjaga agar media penyiaran dan media massa, termasuk media sosial yang bersifat massif lainnya, dapat dikelola secara terpisahkan dari potensinya untuk terlibat benturan kepentingan dengan organ-organ penentu lainnya dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, diperlukan pengaturan-pengaturan baru dengan undang-undang untuk memastikan pemilik dan pengelola institusi penyiaran tidak terlibat konflik atau benturan kepentingan dengan kepemilikan dan kepengelolaan institusi yang beradalam dalam ranah kekuasaan politik, dunia bisnis, dan institusi-institusi masyarakat madani yang masing-masing dibutuhkan dalam hubungan-hubungan yang bersifat independen dan profesional di bidangnya masing-masing.

Namun, sebelum undang-undang yang semacam itu dapat dilahirkan dalam ruang politik legislasi yang semakin menyadari pentingnya pemisahan antar cabang kekuasaan secara tepat sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman kini dan mendatang, Pemerintah bersama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang hari ini menyelenggarakan forum ini dapat memulai suatu prakarsa baru untuk pengaturan-pengaturan minimal dan penerapan-penerapan bertahap mengenai prinsip-prinsip pokok pemisahan kekuasaan dan larangan benturan kepentingan tersebut di atas sesuai dengan kewenangannya sendiri berdasarkan UU dan berdasarkan prinsip kepentingan umum. Pengaturan semacam itu dapat dituangkan dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah) yang dijabarkan lebih lanjut dengan peraturan KPI sendiri. Bahkan, bilamana dapat disepakati, KPI dapat pula diperkuat dengan kewenangan regulatori yang langsung diberikan oleh undang-undang (legislative delegation of rule-making power), seperti halnya komisi-komisi negara yang bersifat independen lainnya, misalnya KPU, Bawaslu, KPPU, KPK, ORI, KIP, dan lain sebagainya.
 
JANGKAUAN KEKUASAAN ORGANISASI NEGARA

1.Terbentuknya Negara
Ada banyak sekali teori yang dikembangkan oleh para ahli ilmu politik dan ilmu negara (staatslehre) mengenai proses terbentuknya negara (state formation) dalam sejarah. Di antaranya adanya empat teori yang dibedakan antara: (i) Divine Right Theory (Teori Kehendak Tuhan), (ii) Social Contract Theory (Teori Perjanjian Masyarakat), (iii) Evolutionary Theory (Teori Evolusi), dan (iv) Force Theory (Teori Kekuatan). Menurut Teori Kekuatan (Force Theory), negara diciptakan melalui suatu perjuangan tertentu atau karena agresi atau melalui pemaksaan tertentu di mana orang lain ditundukkan dan dikuasai atau diasimilasi ke dalam komunitas yang memaksa. Menurut Teori Divine Right, negara dibentuk karena kehendak Tuhan dan hanya mereka yang berdarah biru yang dapat memerintah atas nama Tuhan (teokrasi). Jika raja atau ratu tidak ditaati, maka yang bersangkutan akan berdosa karena sama dengan melanggar perintah Tuhan.


Teori lain adalah teori kontrak sosial. Negara dibentuk karena kesepakatan bersama seluruh warga untuk membentuk pemerintahan untuk kepentingan bersama. Menurut teori ini, negara dibentuk atas dasar kesepakatan bersama warganya untuk maksud melindungi dan mewujudkan kepentingan bersama. Mereka bersepakat untuk membentuk pemerintahan dan hidup bersama menurut aturan-aturan yang disepakati bersama selama pemerintahan itu menjamin perlindungan bagi kepentingan setiap warga, yaitu hidup, kebebasan, dan hak milik (Life, liberty and property). Sementara itu, menurut Teori Evolusi (Evolutionary Theory), negara tumbuh dari struktur keluarga inti dan kepala keluarga . Pengertian keluarga kemudian berkembang meluas ke keponakan, sepupu, menantu dan seluruh sanak saudara beserta tetangga dan teman-temannya membentuk suatu kesatuan komunitas dan organisasi kekuasaan dan dukungan kekayaan untuk hidup bersama secara lebih luas dengan wilayah pengaruh yang juga meluas yang ketika kepala keluarga meninggal dunia, posisinya diteruskan oleh salah satu keturunannya, dan seterusnya. Proses inilah yang dalam jangka panjang melahirkan negara kerajaan, yaitu negara yang dimulai oleh satu keluarga .

Di samping itu, ada pula teori yang dibedakan antara teori sukarela (voluntary theory) dan teori konflik (conflict theory). Teori-teori sukarela (voluntary theories) berpandangan bahwa aneka ragam kelompok warga bersama-sama membentuk negara sebagai hasil dari kepentingan rasional bersama (shared rational interest) . Sedangkan Teori Konflik berpandangan bahwa pembentukan negara itu didorong oleh adanya konflik dan dominasi sekelompok penduduk dengan kelompok penduduk lainnya yang menjadi pemicu utama atau kunci bagi terbentuknya negara . Selain itu, teori-teori tersebut secara umum juga mencakup berbagai variasi teori lainnya, seperti adanya faktor stratifikasi sosial ekonomi (economic stratification), penaklukan-penaklukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok lainnya, konflik-konflik di daerah-daerah atau kawasan-kawasan tertentu, dan juga adanya faktor pertumbuhan evolusi birokrasi atau susunan organisasi negara itu sendiri yang mempengaruhi pembentukan organisasi negara, seperti karena separatisme dan sebagainya.

Dalam pelbagai teori tersebut di atas, terdapat unsur yang sama, yaitu diterbentuknya organisasi negara bermula dari kesadaran warganya untuk berogranisasi guna mencapai tujuan bersama, sebagaimana teori pembentukan organisasi pada umumnya. Dengan kata lain, negara itu tidak lain merupakan organisasi dalam mana manusia saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Sebagai organisme manusia, negara itu tumbuh dari dinamika kehidupan bersama yang kemudian dikonstruksikan dengan sebutan negara.

2.Kekuasaan Negara Terpusat versus Kekuasaan Terurai

Terlepas dari berbagai aneka teori pembentukan organisasi negara itu, yang jelas dalam kenyataan sejarah, umat manusia pernah berkenalan dengan ide negara teokrasi, di mana para Raja-nya berkuasa secara turun temurun dan sekaligus mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan dalam kehidupan. Oleh karena itu, kekuasaan para penguasa negara menjadi sangat absolut atas nama Tuhan, karena kekuasaan negara terpusat di tangan Raja atau Ratu, sedangkan orang tunduk lain wajib tunduk dan taat secara mutlak kepadanya. Selama ribuan tahun perjalanan sejarah umat manusia yang tercatat dan diketahui, sistem kekuasaan negara selalu terpusat di tangan seorang Raja atau Ratu yang dapat direspons secara baik dan mendapatkan dukungan multak dari rakyatnya atau dapat pula direspons tidak baik atau bahkan dilawan oleh rakyatnya.

Perlawanan-perlawanan itu muncul dari inisiatif-inisiatif dari bawah yang dapat mengambil pelbagai bentuk yang lembut ataupun yang keras, dan bahkan dalam bentuk konflik yang melahirkan pemberontakan dan bahkan kudeta. Pelbagai bentuk perlawanan berkaitan pula dengan perkembangan tingkat kesadaran masyarakat akan kebebasan yang melahirkan gerakan liberalisme. Gerakan liberalisasi inilah yang dalam sejarah memisah dan mendistribusikan kekuasaan terpusat menjadi terurai ke dalam banyak fungsi yang dilembagakan secara sendiri. Pemisahan kekuasaan dimulai dengan adanya pemisahan agama (gereja) dari negara, atau pemisahan otoritas negara dari otoritas keagamaan secara horizontal yang melahirkan doktrin sekularisme. Pemisahan kekuasaan dilanjutnya dengan munculnya praktik duo-poltica yang membedakan dan kemudian memisahkan fungsi pembuatan kebijakan (policy making) dan pelaksanaan kebijakan (policy executing) . Kemudian muncul pula doktrin ‘tris politica’ yang memisahkan pula fungsi-fungsi peradilan secara tersendiri sehingga kekuasaan dibedakan antara fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Bahkan, pada akhir abad ke-18 dan ke-19 sebagai akibat banyaknya terjadi perpecahan dan kemunculan kerajaan-kerajaan kecil di Eropah sebelumnya, muncul pula pelbagai bentuk organisasi antar negara, yang melahirkan doktrin tentang susunan organisasi negara federal, konfederasi, dan organisasi negara kesatuan yang terbagi atas pemerintahan-pemerintahan daerah. Dengan adanya perkembangan-perkembangan yang bersifat struktural ini, kekuasaan negara yang semula terpusat di tangan Raja atau Ratu berubah menjadi terurai ke dalam banyak fungsi yang dilembagakan dalam bentuk organ-organ yang semakin lama semakin kompleks yang tercermin dalam struktur organisasi pemerintahan di masing-masing negara.

Semua itu disebabkan oleh derasnya arus liberalisasi di mana-mana di dunia. Sebagai akibat dari gerakan liberalisasi yang bersifat massif ini, format politik kenegaraan dan format ekonomi kemasyarakatan mengalami pula proses liberalisasi yang mengurangi beban negara di satu pihak dan mengurangi intervensi pemerintahan dalam dinamika kebebasan yang tumbuh dan berkembang. Kebebasan ini, di bidang politik memperkembangkan doktrin-doktrin baru tentang demokrasi liberal yang berusaha mengurangi kekuasaan pemerintahan sesedikit mungkin dan doktrin-doktrin baru tentang kapitalisme yang mempercayakan segala sesuatu yang berkenaan dengan perekonomian kepada mekanisme pasar bebas (free market). Gelombang liberalisasi politik dan ekonomi inilah yang melahirkan doktrin ‘nachwachtersstaat’ atau negara jaga malam dan doktrin tentang kapitalisme klassik.

1.    ‘Nachwachtersstaat’ versus ‘Welvartsstaat’
Negara yang telah mengalami liberalisasi yang bersifat massif tersebut di atas, memunculkan pula gerakan-gerakan perlawanan rakyat yang menghasilkan gelombang pemisahan kekuasaan antara agama dan negara, antara fungsi-fungsi horizontal, antar pusat versus daerah, dan sebagainya dan akhirnya melahirkan doktrin ‘nachwachtersstaat’ . Negara dinilai cukuplah berfungsi melindungi warganya alias cukuplah berfungsi sebagai negara minimal (minimal state)  yang bertugas sebagai penjaga malam saja bagi seluruh rakyatnya . Yang diidealkan disini adalah prinsip ‘the best government is the least government’, yaitu pemerintahan yang paling sedikit memerintah, yang paling sedikit melakukan intervensi terhadap dinamika kehidupan bermasyarakat, baik di bidang ekonomi maupun di bidang sosial.

Namun, gelombang liberalisme yang mengidealkan ‘non-intervensionist state’ ini berakibat buruk pada kondisi kemiskinanan dan keterbelakangan mayoritas warga negara. Di mana-mana di seluruh kawasan Eropah muncul kantong-kantong kemiskinan sebagai akibat tidak meratanya kemajuan ekonomi dan kesejahteraan antar warga yang dipaksa untuk berkiompetisi secara bebas dalam sistem demokrasi dan kapitalisme klasik. Kesadaran baru inilah yang kemudian mendorong lahirnya doktrin baru lagi, yaitu ‘welvaartstaat’ atau ‘welfare state’ (negara kesejahteraan) karena pengaruh aliran sosialisme dalam sejarah. Doktrin negara kesejahteraan ini mengidealkan negara justru harus bertanggungjawab atas kemiskinan yang terjadi di kalangan rakyatnya. Untuk itu, negara justru diidealkan untuk melakukan intervensi (intervensionist state) dalam urusan-urusan yang rakyatnya sendiri tidak sanggup berkompetisi secara bebas antar sesama. Tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk menikmati kebebasan dan mendapatkan keuntungan dari kebebasan. Bagi mereka yang tidak mampu, diperlukan uluran tangan negara untuk mengintervensi .

Namun dalam praktik, upaya intervensi oleh negara yang diidealkan oleh paham sosialisme ini juga berkembang secara ekstrim. Inilah yang melahirkan ajaran komunisme pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di mana-mana. Bentuk esktrim ini cukup lama bertahan sampai akhirnya ambrug mulai sejak dasa warsa kedua pertengahan abad ke-20. Kehancuran komunisme diawali dengan runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet menjadi banyak negara merdeka di kawasan Eropah Timur. Sejak itu, kritik terhadap ide negara kesehateraan terus meningkat  dan paham neoliberalisme berkembang semakin agresif seakan tidak ada lagi tandingannya sampai sekarang.

Semua perkembangan ini, terutama setelah runtuhnya rezim komunisme pada tahun 1970-an, semakin menyebabkan organisasi negara mengalami differensiasi struktural yang harus dilembagakan dalam pembagian-pembagian dan bahkan pemisahan-pemisahan antar cabang atau antar fungsi-fungsi kekuasaan, baik secara horizontal, vertikal, maupun diagonal. Di mana-mana muncul kebijakan deregulasi, debirokrasi atau debirokratisasi, dan bahkan privatisasi pengelolaan fungsi-fungsi kekuasaan negara pada bidang-bidang tertentu. Akibatnya struktur organisasi negara berkembang semakin terurai ke dalam postur kelembagaan yang semakin terdistribusi. Bahkan, kebebasan yang sejak sebelumnya pada abad ke-20 telah melahirkan fenomena kebebasan pers yang berperan sangat besar dalam memperkuat ruang publik yang bebas mengumandangkan pula jargon baru, yaitu kebebasan pers sebagai pilar keempat demokrasi, ‘the fourth pillars of democracy’ di samping cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

2.    Munculnya media sebagai the Fourth Estate of Democracy dan Quadru-Politica
Sejak pertengahan abad ke-20, dengan pesatnya kemajuan teknologi media komunikasi cetak, peranan pers bebas (freedom of the press) yang membuka ruang publik yang semakin bebas juga berkembang pesat. Buku pertama yang menuliskan hal ini, bahkan menjadikannya judul, adalah buku Douglass Cater pada tahun 1959, yaitu “The Fourth Branch of Government” . Prinsip kebebasan pers terus berkembang semakin menonjol sebagai salah satu bentuk kebebasan berekspresi yang dianggap paling menentukan wajah demokrasi modern. Bahkan, karena itu, muncul pula doktrin media pers bebas sebagai ‘the fourth estate of democracy’ , di samping ketiga cabang kekuasaan konvensional, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kekuasaan negara yang sejak sebelumnya dipahami terdiri atas tiga cabang kekuasaan yang saling terpisah dan saling mengendalikan (checks and balances), ditambah pula dengan peranan media pers bebas sebagai cabang kekuasaan keempat dalam sistem demokrasi modern. Kebebasan pers ini semakin memperkuat kebebasan di ruang-ruang publik, sehingga semua pusat-pusat kekuasaan dalam struktur organisasi negara dapat dikendalikan dari potensi dan kemungkinan disalahgunakan oleh para pejabat pemegang kekuasaan.

Sebenarnya, istilah ‘the fourth estate’ yang dikaitkan dengan pers ini pertama kali digunakan oleh Edmund Burk di parlemen Inggris pada tahun 1787 yang menyebut pentingnya peran media pers di samping tiga kekuatan politik lainnya di House of Lords, yaitu Lords Spiritual (the first estate), Lords Temporal (second estate), dan the Commoners (the thrid estate). Hal ini berkaitan dengan prinsip perwakilan rakyat yang terwakili di dalam keanggotaan House Lords. Kelompok pertama adalah ‘Lords Spiritual’, yaitu tokoh-tokoh agama dan gereja. Kelompok kedua adalah Lords Temporal, yaitu anggota yang tidak tetap dari golongan bangsawan tetapi bukan tokoh agama. Sedangkan kelompok ketiga adalah perwakilan rakyat biasa atau ‘the commoners’ yang kemudian dilembagakan tersendiri menjadi House of Commons. Karena pentingnya peranan media dalam komunikasi publik, oleh Edmund Burk, ketiga cabang perwakilan itu ditambahnya dengan peranan media pers sebagai ‘the fourth estate’ dari fungsi perwakilan rakyat.

Di kemudian hari, istilah ini diadopsi dan digunakan juga di Amerika Serikat, dikaitkan dengan pengertian cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial, ditambah yang keempat, yaitu media pers sebagai ‘the fourth estate of democracy’. Namun, sebelum dikaitkan dengan media seperti Edmund Burk di Inggris pada tahun 1787, di Amerika Serikat, istilah “the fourth branch of government" ini mula-mula tidak dikaitkan dengan pers, tetapi dengan kekuasaan lembaga-lembaga ekstra yang bersifat campuran antara eksekutif, legislatif, dan semi-yudisial. Istilah ini muncul ke permukaan pertama kali pada tahun 1930-an, ketika banyak kalangan mengeritik kebijakan New Dealnya Franklin Delano Roosevelt (FDR) yang mengakibatkan banyaknya dibentuk komisi-komisi negara yang bersifat independen dan menjalankan fungsi ‘self-regulatory’ yang diangkat oleh pemerintah. Selain ‘self-regulatory’, lembaga-lembaga ini juga sebagian berfungsi semi-yudisial yang tidak secara langsung bertanggungjawab kepada rakyat. Lembaga-lembaga yang bersifat campuran antara fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif inilah yang disebut pada tahun 1930-an sebagai ‘the fourth branch of government’.

Karena itu, di Amerika Serikat sendiri, istilah ‘the fourth estate of democracy’ dan ‘the fourth branch of government’ semula tidak dikaitkan dengan pers sama sekali. Istilah ini dikaitkan dengan demokrasi baru muncul sesudah peranan media massa terus meningkat pada awal abad ke-20, sehingga istilah ‘the fourth estate of democracy’ dikaitkan dengan pers seperti yang pertama kali diperkenalkan oleh Edmund Burk pada tahun 1787. Kembali populernya istilah dimulai oleh Herbert Brucker pada tahun 1949 yang menuliskan pemikirannya tentang kebebasan pers dalam bukunya “Freedom of Information” . Herbert Brucker adalah editor Hartford Courant dan bukunya ini lah yang dapat dikatakan pertama kali menggunakan istilah ‘the fourth estate of democracy’ atau ‘the fourth branch of government’ di zaman modern sekarang. Pengertian istilah ini dikaitkan dengan peran media pers sebagai cabang keempat sesudah cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial. Sejak itu, istilah ini semakin sering dipakai sampai kemudian Douglass Cater menulis buku khusus tentang hal ini, yaitu: “The Fourth Branch of Government”, pada tahun 1959 .

Menjelang berakhirnya abad ke-20, pelbagai teori tentang ‘civil society’ yang disandingkan dengan negara dan peranan mekanisme pasar semakin berkembang pula secara luas. Karena itu, muncul pula pengertian yang saya sendiri mengistilahkannya dengan ‘trias politica baru’, yaitu negara (state), masyarakat madani (civil society), dan pasar (market). Ketiga cabang kekuasaan baru ini semakin disadari menjadi realitas baru di mana-mana di seluruh dunia sebagai ranah kehidupan yang memberikan peran-peran yang diidealkan bersifat seimbang kepada institusi-institusi yang terbentuk dan berperan di masing-masing cabang atau ranah. Organ-organ negara, organisasi-organisasi masyarakat madani dan korporasi-korporasi yang bergerak di dunia usaha dipandang sama-sama penting dan memberikan sumbangan yang diidealkan seimbang bagi kemajuan suatu bangsa. Karena itu, peranan pers bebas yang semula disebut sebagai ‘the fourth estate of democracy’  bersama dengan cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sekarang dapat kita sebut sebagai ‘the fourth estate of democracy’ di samping cabang kekuasaan negara (state), masyarakat (civil society), dan dunia usaha (market).

Inilah yang saya namakan sebagai ‘quadru-politica’ atau ‘the four branches of government ’ atau ‘the four estates of democracy’ dalam pengertian yang baru, yaitu negara, masyarakat, dunia usaha, dan media pers bebas yang satu sama lain harus dipandang sebagai cabang-cabang kekuasaan yang terpisah dan tidak boleh dikelola oleh satu tangan untuk mencegah konflik kepentingan di antara keempatnya. Jika keempat cabang kekuasaan baru atau ‘quadru-politica’ baru tersebut tidak terpisah, tetapi berada di dalam genggaman satu tangan, maka niscaya masa depan sistem demokrasi akan mengalami kemacetan dan kembali ke era kekuasaan negara terpusat di satu tangan penguasa. Karena itu, standar-standar demokrasi di tiap-tiap kurun zaman haruslah berbeda-beda ukurannya disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan baru yang muncul dalam dinamika sejarah. Apa yang dulu sudah dianggap demokratis, dengan menggunakan ukuran-ukuran yang sama belum tentu mencukupi untuk tetap dianggap demokratis dengan ukuran-ukuran baru di masa depan.
Di masa kini, umat manusia tidak lagi merasa cukup dengan mempraktikkan demokrasi yang bersifat formalistik dan prosedural. Zaman sekarang menghendaki diterapkannya standar-standar yang lebih tinggi, sehingga demokrasi tidak hanya bersifat formalistik dan prosedural, melainkan harus pula bersifat substansial dan berintegritas. Demokrasi tidak lagi cukup hanya diimbangi oleh tegaknya prinsip ‘rule of law’, tetapi juga harus diimbangi oleh tegak dan berfungsinya ‘rule of ethics’ dengan sebaik-baiknya .

3.    Quadru Politica Makro dan Mikro
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pengertian ‘trias politica’ Monstesquieu yang terdiri atas cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah mengalami perubahan menjadi ‘trias politica’ baru yang terdiri atas cabang kekuasaan negara (State), masyarakat (civil society), dan pasar (market). Hal itu terjadi karena kompleksitas pelembagaan kekuasaan dalam pelbagai ragam organ kelembagaan negara selama abad ke-20 dan abad ke-21 telah mengubah polarisasi fungsi-fungsi kekuasaan itu tidak lagi terbagi ke dalam cabang-cabang seperti yang dibayangkan semula oleh Montesquieu yaitu tercermin dalam fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif semata. Ketiga fungsi ini dewasa ini sudah mengalami percampuran yang sangat dinamis dan tidak berpola. Apalagi dalam hubungan antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif, dinamikanya sangat kompleks dan melahirkan pelbagai model sistem pemerintahan yang terus berkembang, seperti sistem presidentil, sistem parlementer, sistem quasi presidentil, sistem quasi parlementer, ataupun sistem campuran yang berkembang sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman praktik di tiap-tiap negara di dunia yang tidak lagi menggambarkan polarisasi fungsi kekuasaan sebagaimana dimaksudkan dulu oleh Montesquieu sendiri .

Sekarang, pengertian ‘trias politica baru’ yang mencakup pengertian negara, masyarakat, dan dunia usaha tersebut di atas terus berkembang menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Namun, esensi ‘trias politica’ baru dan lama itu tetap sama, yaitu adanya pemisahan kekuasaan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan di satu tangan, dan konflik kepentingan yang merugikan kepentingan umum. Karena itu, ketiga cabang kekuasaan yang baru itu juga harus bersifat terpisah dan menjamin tidak terjadinya konflik kepentingan antara satu dengan yang lain. Bahkan, oleh karena sejarah umat manusia telah pula memperkenalkan adanya peran baru yang dimainkan oleh media pers bebas dalam perikehidupan bersama, maka peran pers bebas yang sebelum disebut sebagai ‘the fourth estate of democracy’  di samping cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi dapat diteruskan dalam konstelasi pengertian yang baru, yaitu sebagai ‘the fourth estate of new democracy’ di samping kekuasaan negara (state), masyarakat madani (civil society), dan pasar (market). Ini saya namakan sebagai ‘quadru-politica’ baru dalam arti makro (macro quadru-politica).

Sedangkan pengertian ‘trias politica’ dan ‘quadru-politica’ dalam arti mikro tetap terkait dengan fungsi-fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, cabang yang keempat bukan lagi media pers bebas, melainkan fungsi penyelenggara pemilihan umum sebagai ‘core-business’ sistem demokrasi. Pemilihan umum sebagai sarana penyaluran prinsip kedaulatan rakyat merupakan ciri pokok atau pilar demokrasi yang sesungguhnya. Karena itu, penyelenggara pemilu harus diposisikan secara tersendiri di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Cabang kekuasaan legislatif diisi oleh para peserta pemilu. Demikian pula cabang kekuasaan eksekutif dipimpin oleh Presiden dan Wakil Presiden, serta oleh Gubernur, Bupati, dan Walikota yang adalah pula peserta pemilu. Sedangkan cabang kekuasaan yudikatif adalah cabang kekuasaan yang akan mengadili proses pemilu oleh Mahkamah Agung dan jajajrannya, dan hasil pemilu oleh Mahkamah Konstitusi. Karena itu, penyelenggara pemilu haruslah dilihat sebagai cabang kekuasaan keempat melengkapi pengertian ‘quadru-politica’ dalam arti yang mikro, di samping cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam pengertian yang lazim.

Dari semua uraian di atas dapat dikatakan bahwa bentuk dan jangkauan kekuasaan negara dewasa telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Domain of power  berubah dinamis dan kompleks melahirkan aktor-aktor yang beraneka ragam bentuknya dan pola hubungannya secara vertikal, horizontal, dan diagonal. Bahkan kehidupan kita sebagai satu bangsa tidak cukup lagi hanya dilembagakan dalam organisasi negara melalui organ-organ kelembagaannya di segala lapisan supra-struktur dan infra-struktur kehidupan bernegara, melainkan harus pula tercermin dalam sistem pelembagaan dalam masyarakat madani dan di lingkungan dunia usaha (market). Semua bentuk pelembagaan perikehidupan bersama di bidang politik, ekonomi, dan sosial memerlukan sistem norma yang disepakati bersama dan sekaligus berfungsi sebagai pegangan atau sistem rujukan bersama bagi seluruh warga bangsa.

Baik struktur maupun sistem aturan normatif tersebut terlembagakan dalam pengertian baru tentang institusi negara dalam arti yang luas, persis seperti pengertian klasik yang tidak melihat organisasi negara dengan pendekatan organisme manusia biasa. Sekarang dalam konterks lingkup pengertian Negara dalam arti luas juga meliputi semua jenis institusi kekuasaan yang hidup dan bergerak dalam dinamika masyarakat madani maupun dalam ranah ekonomi pasar. Jangkauan kekuasaan yang mendominasi kehidupan bersama meluas bukan saja dari negara dalam arti sempit tetapi semua institusi kekuasaan dalam arti yang luas, yaitu institusi politik, ekonomi, dan juga sosial dalam masyarakat madani.

PEMISAHAN ASET MEDIA PENYIARAN SEBAGAI ‘THE FOURTH ESTATE’

Media penyiaran, bersama-sama dengan media sosial, dewasa ini telah berubah sangat drastis dan dramatis sebagai raksasa baru, tidak saja dalam memberitakan dan menyebarkan-luaskan informasi tetapi juga dalam mendidik dan bahkan membentuk sikap dan perilaku masyarakat luas, yang yang secara sengaja dirancang oleh redaktur dan penyiarnya ataupun yang sama sekali tidak disengaja atau disadari oleh redaktur dan penyiarnya sendiri. Sudah terlalu banyak yang menjelaskan hal ini, termasuk dalam pembicara dan makalah-makalah lain dalam forum ini, sudah pasti hal ini juga akan diberi tekanan yang tersendiri. Yang penting untuk diberi tekanan dalam makalah ini adalah bahwa dewasa ini dan apalagi di masa-masa yang akan datang, media komunikasi publik harus dipahami sebagai suatu kekuatan atau bahkan sebagai suatu cabang kekuasaan yang tersendiri dalam perikehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibedakan dan bahkan dipisahkan agar tidak berbenturan kepentingan dengan cabang-cabang kekuasaan lainnya, yaitu politik bernegara dalam arti sempit (state), dunia usaha yang dikendalikan oleh para pemilik modal (market oriented corporations), organisasi-organisasi masyarakat madani (civil society organizations atau CSO’s).

Pengaturan mengenai hal ini idealnya haruslah dengan undang-undang. Namun, jikalau KPI dan Pemerintah dapat mencapai kata sepakat, langkah-langkah strategis untuk mengatur pemisahan kekuasaan media elektronik, baik aspek kepemilikan maupun kepengelolaannya, dapat saja dimulai dengan disusunnya PP dan Peraturan KPI. Namun, pengaturan-pengaturan itu hendaknya dimulai dengan disusunnya suatu cetak biru dalam jangka panjang untuk memastikan bahwa arah pengembangan media elektronik, khususnya media penyiaran publik di Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini sejalan dengan upaya mengembangkan sistem dan praktik demokrasi yang semakin berkualitas dan berintegritas sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman searang dan masa-masa mendatang.

Konkritnya, pemilik dan pengelola media penyiaran di masa mendatang harus dipastikan tidak berbenturan kepentingan dengan (1) politik, yaitu dengan pengurus partai politik dan pejabat penyelenggara negara atau aparatur sipil negara (ASN); (2) bisnis, yaitu dengan status pemilik saham, komisaris, atau direksi perusahaan; dan (3) organisasi masyarakat, yaitu dengan status kepengurusan dalam organ berbadan hukum yayasan, perkumpulan, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Jika pemilik saham suatu lembaga penyiaran, misalnya, adalah pejabat negara atau menjadi pengurus partai politik, maka status saham yang bersangkutan di dalam akta perusahaan industri penyiaran yang bersangkutan harus diserahkan kepada institusi manajemen asset yang bersifat independen yang dapat dibentuk dengan undang-undang, misalnya seperti di Amerika Serikat, dinamakan “Blind-Trust Management”. Dengan mekanisme demikian, hendak dipastikan bahwa pemilik atau pemegang saham di perusahaan media, jika misalnya ia juga menjadi pejabat negara atau pejabat di partai politik, tidak akan menghadapi masalah benturan kepentingan dalam membuat keputusan di lingkungan internal perusahaan media penyiaran dengan pembuatan keputusan di lingkungan jabatan politik yang dipegangnya.

Di Amerika Serikat, mekanisme ‘Blind Trust Management’ diatur dalam UU “Ethics in Government Act” Tahun 1978 yang mengatur adanya "The Qualified Blind Trust" (QBT). Agar suatu ‘blind trust’ dapat memenuhi kualifikasi sebagai QBT, ‘trustee’ tidak boleh terafiliasi, berhubungan, atau berpotensi untuk tunduk di bawah kendali atau pengaruh dari pejabat penyelenggara negara (government officials). Menurut UU “Ethics in Government Act 1978” tersebut, para pejabat penyelenggara negara diharuskan mengumumkan kekuasaan saham-saham yang dimilikinya di perusahaan swasta ataupun di perusahaan publik, atau ditempatkan di bawah seorang QBT. Mereka tidak diharuskan menjual saham atau aset, melainkan cukup menyerahkan pengelolaannya kepada QBT yang bersifat professional dan independen tersebut untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan.

QBT bertanggungjawab atas semua amanah (trust) atas semua kepentingan atas kekayaan saham atau asset dan pendapatan atau penghasilan individu pelapor (reporting individual), pasangannya, atau anak atau orang yang dibawah pengampuannya dapat diwajibkan untuk bersikap (i) independen, tidak tunduk kepada pengaruh, terafiliasi dengan, atau berhubungan dengan pejabat penyelenggara negara; (ii) asset yang ditransfer kepada QBT tidak dibatasi, sehingga QBT dapat bertindak bebas untuk menjual atau mentransfer asset tersebut secara bebas, tanpa campur tangan pemilik; (iii) Amanah atau trust diberikan atas dasar persetujuan bersama antara “Trust” dan “Trustee” yang mendapat persetujuan resmi dari Komisi Etika sebagai kantor pemerintahan federal yang resmi yang bertindak sebagai pengawas (the government official's supervising ethics office); dan (iv) dalam naskah persetujuan itu, harus termuat ketentuan eksplisit bahwa amanah (trust) dimaksudkan untuk mencegah pejabat penyelenggara negara “ berkomunikasi dengan “Trustee” dan berusaha untuk mempengaruhi mekanisme pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan asset atau saham miliknya yang ada di perusahaan yang bersangkutan. Di hampir semua negara bagian di Amerika Serikat, keempat hal itu juga diadopsi dengan mengacu kepada UU Federal yang berlaku, yaitu Ethics in Government Act Tahun 1978 tersebut di atas.  

Namun, dewasa ini, UU juga dipandang sudah sangat ketinggalan zaman. Sekarang Presiden Amerika Serikat dijabat oleh seorang Konglomerat, Donald Trump, yang ternyata tidak termasuk ke dalam pembatasan dan pengaturan konflik kepentingan menurut UU tersebut. Karena yang diatur di dalam UU ini hanya pejabat penyelenggara negara di luar jabatan presiden menurut Konstitusi. Akibatnya, Presiden Donald Trump dapat dengan seenaknya bekerja sebagai Presiden tetapi juga tetap bebas sebagai pemegang saham dan menjadi penguasa di lingkungan kerajaan bisnisnya sendiri. Perkembangan ini membangunkan kesadaran baru, tidak saja di Amerika Serikat, tetapi juga di seluruh dunia, mengenai telah munculnya era baru dalam perkembangan sistem demokrasi pasca modern yang sama sekali tidak dapat lagi mengandalkan ukuran-ukuran kualitas dan integritas yang diwarisi dari teori dan praktik dari abad ke-20 dan apalagi dari abad-abad sebelumnya. Sekarang, muncul kebutuhan yang sangat serius untuk benar-benar membuat aturan-aturan hukum dan etika (the rule of law and the rule of ethics) yang memisahkan antara cabang kekuasaan kepemilikan dan kepengelolaan media komunikasi publik yang bersifat massif dengan tiga cabang kekuasaan lainnya, yaitu cabang organ-organ kekuasaan politik bernegara (state), organisasi masyarakat madani (CSO’s), dan dunia usaha (corporate markets).

Untuk itu, mari kita memulai reformasi pengaturannya di Indonesia untuk mendorong agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai Negara Demokrasi Pancasila yang merupakan ‘the third larges democracy in the world’ dapat memprakarsai pemisahan keempat cabang kekuasaan itu (the quadru-politica macro) dengan sebaik-baiknya dan dengan seimbang di bawah kepemimpinan kepala negara. Pemisahan keempatnya dilakukan dengan rujukan sistem nilai Pancasila dan UUD 1945, dengan mengembangkan pengertian Negara dan Bangsa dalam HURUF BESAR, yang di dalamnya, terdapat empat organ kekuasaan, yaitu pemerintahan negara, penyelenggaran dunia usaha oleh korporasi, penyelenggaraan kegiatan kemasyarakatan oleh organisasi masyarakat madani (CSO’s), dan penyelenggaraan komunikasi massa oleh institusi penyiaran publik dan penyelenggara media sosial sebagai cabang kekuasaan keempat, dengan dipimpin oleh Presiden sebagai Kepala Negara dengan huruf kecil maupun dengan huruf besar yang mengatasi semua ranah keempat cabang kekuasaan itu secara bersama-sama dan sekaligus sebagai Pemimpin Bangsa yang memperkuat, memberdayakan, dan menggerakkan roda-roda organisasi dari keempat cabang kekuasaan baru itu (the new quadru-politica) untuk saling bersinergi positif guna mewujudkan empat tujuan berbangsa dan bernegara dengan didasarkan atas dan dituntun oleh lima sila Pancasila yang tercermin dalam aturan-aturan konstitusional UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.