KPI Bukan Ancaman Bagi Kemerdekaan Pers

SIARAN PERS
No 05/KPI/07/2010



Komisi Penyiaran Indonesia menegaskan bahwa setiap stasiun televisi Indonesia harus menggunakan spektrum frekuensi radio yang dipercayakan pada mereka dengan menempatkan kepentingan publik di atas segala-galanya. Sesuai mandat yang diberikan oleh UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, KPI berkewajiban mengawasi agar setiap lembaga penyiaran tidak menyajikan siaran yang dinilai merugikan kepentingan publik.

Penegasan ini perlu disampaikan mengingat dalam beberapa hari terakhir ini terdapat sejumlah pernyataan yang terkesan berusaha mengarahkan opini publik bahwa upaya KPI menertibkan isi siaran sebagai ancaman bagi ’kemerdekaan pers’. 

Upaya terakhir diwujudkan dalam bentuk Manifesto Kemerdekaan Pers, 19 Juli 2010, yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia yang didukung oleh sejumlah tokoh pers, praktisi stasiun TV, dan pengamat media. Dalam Manifesto tersebut, para pendukung deklarasi menyatakan bahwa tindakan KPI dinilai sebagai perampasan kemerdekaan pers dan merupakan embrional untuk mengekang kemerdekaan pers pada masa yang akan datang.

KPI memandang perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa dalam demokrasi, dan adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya kepada masyarakat. Namun mengingat sebagian substansi deklarasi tersebut tidak benar dan hal itu disampaikan oleh mereka yang terpandang dalam masyarakat atau tokoh-tokoh, maka berpotensi dapat membingungkan masyarakat. Oleh karena itu KPI berkewajiban memberikan penjelasan untuk meluruskan masalah tersebut.

Para pendukung Deklarasi nampaknya keliru mempelajari keputusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan pada tahun 2003 yang dianggap mencabut kewenangan KPI dalam memberikan sanksi atas pelanggaran isi siaran.

Putusan MK tersebut bukan membatalkan kewenangan KPI dalam mengatur dan memberikan sanksi. UU Penyiaran jelas-jelas menyatakan KPI harus mengeluarkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS), dan memberi sanksi atas pelanggaran terhadapnya. Kewajiban dan kewenangan itu tak pernah dicabut (Pasal 7 dan 8 UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002).

Putusan MK ini hanya menyatakan bahwa wewenang mengeluarkan Peraturan Pemerintah ada di tingkat pemerintah termasuk  tentang  tata cara pemberian sanksi harus disusun melalui peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Sehubungan dengan itu pemerintah telah menerbitkan PP 50 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Di dalam PP tersebut dinyatakan bahwa KPI dapat memberikan sanksi: menegur, menghentikan  sementara, bahkan menutup selamanya acara bermasalah, serta memberikan usulan kepada Menteri untuk mencabut izin siaran.

Dalam PP No 50 Tahun 2005 pemerintah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada KPI terkait isi siaran, juga dalam pemberian sanksi. Pasal 14 ayat (7) menyatakan isi siaran wajib mengikuti Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS) dan pasal 62 mengenai pemberian sanksi oleh KPI. Selain itu kedudukan P3-SPS dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi menjelaskan sebagaimana ketentuan UU Penyiaran no 32 tahun 2002, pasal 7 ayat (2), KPI berwenang mengatur hal-hal tentang penyiaran sepanjang pengaturan tersebut merupakan pelaksanaan dari UU Penyiaran dan PP terkait. Dengan demikian KPI berwenang untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran isi siaran.

Mengenai sanksi penghentian sementara “Headline News” Metro TV pukul 5 pagi selama 7 hari berturut-turut dan permintaan maaf secara terbuka secara lisan kepada publik selama 3 hari berturut-turut masing-masing sebanyak 3 kali dalam surat keputusan KPI 1 Juli 2010 sudah sesuai dengan UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, PP 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, dan P3-SPS. Sanksi tersebut dijatuhkan karena “Headline News” Metro TV pada tanggal 14 Juni 2010, pukul 5.00 wib, menayangkan adegan pasangan yang sedang bersenggama selama hampir 5 detik. KPI menegaskan penghentian sementara “Headline News” Metro TV pukul 5 pagi bukan pembredelan pers serta upaya mengancam kebebasan pers.

Alasannya, pertama, KPI tidak mencabut Izin Penyelenggaraan Siaran MetroTV. Kedua, KPI tidak menghentikan keseluruhan program “Headline News”, karena “Headline News” adalah program yang ditayangkan setiap jam sebanyak 24 kali dalam sehari. Dengan demikian 23/24 program acara tersebut tetap berjalan. Bahkan menurut pengakuan pihak MetroTV, informasi yang perlu disampaikan dalam waktu jam 5 pagi tetap bisa ditampilkan dalam program lainnya. Artinya di sini pun tidak ada hak publik atas informasi (public right to inform) yang tercederai. Ketiga, semua putusan KPI didasarkan pada tindakan normatif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam ranah penyiaran yang telah menjadi hukum positif. Keempat, KPI tetap harus melindungi hak dan kepentingan publik untuk mendapat informasi yang layak dan benar, di samping publik adalah pemilik sah atas  frekuensi yang digunakan oleh semua lembaga penyiaran. Dalam kasus Metro TV, hak publik telah dilanggar seperti yang tercantum dalam UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Peraturan Pemerintah, dan P3-SPS KPI.

Berkaitan dengan isi P3-SPS sendiri, KPI Pusat akan segera melakukan pengkajian sesuai rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) untuk merevisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). KPI telah membentuk tim kecil untuk melakukan kerja sesuai dengan UU Penyiaran (UU No. 32 Tahun 2002) melalui tahap mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan, yaitu lembaga penyiaran, pemerintah, dan masyarakat sebelum memutuskan untuk dimasukkan dalam P3-SPS yang baru. Kajian yang akan dilakukan berkaitan dengan ketegorisasi program siaran, termasuk program anak, iklan, dan ketentuan pemberlakuan sanksi denda.

Mengenai infotainment dan reality show, di samping mengkaji kategori programnya, KPI juga akan mengkaji mengenai substansi dan jam tayangnya, yang dipandang tidak pantas disaksikan oleh anak-anak. Ini merupakan aduan dan masukan yang paling kuat.

KPI juga menegaskan bahwa tindakan KPI dalam memberikan sanksi atas pelanggaran isi siaran tetap berdasarkan peraturan yang berlaku.

KPI mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung, terutama dari DPR RI, KPID seluruh Indonesia, dan Dewan Pers. KPI juga berterimakasih atas masukan dan dukungan dari organisasi profesi yang terkait dengan jurnalis, yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI), AJI Jakarta, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI) serta juga organisasi masyarakat seperti Pimpinan Pusat AISYIYAH, Dewan Pimpinan Pusat Korps Perempuan Majelis Dakwah Islamiyah, Gerakan Nasional Anti Pornografi (GNAP), Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA), Komite Indonesia untuk Pemberantasan Pornografi dan Pornoaksi (KIP3), Ikatan Mahasiswa Komunikasi Indonesia (IMIKI) serta pihak-pihak lainnya.

KPI berkomitmen menjunjung tinggi kemerdekaan pers dan demokratisasi di bidang penyiaran dalam mendukung tercapainya cita-cita bangsa.



Jakarta, 23 Juli 2010

Komisi Penyiaran Indonesia

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.